MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

MAHKAMAH SYAR'IYAH BLANGKEJEREN

Alamat : Jl. Inen Mayak Teri, Sp. Reli, Kp. Jawa,

Kec. Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, Aceh 24655

Telp      :  (0642) 21754

Email    : ms.blangkejeren@gmail.com

PEMBEBANAN AKIBAT TALAK DALAM PERKARA CERAI GUGAT | Oleh Gunawan, S.H.I.

Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren

GUNAWAN[1]

(Studi Kasus Putusan Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren Nomor 55/Pdt.G/2024/Ms.Bkj)

Abstrak. Dengan mengkombinasikan teknik penelitian pustaka dan studi kasus, penelitian ini berupaya menganalisis bagaimana pembebanan akibat talak dalam perkara cerai gugat di Indonesia dan sejauhmana penerapannya dalam perkara Putusan Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren Nomor 55/Pdt.G/2024/Ms.Bkj. Seperangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, telah mengatur hak-hak akibat talak mantan istri, akan tetapi perangkat tersebut belum mampu memenuhi hak-hak akibat talak istri dalam perkara cerai gugat. Dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 dan Nomor 2 tahun 2019, Mahkamah Agung secara tegas memberi peluang pemenuhan hak-hak akibat talak dalam perkara cerai gugat. Putusan Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren Nomor 55/Pdt.G/2024/Ms.Bkj adalah jawaban dari ketentuan dari norma-norma baru yang ciptakan oleh Mahkmah Agung di atas. Putusan tersebut mengabulkan gugatan Penggugat untuk menghukum tergugat membayar nafkah selama masa iddah kepada Penggugat. Tidak cukup sampai disitu, melalui terobosan hukumnya, dengan menafsirkan lebih dalam ketentuan yang terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2019, hakim memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren untuk menahan akta cerai tergugat, sampai tergugat menunaikan kewajibannya kepada Penggugat.

Keyword: Pembebanan, Akibat Talak, Cerai Gugat

  1. PENDAHULUAN

            Perceraian merupakan akhir dari hubungan pernikahan yang dapat diputuskan melalui dua cara utama: cerai talak dan cerai gugat. Cerai talak adalah perceraian yang diajukan oleh suami, sedangkan cerai gugat diajukan oleh istri. Dalam konteks perceraian di Indonesia, salah satu masalah yang kerap dihadapi adalah mengenai pembebanan akibat talak dalam perkara cerai gugat, yaitu bagaimana tanggung jawab dan kewajiban dari masing-masing pihak pasca perceraian.

            Seperangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, telah mengatur hak-hak akibat talak mantan istri. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam adalah diantaranya. Namun kedua perangkat tersebut belum menjamin hak-hak akibat talak mantan istri dengan mudah. Di antara alasannya adalah paradigma kebanyakan masyarakat, bahkan hakim yang memahami hak-hak tersebut hanya terbatas pada perkara cerai talak. Sehingga pemenuhan hak-hak mantan istri dalam perkara cerai talak lebih mudah untuk dipenuhi.

            Lain halnya dengan cerai gugat,  baru pada tahun 2018, lahir ketentuan yang secara tegas memungkinkan istri menuntut hak-hak akibat talak dalam perkara cerai dengan istri sebagai inisiator.  Ketentuan tersebut berupa Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung yang diedarkan melalui surat oleh Mahkamah Agung. Ketentuan tersebut secercah, namun belum mampu menerangani harapan mantan istri untuk dengan mudah mendapat hak-haknya setelah bercerai.

            Tahun 2019, Mahkamah Agung kembali melakukan rapat pleno yang salah satu hasilnya melengkapi ketentuan hak-hak akibat talak dalam perkara cerai gugat. Ketentuan tersebut merupakan teknis pemenuhan hak-hak akibat talak yang telah ditetapkan melalui putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan bahwa hakim dapat menetapkan hak-hak akibat talak yang dibayar sebelum tergugat mengambil akta cerai.

            Dengan memadukan teknik penelitian pustaka dan studi kasus, penelitian ini berupaya menganalisis bagaimana pembebanan akibat talak dalam perkara cerai gugat di Indonesia dan sejauhmana penerapannya dalam perkara Putusan Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren Nomor 55/Pdt.G/2024/Ms.Bkj. Dengan itu, Penulis mencoba merumuskan masalah yang akan dijawab dalam tulisan ini yaitu: Bagaimana konsep talak dalam perkara cerai gugat di Indonesia? Apa saja bentuk pembebanan yang terjadi akibat talak dalam perkara cerai gugat? Dan bagaimana penerapannya dalam perkara Putusan Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren Nomor 55/Pdt.G/2024/Ms.Bkj?

