MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

MAHKAMAH SYAR'IYAH BLANGKEJEREN

Alamat : Jl. Inen Mayak Teri, Sp. Reli, Kp. Jawa,

Kec. Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, Aceh 24655

Telp      :  (0642) 21754

Email    : ms.blangkejeren@gmail.com

MODERNISASI HUKUM ISLAM DALAM BINGKAI MAQASID AL SYARI’AH PERSPEKTIF IBNU TAIMIYAH | Oleh Gunawan, S.H.I.

Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren

Gunawan[1]

Abstrak.

Sebagai ulama terkemuka, Ibnu Taimiyah diasumsikan sebagai sosok ulama yang kontroversial dalam pemikiran hukum Islam. Di awali dengan kritik kerasnya  terhadap metode ta’wil, menyarankan untuk memahami ajaran agama dengan cara menerima pesannya dan meyakini apapun makna lahir yang tersirat di dalam teks agama dan bentuk pemahamannya yang mengedepankan modernitas. Dengan konsep maqasid syari’ahnya, Ibnu Taimiyah melahirkan konsep-konsep yang tak jarang diasumsikan sebagai bentuk ekstrimisme. Dimulai dari pentingnya membela agama, model negara Islam, hingga hubungan antar agama. Dengan artikel ini, Penulis ingin mengeksplorasi pemikiran Ibnu Taimiyyah tentang maqasid asy-syari‘ah. Bermetodekan penelitian library research, Penulis menemukan bahwa Ibnu Taimiyah membagi maqasid asy-syari‘ah menjadi tiga tingkatan, yaitu almaqsud al-a’ẓam yakni hifẓu ad-din, al-maqasid al-asasiyah dan ketiga maqasid furu’iyah. Dari ketiga tingkatan inilah Ibnu Taimiyah melahirkan pendapat-pendapat yang out of the box dari lazimnya pendapat-pendapat dari ulama semasanya.

Keyword: Ibnu Taimiyah, Maqasid, al Syari’ah

  1. PENDAHULUAN

            Nilai-nilai maqasid asy-syari‘ah sebenarnya sudah muncul sejak zaman Rasulullah SAW, walaupun belum terkonsep seperti saat ini. Meski demikian, setidaknya cita-cita untuk mewujudkan kemaslahatan dalam legislasi hukum Islam sudah tercermin dalam setiap produk-produk hukum saat itu. Missal, ketika Rasulullah SAW menghimbau agar para pemuda untuk segera menikah bagi yang telah memiliki kemampuan. Anjuran tersebut dilakukan Rasulullah SAW. agar maqasid asy-syari‘ah dapat terwujud. Dengan menikah, kehormatan manusia akan terwujud, dan pandangan mata akan terjaga. Bagi yang belum memiliki kemampuan dianjurkan untuk berpuasa sebagai pengendali hawa nafsu.

            Pasca wafatnya Rasulullah SAW, semangat maqasid asysyari‘ah diwariskan kepada para sahabat. Problematika ditengah umat Islam yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, mengharuskan kreatifitas sahabat-sahabat menemukan solusinya. Misalnya, Sahabat Umar bin Khatab yang melakukan pembaruan hukum seperti dalam kasus thalak, pencurian, zakat. Pembaruan Umar tersebut mewujudkan kemaslahatan di masyarakat yang menjadi keinginan syari’at.

            Jika dilihat dari aspek historis, istilah maqasid asy-syari‘ah pertama kali dikenalkan oleh Hakim al-Tirmizi (wafat akhir abad III Hijriyah) dalam karya-karyanya yang berjudul al-Shalah wa Maqasiduha, al-Haj wa Asraruhu, al- ‘Illah, ‘Ilal al-Syari‘ah, ‘I’lal al- ‘Ubudiyyah[2]. Sementara Ibnu Taimiyah, dalam diskursus maqasid syari’ah tidak masuk ke dalam deretan ulama yang dikenal banyak berkontribusi. Walau demikian, karena pandangan dan gagasan kontroversial mengenai isu-isu hukum yang digagas Ibnu Taimiyah tetap memiliki pengikut seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Utsaimin, dan Syaikh Albani yang kesemuanya bercorak salafi[3].

