Menyibak Capaian Peradilan: Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2024
Pernahkah kita membayangkan betapa banyaknya perkara yang masuk ke pengadilan setiap tahun? Seperti air bah yang tak henti mengalir, begitu pula perkara hukum yang membanjiri meja-meja hakim di seluruh penjuru negeri. Namun, di balik angka-angka statistik yang mungkin terlihat dingin, ada perjuangan, ada komitmen, dan ada keadilan yang diperjuangkan.
Hari ini (19/02/2025), Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof Dr. Sunarto, S.H, M.H baru saja menyampaikan laporan tahunannya. Angka-angka berbicara: 3.081.090 perkara menjadi beban penanganan perkara sistem peradilan kita (dari Tk Pertama s.d Tk MA). Dari jumlah itu, 2.934.589 perkara telah diputus, 61.834 dicabut, dan masih tersisa 84.667 perkara yang akan menunggu penyelesaian di tahun mendatang.
Bagi Mahkamah Agung sendiri, pada tahun 2024 memiliki 31.138 beban perkara, jumlah ini meningkat sebesar 12,95 % dibanding tahun 2023. Perkara tersebut diputus oleh para Hakim Agung sebanyak 45 orang dan hakim adhoc MA sebanyak 9 orang, telah diputus sebanyak 30.908 perkara atau sekitar 99,26 % dan menyisakan 230 perkara. Dengan demikian 1 Hakim Agung/Adhoc menangani rata-rata perkara sebanyak 2.076 perkara per tahun.
Namun, satu angka yang mencuri perhatian adalah 100% penyelesaian perkara di Kamar Agama MA. Sebanyak 1.157 perkara yang masuk, 1.157 perkara pula yang diputus. Tak ada yang tertinggal. Mungkin ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari betapa urgennya persoalan hukum keluarga dan keagamaan di negeri ini, dan betapa seriusnya para hakim dalam menyelesaikannya.
Lantas, bagaimana putusannya? Di tingkat kasasi, ada yang dikabulkan (166 perkara), ada yang ditolak (585 perkara), ada pula yang ditolak dengan sedikit perbaikan (151 perkara). Beberapa perkara tidak diterima (31 perkara), dan ada juga yang akhirnya dicabut (4 perkara).
Di tingkat banding, peradilan agama menangani 2.668 perkara, dengan 2.641 perkara diputus, 4 dicabut, dan masih menyisakan 23 perkara. Sementara di tingkat pertama, beban perkara jauh lebih besar: 616.859 perkara masuk, 531.605 telah diputus, 55.272 dicabut, dan 29.982 masih tersisa.
Membaca laporan ini, kita mungkin bertanya: apakah angka-angka ini sudah cukup mencerminkan keadilan? Ataukah ia hanya statistik yang menumpuk tanpa makna?
Keadilan, sebagaimana kita pahami, bukan sekadar soal banyaknya perkara yang diputus, tetapi bagaimana putusan itu diterima oleh para pencari keadilan. Seorang pemohon kasasi yang permohonannya ditolak mungkin tak akan melihat angka “100% penyelesaian” sebagai sesuatu yang menggembirakan. Tetapi seorang pencari keadilan yang mendapat keputusan yang berpihak padanya akan melihat angka itu sebagai bukti bahwa hukum masih bekerja.
Dalam dunia peradilan, kerja belum selesai selama masih ada ketidakpuasan, selama masih ada yang merasa diperlakukan tidak adil. Laporan tahunan ini bukanlah sekadar catatan capaian, tetapi juga cermin bagi kita semua: sudahkah hukum benar-benar menjadi alat keadilan, ataukah ia masih sekadar prosedur administratif yang membebaskan hakim dari tanggung jawab moral?
Di balik angka-angka ini, ada cerita. Ada harapan. Ada doa-doa yang melangit. Dan tugas kita adalah memastikan bahwa di tahun-tahun mendatang, angka-angka ini bukan hanya mencerminkan kinerja peradilan, tetapi juga menghadirkan rasa keadilan yang nyata di tengah masyarakat.
Sekian laporan sesi ini, dari saya Taufik Rahayu Syam, Ketua MS Blangkejeren.