  1. PEMBAHASAN

Konsep Talak Dalam Perkara Cerai Gugat Di Indonesia

Secara bahasa talak bermakna melepaskan ikatan. Kata talak diambil  dari kata al-lthlaq yang berarti melepaskan dan membiarkan.[2] Dalam istilah Agama “thalaq artinya melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.[3] Mazhab Hanafi dan Hambali menghukumi talak “terlarang”, kecuali karena alasan yang benar.[4] Sedangkan Imam Syafi’I tidak menggapnya haram.[5] Walau demikian, Ibnu Sina berkata dalam Kitab Asy-Syifa’: “Seharusnya jalan untuk cerai itu diberikan, dan jangan ditutup sama sekali. Karena menutup mati jalan perceraian akan mengakibatkan beberapa bahaya dan kerusakan.[6] Talak dari segi kesesuaian dengan sunnah dan bid’ah terbagi kepada sunni dan bid’i. Sunnah adalah yang diizinkan oleh Allah. Bid’ah adalah yang dilarang oleh syariat.[7] Sementara Dari segi kemungkinan dapat dilakukan ruiuk dan tidaknya terbagi kepada talak rai’i dan baa’in.[8]

Undang-undang Perkawinan menggunakan istilah “Putusnya Perkawinan” untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki degan perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri.[9] Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan, disamping kematian dan putusan Pengadilan.[10]  Sebagaiman Dalam Pasal 38 Undang-undang Perkawinan diterangkan bahwa perkawinan dapat putus karena a, kematian, b. perceraian dan c. atas putusan Pengadilan. Dalam kalimat itu nampak jelas bahwa putusnya perkawinan karena perceraian (huruf b) adalah berbeda dengan putusnya per- kawinan karena/atas putusan Pengadilan (huruf c). Untuk jelasnya marilah kita perhatikan pasal-pasal berikutnya dari Undang-undang Perkawinan. Mengenai putusnya perkawinan karena kematian (huruf a) adalah jelas dan karenanya tidak perlu diterangkan lagi.[11]

Dalam Pasal 39 Undang-undang Perkawinan diterangkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan, Kalimat ini cukup gamblang, yaitu “di depan Sidang Pengadilan” dan tidak “dengan putusan Pengadilan”. Pasal ini dimaksudkan untuk mengatur “TALAK” pada perkawinan menurut Agama Islam. Dan hal ini bersesuaian dengan prinsip yang terdapat dalam Undang-undang Perkawinan. Prinsip tersebut tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-undang Perkawinan pada angka 4 huruf e sebagai berikut: “Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian.[12]

      Dalam fikih, selain talak, dikenal juga beberapa bentuk perceraian dalam Islam yaitu: khulu’, fasakh, zhihar, Ila’ dan Li’an. Khulu’ artinya melepas, dari asal kata khal’us tsaub, melepas pakaian, karena wanita adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian wanita. Khulu’ juga disebut tebusan, karena perempuan yang mengajukan khulu’ menebus dirinya dengan sesuatu, diberikan kepada suaminya supaya diceraikan.[13] Fasakh berasal dari bahasa Arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara etimologi membatalkan dan secara istilah berarti pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.[14] Zhihar adalah menyamakan istri dengan mahramnya. Zhihar merupakan salah satu adat Arab jahiliyah, yang bila dia tidak senang kepada istrinya tetapi dia tidak mau menggunakan kata cerai, maka disamakannyalah istrinya itu dengan ibunya atau orang-orang yang tidak mungkin dikawininya. Bagi mereka zhihar itu sudah merupakan satu bentuk pemutusan perkawinan. Hukum Islam mengadopsi adat tersebut namun tidak secara sepenuhnya.[15] Ila’ adalah sumpah suami yang tidak mau mencamuri istrinya.[16] Li’an adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan dia tidak mampu mendatangkan empat orang saksi.[17]

            Berbeda dengan fikih, hukum perkawinan di Indonesia hanya mengenal dua bentuk perceraian, yakni cerai talak dan cerai gugat. Kedua nomenklatur tersebut pertama kali dipernalkan oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan diubah kembali menjadi Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.[18]

Cerai talak adalah salah satu cara yang dibenarkan dalam hukum Islam untuk memutuskan ikatan perkawinan. Dalam cerai talak suami berkedudukan sebagai pemohon.  Meskipun kebolehan menjatuhkan ikrar talak mutlak hak suami, namun boleh atau tidaknya suami menjatuhkan talaknya kepada isteri tergantung penilaian dan pertimbangan Pengadilan. Setelah Pengadilan mendengar sendiri dan mempertimbangkan pendapat dan bantahan istri.[19]

            Cerai gugat diajukan oleh isteri yang petitumnya memohon agar Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat.[20]  Peraturan perundang-undangan di Indonesia memang tidak membedakkan secara jelas antara cerai gugat dan khulu‘ dalam pasal-pasalnya. Dalam hukum Islam tidak mengenal istilah cerai gugat, yang dikenal hanya khulu’ sebagai jalan perceraian yang bisa diajukan oleh perempuan.[21]

            Pelembagaan cerai gugat di Indonesia merupakan pengembangan dari konsep At-tafrîq al-qadhâ’I yang dikenal dalam kajian fikih. At-tafrîq al-qadhâ’I adalah pemutusan ikatan pernikahan antara suami istri melalui putusan hakim yang didasarkan atas permintaan salah satu pihak karena sebab seperti syiqaq, dharar, tidak adanya nafkah, atau pun tanpa adanya permohonan dari salah satu pihak namun dilaksanakan dalam rangka menjaga hak-hak syara’ seperti bilamana salah satu pihak keluar dari agama (murtad).[22] Konsep At-tafrîq al-qadhâ’I merupakan sandaran hakim atas kewenangan yang diberikan oleh negara untuk memutuskan cerai atas permintaan istri yang pada dasarnya secara syar’I kewenangan itu merupakan milik suami.