            Maqasid Syariah adalah konsep kunci dalam hukum Islam yang berfokus pada tujuan syariah, seperti menjaga kemaslahatan umum dan menghindari kerusakan. Ibnu Taimiyah, seorang ulama besar pada abad ke-13, memiliki pandangan yang signifikan terkait Maqasid Syariah yang menawarkan perspektif unik dan pragmatis dalam penerapan hukum Islam. Hal ini menarik penulis untuk menggali pandangan Ibnu Taimiyah tentang maqasid asy-syari‘ah.

  1. PEMBAHASAN
  2. Biografi dan Pemikiran Ibnu Taimiyah

            Dengan nama lengkap Taqi al-Din Ahmad bin ‘Abd al-Halim, Ibnu Taimiyah lahir di Harran, 22 Januari 1263 M (10 Rabi’ al-Awwal 661 H) Keluarganya sangat dikenal berpendidikan tinggi Ayahnya, ‘Abdul-Halim, pamannya Fakhruddin dan kakeknya Majduddin merupakan ulama besar dari mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku. Keluarganya mengungsi dari tempat kelahirannya tahun 1262 M, menjelang kedatangan pasukan Mongol dan mengungsi di Damaskus. Pada saat 1tu, Ibnu Taimiyah baru berusia 7 tahun[4].

            Ibnu Taimuyah menamatkan ilmu dalam bidang yurisprudensi (figh), hadis Nabi, tafsir Alquran, matematika dan filsafat, pada usia sangat muda dengan diasuh oleh guru-guru diantaranya adalah Shamsuddin al-Maqdisi, mufti pertama dari Mazhab Hanbali di Suriah, setelah adanya reformasi sistem pengadilan oleh Sultan Baibar. Jumlah guru Ibnu Taimiyah melebili 200 orang, di samping Shamsuddin di antaranya, yang lain adalah Ibnu Abi al- Yusr, al-Kamal bin ‘Abdul-Majd bin ‘Asakir, Yahya bin al- Shairafi, Ahmad bin Abu al-Khair, dan sebagainya. Dengan banyaknya guru tersebuy, Ibnu Taimiyah kemudian melejit jauh ke depan, di bariding mereka-mereka yang belajar bersamanya[5].

            Ibnu Taimiyah baru berusia 17 tahun ketika Mufti al- Maqdisi memberi wewenang kepadanya untuk memberikan fatwa (keputusan hukum) Mufti itu sangat bangga, untuk pertama kalinya memberikan penghargaan kepada seseorang yang sangat cerdas dan berilmu, seperti Ibnu Taimiyah, untuk memberikan fatwa. Pada saat yang sama, Ibnu Taimiyah juga mulai mengajar Ketika ia berusia 30 tahun, ia diangkat menjadi kepala kantor pengadilan, tetapi 1a menolaknya Ia tak mampu membujuk dirinya sendiri untuk mengikuti berbagai batasan yang ditentukan oleh penguasa[6].