            Secara teknis, pengaturan perceraian dengan inisiatif istri diatur pada Pasal 73 atat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Pasal tersebut menyebutkan bahwa “Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat”.[23]

Bentuk Pembebanan Akibat Talak di Indonesia

Pasca perceraian, al Qur’an surat ath Thalaq: 6 menyiratkan kewajiban suami untuk memberi nafkah kepada mantan istri selama masa iddah.[24] Terkait mut’ah, Al Qur’an Surat Al Baqarah: 241 dan Al Ahzab: 49 Allah SWT mewajibkan suami.[25]

Menurut ahli fikih, nafkah adalah biaya yang wajib dikeluarkan oleh seorang suami terhadap sesuatu yang menjadi tanggungannya kepada istri yang telah diceraikannya, baik itu biaya untuk kebutuhan pangan, papan, dan sandang.  Pemberian nafkah iddah yang diterima istri berdasarkan bentuk perceraian yang terjadi seperti, talāq raj’i ataupun talaq bā’in.[26]

Mengenai nafkah iddah bagi isteri yang sedang dalam iddah talak ba’in ada perbedaan pendapat di antara para ahli-ahli fiqh. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita yang sedang dalam iddah talak ba’in berhak atas nafkah seperti yang ia terima sebelum terjadi perceraian, sebab selama masa iddah ia harus tetap tinggal di rumah suami. Imam Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa wanita yang sedang dalam iddah talak ba’in hanya berhak mendapat nafkah penuh apabila ia dalam keadaan hamil, apabila tidak hamil ia hanya berhak atas tempat tinggal saja. Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa wanita yang sedang dalam iddah talak ba’in tidak berhak nafkah dan juga tidak berhak memperoleh tempat tinggal.[27]

Pemberian mut’ah dapat dipahami sebagai pemberian suami kepada istrinya yang ditalak (mut’ah at-talaq) berupa harta atau pakaian untuk menyenangkan hati sebagai imbalan atas kesedihan akibat perceraian yang terjadi.[28] Keharusan memberi mut’ah tersebut merupakan kompensasi yang berbeda dengan mut’ah sebagai pengganti atas mahar yang belum dilunasi.[29]

Di samping nafkah iddah dan mut’ah, mahar yang belum dilunasi juga menjadi kewajiban suami untuk membayar ketika sudah bercerai. Perintah untuk memberikan mahar adalah hak istimewa yang diberikan Tuhan kepada perempuan yang tidak boleh diganggu gugat oleh orang lain, ini merupakan prinsip bahwa perempuan mampu bertanggung jawab atas apa yang menjadi haknya. Hakikat mahar menjadi hak mutlak perempuan, baik dalam ikatan perkawinan maupun perceraian.[30]

Di Indonesia, pada dasarnya negara telah hadir untuk memberikan perlindungan perempuan, khususnya akibat perceraian melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 41 huruf © menyebutkan bahwa “Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri”.[31] Dengan ketentuan tersebut, Negara mewajibkan suami bertanggungjawab atas ongkos hidup untuk bekas istri. Sebelum undang-undang perkawinan tersebut dibuat, suami sering mengabaikan hak-hak istri setelah perceraian. Sehingga berakibat pada pembiaran dan melahirkan penderitaan kepada bekas istri dan anak-anak.[32]

Secara rinci Kompilasi Hukum Islam juga mengontrol hak-hak perempuan akibat cerai. Pada KHI Pasal 149  mewajibkan bekas suami untuk memberikan penghibur berbentuk uang atau barang  kepada bekas istri yang telah disetubuhi, nafkah, tempat tinggal dan pakaian selama dalam masa iddah kepada bekas isteri yang talak ba’in dan tidak hamil dengan syarat bekas istri bukanlah seorang pembangkang kepada suami. Bekas suami juga berkewajiban membayar mas kawin yang belum ditunaikan, dan setengahnya jika belum digauli. Bekas suami juga harus menanggung nafkah anak-anak yang lahir dari perkawinan keduanya sampai anak tersebut dewasa dan berusia 21 tahun[33].

Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung juga menyiratkan kewajiban suami untuk membayar nafkah yang belum dibayar yang menyebutkan bahwa ”Dalam rangka pelaksanaan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk memberi perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, maka pembayaran kewajiban akibat perceraian, khususnya nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah madliyah, dapat dicantumkan dalam amar putusan dengan kalimat dibayar sebelum pengucapan ikrar talak. Ikrar talak dapat dilaksanakan bila istri tidak keberatan atas suami tidak membayar kewajiban tersebut pada saat itu (Ketentuan ini mengubah huruf C, angka 12, SEMA Nomor 3 Tahun 2015, in casu nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah madliyah).[34]

Ketentuan pembayaran nafkah terhutang mantan suami sebagaimana Hasil Rapat Pleno Tahun 2017 di atas kembali dipertegas melalui revisi tahun 2018 yang menyebutkan bahwa “Nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah anak Menyempurnakan rumusan Kamar Agama dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2012 angka 16 sehingga berbunyi: “Hakim dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah anak, harus mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar hidup isteri dan/atau anak”.[35]

Di samping nafkah anak pasca perceraian, mantan suami juga berkewajiban membayar nafkah anak yang terhutang kepada mantan istri atau orang yang mengasuhnya, sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019, tanggal 27 November 2019 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan menyatakan bahwa “Nafkah lampau (nafkah madliyah) anak yang dilalaikan oleh ayahnya dapat diajukan gugatan oleh ibunya atau orang yang secara nyata mengasuh anak tersebut”.[36]

Mekanisme Pemenuhan Pembebanan Akibat Talak Dalam Perkara Cerai Gugat

            Meski seperangkat peraturan perundang-undangan telah mengatur hak-hak perempuan pasca perceraian. Akan tetapi, peraturan perundang-undangan tersebut belum mampu secara maksimal memberikan kesadaran kepada mantan suami dan ayah untuk memenuhi kewajibannya secara sukarela kepada mantan istri dan anaknya.

Minimnya kesadaran mantan suami untuk menunaikan hak-hak istri setelah perceraian dipicu oleh doktrin tradisional oleh fiqih klasik yang menyatakan bahwa talak merupakan hak prerogatir suami. Pembacaan terhadap norma-norma agama mengenai perceraian yang terkandung di dalam kitab suci ummat Islam menunjukkan bahwa suami adalah pemegang hak talak yang mutlak, karena ia diserahi kewajiban untuk membayar nafkah, mahar, kenang-kenangan, dan penghidupan selama masa tunggu. Suami selalu dipandang memiliki kesabaran yang lebih ketimbang istri, dengan demikian meski sedang marah atau ada masalah, mereka tidak langsung bercerai. Di sisi lain, perempuan lebih rentan bercerai karena dianggap kurang cerdas atau kurang mampu mengendalikan emosi[37]. Doktrin tersebut menjadi istri sebagai subordinasi suami, sehingga cerai atas inisiatif istri menetapkan stigma sebagai istri yang membangkang kepada suami yang mengakibatkan jatuhnya hak-hak akibat cerai untuk istri.

            Doktrin tersebut diasumsikan tidak hanya dipegang oleh masyarakat yang berlatarbelakang fiqih  klasik, namun juga mempengaruhi sebagian hakim yang berada di lingkungan Badan Peradilan Agama. Beberapa fuqaha’, termasuk Umar bin Kattab, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Imam Syafi’i, dan Imam Malik, berpandangan bahwa bekas pasangan suami hanya berhak atas kediaman, namun tak berhak atas penghidupan yang diperlukan sewaktu menjalani iddah[38], menjadi pegangan sebagian hakim untuk tidak memberikan hak-hak istri setelah perceraian, di samping tidak adanya payung hukum yang jelas yang menjustifikasi pengadil untuk penunaian hak-hak  perempuan setelah perceraian pada kasus gugatan cerai.

            Hak-hak mantan istri sebagaimana diatur dalam Pasal 41 huruf © Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 149 Kompilasi Islam jamak dipahami dalam konteks perceraian yang diinisiasi oleh suami. Sehingga cerai gugat yang istri menjadi inisiator dipandang tidak memiliki hak atas ketentuan Pasal 41 huruf © Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 149 Kompilasi Islam.

            Implikasi dari bias pemahaman dan doktrin fiqih klasik tersebut adalah pemenuhan hak-hak perempuan setelah perceraian sebagaimana kehendak Pasal 41 huruf © Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 149 Kompilasi Islam itu cuma bisa dilakukan dalam kasus cerai atas inisiatif suami saja atau dikenal dengan nomenklatur Cerai Talak. Dalam kasus cerai talak, harus dipahami bahwa bekas suami harus membayar kenang-kenagan kepada bekas istri yang telah digauli, penghidupan, rumah kediaman, pakaian sewaktu masa tunggu, dan membayar hutang kepada bekas istri. Namun, tidak ada batasan untuk perkara ini.[39] Pemahaman seperti ini merupakan jenis diskriminasi terhadap perempuan yang merusak hak asasi manusia dan perlu keterlibatan negara untuk menguranginya.