            Profesinya sebagai penulis ditekuninya sejak usia dua puluh tahun. Tulisan-tulisannya banyak bernada kritik terhadap segala pendapat dan paham yang tidak sejalan dengan pemikirannya, karena menurutnya bertentangan dengan ajaran Al- Qur’an dan hadis. Pada umumnya karya-karya Ibnu Taimiyah dimaksudkan untuk memberi komentar dan kritik terhadap pendapat-pendapat para ulama semasanya maupun pendahulunya. Sebagai penulis, ia termasuk sangat produktif. Hasil karyanya berjumlah 500 jilid, di antaranya yang terkenal adalah (1) Kitab ar-Radd ‘Ala al-Mantiqiyyin (Jawaban terhadap Para Ahli Mantik), (2) Manhaj as-Sunnah an-Nabawiah (Metode Sunah Nabi), (3) Majmű’al- Fatawa (Kumpulan Fatwa), (4) Bayan Muwafaqat Şahih al-Ma’qul Şarih al-Manqul (Uraian tentang Kesesuaian Pemikiran Yang Benar dan Dalil Naqli Yang Jelas), (5) Ar-Radd ‘Ala al-Hulūliyah wa al-It- tihadiyah (Jawaban terhadap Paham Hulul dan It- tihad), (6) Muqaddimah fi Uşül at-Tafsir (Pengan- tar mengenai Dasar-Dasar Tafsir), (7) Ar-Radd ‘Ala Falsafah Ibn Rusyd (Jawaban terhadap Fil- safat Ibnu Rusyd), (8) Al-Iklil fi al-Mutasyabah wa at-Ta’wil (Suatu Pembicaraan mengenai Ayat Mu- tasyabih dan Takwil), (9) Al-Jawab aş-Şahih li Man Baddala Iman al-Masih (Jawaban Yang Benar ter- hadap Orang-Orang Yang Menggantikan Iman ter- hadap Al-Masih), (10) Ar-Radd ‘Ala an-Nuşairiah (Jawaban terhadap Paham Nusairiah), (11) Risalah al-Qubrusiyah (Risalah tentang Paham Qubrusiah), (12) Isbat al-Ma’ad (Menentukan Tujuan), (13) Šubūt an-Nubūwat (Eksistensi Kenabian), dan (14) Ikhlaş ar-Ra’i wa ar-Ra’iyat (Keikhlasan Pemimpin dan Yang Dipimpin). Karangan-karangannya hampir semua berisikan kritik terhadap segala paham aliran-aliran yang berkembang di dunia Islam. Yang dikritiknya bukan hanya terbatas pada aliran-aliran ekstrem teologi, tasawuf, dan filsafat, seperti aliran *Batiniah, Jahmiyah, Mulahadah Nasiriyah, Wah- dah al-Wujud, Hululiyat, *Dahriah, Mujassimah, Rawandiyah, Musybihah, Mu’attilah, Salimiyah, dan Kalabiyah, tetapi juga aliran-aliran moderat, seperti *Muktazilah, *Asy’ariyah, dan para pemikir Islam yang besar, seperti al-*Gazali, *Ibnu Arabi, *Ibnu Sina, dan *Ibnu Rusyd[7].

            Metode berpikir Ibnu Taimiyah secara rinci dapat dilihat dalam bukunya Majmü’ al-Fatawa (Kumpulan Fatwa-Fatwa). Dalam buku ini nampak sekali komitmen Ibnu Taimiyah sebagai orang yang kuat berpegang pada salaf. Metode berpikirnya adalah metode salaf yang bersumber pada Al-Qur’an dan hadis. Karena itu, pendapat-pendapatnya sarat dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis. Ibnu Taimiyah berkeinginan kuat untuk menggalakkan umat Islam agar bergairah kembali menggali ajaran-ajaran Islam yang termuat dalam Al-Qur’an dan hadis, serta mendorong mereka melakukan ijtihad dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama. Perhatian Ibnu Taimiyah terhadap tafsir sangat besar, terbukti dari bukunya Muqaddimah fi Usul at-Tafsir. Buku itu berisi pendapatnya tentang sistem yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu bahwa metode tafsir yang terbaik adalah tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an[8].

            Ada beberapa aspek yang dapat dipandang sebagai kekuatan pemikiran Ibnu Taimiyah. Pertama, kritik keras Ibnu Taimiyah terhadap metode ta’wil telah memberikan gambaran yang jelas bahwa bagi Ibnu Taimiyah, agama Islam adalah apa yang telah disampaikan oleh Allah dan rasul-Nya dengan contoh implementasi sebagaimana terdapat di dalam Sunnah Rasulullah SAW. Kedua, Ibnu Taimiyah menyarankan untuk memahami ajaran agama dengan cara menerima pesannya dan meyakini apapun makna lahir yang tersirat di dalam teks agama. Ibnu Taimiyah mengawali argumennya dengan prinsip bahwa Tuhan mengetahui kebenaran jauh lebih baik daripada manusia dan mengetahui secara jauh lebih baik mengenai cara untuk mengungkapkan kebenaran tersebut. Ketiga, bentuk pemahaman Ibnu Taimiyah terhadap ajaran agama ini dipandang memiliki keunggulan tersendiri dalam menyongsong modernitas[9].

            Menurut Nurcholis Madjid, pemikiran Ibn Taymiyyah menjadi sesuatu yang doktrinal bagi banyak sekali gerakan pembaruan Islam zaman modern, baik yang fundamentalistik maupun yang liberal. Selain itu, kritik Ibn Taymiyyah terhadap Kalam dan Falsafah dilakukan dengan kompetensi keilmuan Islam yang helenistik[10].

            Ibnu Taimiyah dalam memandang akal dan nash memiliki kedudukan, antara lain: Pertama, bahwa akal (rasio) tidak dipergunakan secara mutlak dalam menentukan hukum, karena dalam pemikirannya, nushush tidak mungkin bertentangan dengan akal.  Kedua, Ibnu Taimiyah tidak berpedoman pada satu pendapat kalangan mazhab saja karena baginya ulama mazhab hanyalah manusia yang bersifat relatif dalam sifat dan pemikirannya.  Ketiga, Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa syari’ah itu hanya bersumber dari Al-Qur’an dan al-Sunnah saja. Maksud dari al-Sunnah ini olehnya dimaknai bahwa seluruh syariat telah diturunkan oleh Allah SWT dan Nabi telah menjelaskan secara keseluruhan dengan sahabat sebagai sanad pertama yang menerima ajaran langsung dari nabi.  Keempat, Ibnu Taimiyyah terkenal teguh dengan manhaj pemikirannya dan selalu berusaha melepaskan diri dari keterkungkungan pendapat fuqaha’ dan ulama lain yang semasanya[11].

  1. Seputar Maqasid Syari’ah

            Secara historis, istilah Maqasid al-Syariah memang belum dikenal di masa-masa awal Islam, bahkan sampai abad ketiga dan kempat, masa keemasan. Akan tetapi pada masa-masa awal tersebut, sudah dikenal istilah maslahah yaitu sejak masa Rasulullah saw., dan masa setelah Rasulullah saw., yang digunakan dalam menentukan sebuah hukum[12].

            Sebagian ulama usul fikih menganggap bahwa Imam al-Syatibi ulama dari madzhab Maliki merupakan peletak pertama, termasuk Ibnu ‘Asyur, bersepakat bahwa Imam al-Syathibi adalah bapak maqashid al-syariah pertama sekaligus peletak dasarnya. Namun itu tidak berarti bahwa sebelum beliau, ilmu maqashid al-syari’ah tidak ada. Imam al-Syathibi lebih tepat disebut orang pertama yang menyusunnya secara sistematis kontruksi maqasid al-syari’ah[13].

            Meski demikian, gagasan tentang maqashid al-syari’ah sejatinya telah ada sejak masa Islam klasik, tetapi pertama kali dijabarkan secara gamblang oleh al-Ghazali (wafat 1111) yang berpendapat bahwa secara umum tujuan Allah menurunkan hukum Islam adalah demi kemaslahatan umum, dan secara khusus untuk menjaga lima unsur penting dalam kehidupan manusia: agama, hidup, akal, keturunan, dan harta. Ahli fikih sejak masa klasik telah mengakui pentingnya prinsip maqashid al-syariah dan mashlahah, tetapi terdapat perbedaan pendapat mengenai seberapa besar perannya dalam hukum Islam.

            Maqashid al-Syarii’ah secara literal merupakan kalimat murakab idhafi yang tersusun dari kalimat maqashid dan alSyari‘ah. Ada dua cara mengetahui pengertian maqashid al Syari’ah, yaitu secara lughawi dan ishtilahi, dimana antara kedua pengertian tersebut saling berketerkaitan secara ‘umum khushss muthlak[14].