            Dalam perkara cerai talak, pemenuhan hak-hak mantan istri relatif lebih mudah dilakukan. Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung tahun 2017 mengisyaratkan kemudahan tersebut. Dengan norma yang menyebutkan bahwa bahwa kewajiban pembayaran akibat perceraian dapat dicantumkan dalam amar putusan dengan kalimat “dibayar saat pengucapan ikrar talak”,[40] menjadikan kepentingan suami untuk mengikrarkan talak di depan persidangan dapat ditangguhkan sampai suami menunaikan kewajiban istri sebagaimana putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde). Dengan ketentuan tersebut, untuk mendapatkan hak-hak akibat cerainya, istri tanpa perlu melakukan permohonan eksekusi yang bisa saja memakan biaya yang banyak.

            Kemudahan bagi istri untuk mendapatkan hak-hak akibat talak pada perceraian dengan suami sebagai inisiator tidak berbanding lurus dengan perceraian yang diinisiasi oleh istri. Meski Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam menjamin hak-hak akibat talak istri, namun ketentuan tersebut selalu dipahami sebatas konteks cerai talak melalui kesediaan suami, gugatan rekonvensi istri maupun ex officio hakim.

            Akhirnya, pada tahun 2018, melalui Rapat Pleno Kamar Agama, Mahkamah Agung secara tegas memberikan peluang bagi hakim untuk memberikan hak-hak akibat cerai istri dalam perkara cerai gugat melalui tuntutan. Norma tersebut berbunyi bahwa “Mengakomodir Perma Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, maka isteri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan mut’ah, dan nafkah ‘iddah sepanjang tidak terbukti nusyuz”.[41]

            Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 yang secara substansi menekankan kepada hakim agar dalam memeriksa perkara yang melibatkan perempuan harus memperhatikan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, Kesetaraan Gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum.[42] Dan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama tahun 2018 belum mampu menghadirkan hak-hak istri dengan mudah. Kedua aturan tersebut tidak memuat instrument bagi istri agar secara mudah mendapatkan hak-haknya jika pengadilan telah menghukum suami untuk membayar akibat cerai, sebagaimana halnya dalam cerai talak, kecuali dengan mekanisme eksekusi yang memiliki prosedur panjang dan memakan biaya relative besar.

            Tahun 2019, Mahkamah Agung akhirnya menjawab kegundahan mantan istri yang kesulitan untuk mendapatkan hak-hak dari mantan suaminya, meski telah terdapat putusan yang berkekuatan hukum tetap. Melalui Rapat Pleno Kamar Agama, Mahkamah Agung menciptakan instrumen agar mantan istri lebih mudah mendapatkan hak-hak akibat cerai dalam perkara cerai gugat dari mantan istri. Intrumen tersebut termuat dalam ketentuan yang menyebutkan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agunic Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum untuk memberi perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, maka amar pembayaran kewajiban suami terhadap istri pasca perceraian dalam perkara Cerai Gugat dapat menambahkan kalimat sebagai berikut: “…yang dibayar sebelum Tergugat mengambil akta cerai”, dengan ketentuan amar tersebut dinarasikan dalam posita dan petitum gugatan.[43]

            Walaupun ketentuan di atas merupakan angin segar bagi mantan istri yang tertunda haknya, namun berhenti pada ketentuan tersebut, belum juga sepenuhnya menyelesaikan permasalahan. Ketentuan “yang dibayar sebelum Tergugat mengambil akta cerai” tidak dapat berdiri sendiri, sebab tetap akan menimbulkan kesulitan dalam proses eksekusi, atau bahkan menjadikan proses eksekusi menjadi tidak mungkin untuk dilakukan.

Analisis Akibat Cerai Dalam Perkara Cerai Gugat Pada Putusan Nomor 55/Pdt.G/2024/Ms.Bkj

            Putusan ini merupakan perkara cerai gugat dengan istri sebagai inisiator. Di samping meminta hakim untuk menjatuhkan talak satu bain sugrha dari suaminya, istri sebagai Penggugat juga meminta agar hakim menghukum suami untuk memberikan nafkah selama masa iddah, penggugat ditetapkan sebagai pemegang hak asuh anak penggugat dan tergugat serta agar tergugat dihukum untuk memberi nafkah anak penggugat dan tergugat melalui penggugat.

            Tentang cerai, hakim menilai bahwa penggugat telah mampu membuktikan dalil-dalil gugatan Penggugat mengenai alasan cerai sebagaimana ketentuan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975[44] dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam[45] yakni “antara suami isteri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus yang sudah tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi sebagai suami isteri”. Sehingga dalam putusannya, Hakim mengabulkan seluruh gugatan Penggugat dengan menjatuhkan talak satu bain sughra tergugat.

            Fokus tulisan ini adalah menganalisis  pembebanan akibat talak dan lebih khusus lagi dalam perkara cerai dengan inisiatif istri yang ada di dalam Putusan Nomor 55/Pdt.G/2024/Ms.Bkj, oleh karenanya Penulis mencukupkan pembahasan mengenai perceraiannya, hak asuh dan nafkah anak.

            Dalam hal akibat talak, Penggugat mendalilkan jika penggugat merupakan istri yang selalu taat dan melayani suami dan tidak pernah melakukan kedurhakaan, sehingga menurut penggugat, penggugat berhak untuk mendapatkan nafkah selama masa iddah.