            Secara lughawi, maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata yakni “maqashid” dan “al-Syari‘ah”. Maqashid merupakan bentuk jamak (plural) dari kata maqshad merupakan bentuk dari masdar mimi. Maqshad secara bahasa memiliki beberapa pengertian: pertama, pegangan; mendatangkan sesuatu, kedua, jalan yang lurus, ketiga, keadilan; keseimbangan, keempat, pecahan. Sedangkan “al-Syari‘ah” merupakan bentuk dari wazan “fa’ilatun” dengan makna “maf’ulatun” yang berarti jalan menuju sumber air atau sumber pokok kehidupan. Secara ishtilahi, al-Syari̅ah mempunyai beberapa pengertian, salah satunya adalah ketentuan-ketentuan yang diturunkan oleh Allah Swt kepada hambanya melalui Nabi Saw, yang mencakup ‘aqidah, ‘amaliyah, dan akhlak[15].

Jasser Auda menjelaskan bahwa Terma ‘Maqasid’ berasal dari bahasa Arab مقاصد (maqasid), yang merupakan bentuk jamak kata (مقصد )magsud), yang bermakna maksud, sasaran, prinsip, niat, tujuan, tujuan akhir. Terma itu berarti telos (dalam bahasa Yunani), finalité (Prancis), atau Zweck (Jerman), Maqasid hukum Islam adalah sasaran- sasaran atau maksud-maksud di balik hukum Itu”. Bagi sejumlah teoretikus hukum lslam, Maqasid adalah pernyataan alternatif untuk مصالح (masalih) atau kemaslahatan-kemaslahatan’. Misalnya, ‘Abd al-Malik al-juwainl (w. 478 H/1185 M), salah seorang kontributor paling awal terhadap teori Maqasid menggunakan istilah al-maqasid dan al-masalih al-ammah (kemaslahatan-kemaslahatan umum) secara bergantian[16].

Di dalam al Qur’an terdapat beberapa kata qashd atau seakar dengan qashd diantaranya terdapat dalam Q.S. AnNahl: 9, at Taubah: 42, Luqman : 19[17]. Selain al Qur’an, Rasulullah melalui haditsnya juga memerapa kali menyinggung tentang maqasid diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan Bukhari yang menyebutkan bahwa :

Dari Abu Hirairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,”Tidak ada satu pun dari kalian yang akan selamat”. Para shahabat bertanya,”Engkau juga tidak selamat, ya Rasulullah?”. Beliau SAW menjawab,”Tidak juga saya, kecuali dengan rahmat Allah, Tepatlah kalian, mendekatlah, beribadahlah di waktu pagi, sore, dan sedikit dari malam, beramallah yang pertengahan, yang pertengahan, kalian pasti akan sampai. (HR. Bukhari)[18].

            Sedangkan kata syari’ah, secara kebahasaaan berarti agama, ajaran, dan manhaj, jalan, Sunnah. Pada dasarnya kata syari’ah dipakai untuk sumber air yang dimaksudkan untuk diminum. Secara istilah menurut Ibnu Taimiyah nama syariah, syar’I, syir’ah, sesuangguhnya tersusun dari semua yang Allah syariatkan

dari akidah dan amal-amal. Beliau juga berkata bahwa syariah adalah ketaatan kepada Allah, Rasulullah dan pemimpin dari kami[19].

            Syariat secara definitif menurut Imam Ibnu Taimiyah adalah segala sesuatu yang tercantum dalam al-kitab dan al-sunnah yang meliputi akidah, al-ushul, ibadah, dan politik. Imam Ibnu Taimiyah juga mengkritik ulama yang mengatakan bahwa syariat hanya terfokus pada hukum saja, tidak ada kaitannya dengan masalah akidah karena pada realitasnya syariat yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad meliputi kemaslahatan dunia dan akhirat, dan syariat adalah hal-hal yang tercantum dalam AlQur’an dan al-Sunnah, dan semua yang direalisasikan oleh ulama Salaf yang berkaitan dengan akidah, al-ushul, al-ibadat, politik, peradilan, dan pemerintahan[20].