            Sebenarnya, perkara pokok dalam  Putusan Nomor 55/Pdt.G/2024/Ms.Bkj adalah perkara perceraian, akan tetapi dikumulasi dengan perkara gugatan nafkah selama masa iddah. Model kumulasi gugatan seperti ini, menurut hakim adalah kumulasi yang dibenarkan dalam hukum acara, sebab diatur dalam Pasal 86 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Jis. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009[46] menyebutkan bahwa “Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.

            Meski secara tegas norma tentang pemberian akibat talak dalam perkara cerai gugat relatif baru, yakni pada tahun 2018, namun hakim telah “gas pol” menerapkan ketentuan tersebut. Dengan dasar fakta bahwa Penggugat tidak sebagai istri yang nusyuz sebagaimana yang disyaratkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 137 K/AG/2007 tanggal 6 Februari 2008[47] dan Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam, hakim mengabulkan gugatan penggugat dengan menghukum tergugat untuk membayar nafkah selama masa iddah kepada penggugat sebelum tergugat mengambil akta cerai.

            Klausula “yang dibayar sebelum tergugat mengambil akta cerai” dalam dictum amar putusan ini, merupakan penerapan dari Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Hasil rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung. Penerapan tersebut, merupakan bentuk keberpihakan pada keadilan yang berwujud pada pembelaan pada hak-hak mantan istri. Dengan pembelaan tersebut, menurut pembacaan Penulis dari jalan pemikiran hakim adalah semata-mata untuk memudahkan mantan istri mendapatkan hak-haknya dari mantan suaminya. Sebab idealnya, hak-hak mantan istri tersebut merupakan kewajiban mantan suami yang wajib ditunaikan tanpa harus diminta atau bahkan dituntun melalui proses litigasi ke pengadilan.

            Hal yang sangat menarik dalam putusan ini adalah bahwa hakim tidak berhenti pada dictum di atas. Agar hukuman untuk membayar nafkah terjamin dengan mudah ditunaikan oleh mantan suami, hakim menafsirkan lebih jauh ketentuan yang ada dalam Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Hasil rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung.

            Dalam dictum amar putusannya, hakim memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren untuk menunda penyerahan Akta Cerai tergugat sampai tergugat menunaikan beban sebagaimana diktum keenam amar putusan ini. Dictum tersebut berdasarkan pada pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa klausula “sebelum tergugat mengambil akta cerai” tidak dapat berdiri sendiri, sebab akan menimbulkan kesulitan dalam proses eksekusi, atau bahkan menjadikan proses eksekusi menjadi tidak mungkin untuk dilakukan. Sehingga, secara teknis perlu ada amar tambahan yang dapat melegitimasi pejabat yang berwenang menerbitkan akta cerai untuk menahan akta cerai sampai pihak yang dihukum menunaikan kewajibannya.

            Bagi Penulis, sikap hakim yang memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren untuk menunda penyerahan Akta Cerai tergugat adalah sebuah trobosan. Meski tidak diminta oleh Penggugat dalam gugatannya, tetapi hakim lebih jauh menyelami ketentuan yang ada dengan memberikan legitimasi kepada pejabat yang berwenang menerbitkan akta cerai untuk menahan akta cerai sampai pihak yang dihukum menunaikan kewajibannya.

            Sikap hakim yang memberikan kemudahan kepada penggugat berupa amar menghukum penitera, meskipun tidak diminta penggugat, bukanlah sebagai putusan yang ultra petita. Akan tetapi merupakan upaya perlindungan dan kepastian hukum agar putusan tidak menjadi suatu hal yang ilusioner.

            Mukti Arto menyatakan bahwa: dalam menjatuhkan amar putusan, periksalah apakah masih diperlukan amar tambahan supaya perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak dapat diwujudkan. Yakni amar kondemnatoir dan amar penopang kemudahan eksekusi. Apabila amar mengenai pokok perkara masih memerlukan eksekusi ataupun tindak lanjut administrasi, maka periksalah apakah diperlukan amar tambahan secara ex officio berdasarkan ketentuan Pasal 57 ayat (3) dan Pasal 58 ayat (2) UU-PA jo Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang secara teologis menghendaki agar eksekusi dan/atau tindak lanjut administrasi nantinya dapat dilakukan dengan efektif dan efisien serta terhindar dari hambatan yuridis maupun teknis dalam eksekusi nanti.

            Sejatinya, mekanisme demikian juga belum dapat sepenuhnya memastikan hak-hak mantan istri dapat terpenuhi dengan mudah. Akan tetapi, setidaknya penahanan akta cerai mantan suami dapat menjadi garansi untuk terpenuhinya hak-hak akibat talak mantan istri yang termuat dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Mantan suami yang enggan memenuhi kewajiban akibat talak kepada mantan istri secara sukarela, dapat dipaksa ketika mantan suami membutuhkan akta cerai.

  1. KESIMPULAN

            Pembebanan akibat talak dalam perkara cerai gugat meliputi nafkah iddah, mut’ah, nafkah anak, dan pembagian harta bersama. Keputusan mengenai hal-hal tersebut diatur oleh pengadilan dengan mempertimbangkan faktor keadilan bagi kedua belah pihak. Melalui peraturan yang ada, diharapkan proses perceraian dapat berjalan dengan adil tanpa mengorbankan hak-hak istri dan anak pasca perceraian. Bagi masyarakat, pentingnya pemahaman tentang tanggung jawab dan kewajiban dalam perceraian dapat membantu mengurangi perselisihan yang timbul dan menciptakan hubungan yang lebih harmonis setelah perceraian.

Putusan Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren Nomor 55/Pdt.G/2024/Ms.Bkj, adalah contoh dari upaya kehadiran negara melalui palu yang dipegang hakim pada Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren untuk menjamin kemudahan bagi mantan istri untuk mendapatkan hak-hak akibat talak dari mantan suami.

Putusan tersebut menyadarkan kita bahwa di Negara hukum ini, tidak boleh ada pengangkangan hak-hak warga Negara oleh warga Negara lainnya, sekecil apapun hak tersebut, hatta hak-hak domestik dalam rumah tangga. Negara harus hadir dalam setiap pemenuhan warganya dan hakim harus menjadi garda terdepan.

DAFTAR PUSTAKA

Alamudi, Ichwan Ahnaz, and Ahmadi Hasan. ‘Kedudukan Fatwa DSN Dalam Tata Hukum Nasional’. Mitsqan Ghalizha 2, no. 3 (2023).

Alhamdani, H.S.A. Alih Bahasa Agus Salim. RISALAH NIKAH (Hukum Perkawinan Islam). Jakarta: Pustaka Amani, 1989.

Ass Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al Amir. Terjemahan Subulus Salam. Daarus Sunnah, n.d.

Az Zuhaili, Wahbah. Terjemahan Fiqhul Islam Wa Adillatuhu. Vol. 9. Jakarta: Dar al Fikr, n.d.

Buku II: Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Badan Peradilan Agama. Vol. II. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, 2013.

Doi, Abdur Rahman I. PERKAWINAN DALAM SYARI’AT ISLAM. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Iman, Rifqi Qowiyul. ‘At-Tafrîq Al-Qadhâ’i Dan Kewenangan Peradilan Agama Memutus Perceraian’. Badilag Mahkamah Agung, n.d. https://drive.google.com/file/d/1UqbamQW7bW_V8MIRNourg_3S5YvwfuD3/view.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, n.d.

Kementerian Agama Republik Indonesia. Al Qur’an al Karim. Bandung: CV. Jabal RaudhatulJannah, 2009.

Ketua Mahkamah Agung. ‘Surat Edaran Mahkamah Agung RI. Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Pemberlakuan Ruumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan’, n.d.

———. ‘Surat Edaran Mahkamah Agung RI. Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pemberlakuan Ruumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan’, n.d.

———. ‘Surat Edaran Mahkamah Agung RI. Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Pemberlakuan Ruumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan’, n.d.

Khambali, Muhammad. HUKUM PERKAWINAN (Kajian Perkawinan Dengan Alasan KDRT). Yogjakarta: Depublish, 2017.

Mahkamah Agung Republik Indonesi. ‘Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 137 K/AG/2007 Tanggal 6 Februari 2008’, n.d.

Najichah, Najichah. ‘IMPLIKASI INISIATIF PERCERAIAN TERHADAP HAK NAFKAH ISTRI’. Journal of Islamic Studies and Humanities 5, no. 1 (17 December 2020): 42–60. https://doi.org/10.21580/jish.v5i1.6960.

Novita, Haryanti. HAK-HAK PEREMPUAN PASCA PERCERAIAN. Tanggerang Selatan: YPM, 2020.

‘PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN MENGADILI PEREMPUAN BERHADAPAN DENGAN HUKUM’, n.d.

‘Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan’, n.d.

Sabiq, Sayid. Fiqih Sunnah. 8th ed. Jakarta: Republika Penerbit, 2017.

Sastroatmodjo, Arso, and Wasit Aulawi Aulawi. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Siddik, Haji Abdullah. HUKUM PERKAWINAN ISLAM. Jakarta: Tinta Mas, 1983.

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan. Yogjakarta: Liberty, n.d.

Syarifuddin, Amir. HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA (Antara Fikih Munakahan Dan Undang-Undang Perkawinan). Jakarta: Prenadamedia Group, 2006.

———. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang  Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2007.

Umar, Nasaruddin. Fikih Wanita Untuk Semua. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, n.d.

‘Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama’, n.d.

Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 1 Tahun 1974  Tentang  Perkawinan Sebagaimana Telah Diubah Menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, n.d.

[1] Penulis adalah Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren

[2] Muhammad bin Ismail Al Amir Ass Shan’ani, Terjemahan Subulus Salam (Daarus Sunnah, n.d.).12.

[3] Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, 8th ed. (Jakarta: Republika Penerbit, 2017).15

[4] Sabiq.15.

[5] Abdur Rahman I Doi, PERKAWINAN DALAM SYARI’AT ISLAM (Jakarta: Rineka Cipta, 1992).96.

[6] Sabiq, Fiqih Sunnah.15.

[7] Wahbah Az Zuhaili, Terjemahan Fiqhul Islam Wa Adillatuhu,9, (Jakarta: Dar al Fikr, n.d.).378.

[8] Az Zuhaili.379.

[9] Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA (Antara Fikih Munakahan Dan Undang-Undang Perkawinan) (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006).89.

[10] Muhammad Khambali, HUKUM PERKAWINAN (Kajian Perkawinan Dengan Alasan KDRT) (Yogjakarta: Depublish, 2017).16.

[11] Arso Sastroatmodjo and Wasit Aulawi Aulawi, Hukum Perkawinan Di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).59.

[12] Khambali, HUKUM PERKAWINAN (Kajian Perkawinan Dengan Alasan KDRT).16.

[13] H.S.A. Alih Bahasa Agus Salim Alhamdani, RISALAH NIKAH (Hukum Perkawinan Islam) (Jakarta: Pustaka Amani, 1989).227.

[14] Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA (Antara Fikih Munakahan Dan Undang-Undang Perkawinan).242.

[15] Syarifuddin.260.

[16] Haji Abdullah Siddik, HUKUM PERKAWINAN ISLAM (Jakarta: Tinta Mas, 1983).111.

[17] Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA (Antara Fikih Munakahan Dan Undang-Undang Perkawinan).288.

[18] ‘Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama’, n.d.

[19] Khambali, HUKUM PERKAWINAN (Kajian Perkawinan Dengan Alasan KDRT).17-18.

[20] Buku II: Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Badan Peradilan Agama, vol. II (Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, 2013).160.

[21] Najichah Najichah, ‘IMPLIKASI INISIATIF PERCERAIAN TERHADAP HAK NAFKAH ISTRI’, Journal of Islamic Studies and Humanities 5, no. 1 (17 December 2020): 42–60, https://doi.org/10.21580/jish.v5i1.6960.49.

[22] Rifqi Qowiyul Iman, ‘At-Tafrîq Al-Qadhâ’i Dan Kewenangan Peradilan Agama Memutus Perceraian’, Badilag Mahkamah Agung, n.d., https://drive.google.com/file/d/1UqbamQW7bW_V8MIRNourg_3S5YvwfuD3/view.4.

[23] ‘Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama’.

[24] Kementerian Agama Republik Indonesia, Al Qur’an al Karim (Bandung: CV. Jabal RaudhatulJannah, 2009).

[25] Kementerian Agama Republik Indonesia.

[26] Haryanti Novita, HAK-HAK PEREMPUAN PASCA PERCERAIAN (Tanggerang Selatan: YPM, 2020).29.

[27] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (Yogjakarta: Liberty, n.d.).122.

[28] Novita, HAK-HAK PEREMPUAN PASCA PERCERAIAN.31.

[29] Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA (Antara Fikih Munakahan Dan Undang-Undang Perkawinan).301.

[30] Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, n.d.).78-79.

[31] Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 1 Tahun 1974  Tentang  Perkawinan Sebagaimana Telah Diubah Menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, n.d.

[32] Sastroatmodjo and Aulawi, Hukum Perkawinan Di Indonesia.

[33] Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, n.d.

[34] Ketua Mahkamah Agung, ‘Surat Edaran Mahkamah Agung RI. Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Pemberlakuan Ruumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan’, n.d.17.

[35] Ketua Mahkamah Agung, ‘Surat Edaran Mahkamah Agung RI. Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Pemberlakuan Ruumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan’, n.d.

[36] Ketua Mahkamah Agung, ‘Surat Edaran Mahkamah Agung RI. Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pemberlakuan Ruumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan’, n.d.

[37] Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, 8th ed. (Jakarta: Republika Penerbit, n.d.), h.17.

[38] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang  Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), h.323.

[39] Najichah Najichah, ‘IMPLIKASI INISIATIF PERCERAIAN TERHADAP HAK NAFKAH ISTRI’, Journal of Islamic Studies and Humanities 5, no. 1 (17 December 2020): 42–60, https://doi.org/10.21580/jish.v5i1.6960, h.53.

[40] Ketua Mahkamah Agung, ‘Surat Edaran Mahkamah Agung RI. Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Pemberlakuan Ruumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan’.

[41] Ketua Mahkamah Agung.

[42] ‘lihat Pasal 2 PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN MENGADILI PEREMPUAN BERHADAPAN DENGAN HUKUM’, n.d.

[43] Ketua Mahkamah Agung, ‘Surat Edaran Mahkamah Agung RI. Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pemberlakuan Ruumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan’.

[44] ‘Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan’, n.d.

[45] Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

[46] ‘Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama’.

[47] Mahkamah Agung Republik Indonesi, ‘Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 137 K/AG/2007 Tanggal 6 Februari 2008’, n.d.

Bagikan:

Tinggalkan komentar