            Jika digabungkan maqasid syari’ah bermakna memahami makna-makna, hikmah-hikmah, tujuan-tujuan, rahasia-rahasia dan hal-hal yang melatar belakangi dari terbentuknya sebuah hukum. Konsep maqashid Syariah adalah salah satu konsep penting dan fundamental yang menjadi pokok bahasan dalam Islam yang menegaskan bahwa Islam hadir untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini telah diakui oleh para ulama dan menjadi acuan dasar dalam keberislaman yang sudah dijelaskan di atas. Adapun ruh dari konsep Maqasid Syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat (dar’u al-mafasid wa jalb al-masalih), istilah yang sepadan dengan inti dari Maqasid Syariah tersebut adalah maslahat, karena Islam dan maslahat laksana saudara kembar yang tidak mungkin dipisahkan[21].

  1. Upaya Pembaruan Hukum Ibnu Taimiyah Melalui Maqasid Syari’ah

            Berbeda dengan Imam Asy Syatibi yang memilih diksi terhadap tingkatan maqashid syari’ah dengan kebutuhan dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat[22]. Ibnu Taimiyah, menurut Yusuf Al-Qaradawi,  membagi maqasid asy-syari‘ah menjadi tiga tingkatan; pertama al-maqshud al-a’zham,  Kedua, al-maqashid alAsasiyah, dan ketiga maqashid Furu’iyah[23].

  1. Al-Maqshud Al-A’zham

            Menurut Ibnu Taimiyah, al-maqsshuud al-A’zham dari syariat atau risalah samawiyyah adalah hifzu ad-din (melestarikan agama). Namun, dalam penjelasannya, Ibnu Taimiyah berbeda dengan jumhur ulama ushul. Menurutnya, konsep hifdlu ad-din yang dirumuskan oleh jumhur ulama ushul fiqh sangat terbatas dan dangkal. Hal ini berbeda dengan konsep hifzu ad-din yang dirumuskan oleh oleh Ibnu Taimiyah yang menurut AlQaradawi memiliki cakupan makna yang luas[24].

            Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa menjaga agama tidak cukup dilakukan dengan menghukum orang yang murtad, ahli bid’ah, dan melaksanakan syariat jihad[25]. Namun lebih luas dari itu yang beliau rumuskan dalam konsep sebagai berikut:

  • Konsep hifzu ad-din merupakan al-maqsud al-akbar atas risalah samawiyyah secara keseluruhan[26].

            Bagi Ibnu Taimiyah, menjalankan risalah samawiyyah merupakan tujuan utama dan agung dari hifdz al-din. menurutnya, risalah samawiyyah merupakan kebutuhan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia dan mencapai maslahat, tanpa hifdz al-din akan sia-sia kehidupan ini. Menjaga agama dapat dilakukan dengan mengikuti dan mematuhi ajaran agama itu sendiri. Untuk dapat mengikuti dan mematuhi agama, manusia harus memahami sumber-sumber pokok syariat dan ketetapan syariat dari sumber tersebut. Misalnya, untuk menjaga agama manusia harus menjalan perintah agama, seperti salat, puasa, atau zakat. Untuk perintah agama tersebut, manusia harus memahami sumber ketetapan ibadah salat, zakat, atau puasa sehingga dapat menjalankan perintah agama dengan baik dan bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat[27].

            Bagi Ibnu Taimiyah, risalah samawiyyah adalah kebutuhan pokok manusia untuk mengarungi kehidupan di dunia. Menurutnya, tanpa risalah samawiyyah ini  kehidupan ini tidak memiliki makna. Secara simbolik, Ibnu Taimiyah menggambarkan bahwa risalah samawiyyah merupakan ruh, cahaya, dan esensi hidupnya alam semesta. Tanpanya, maka tidak ada kemashlahatan yang bisa diambil. Imbuhnya, dunia ini tercipta dalam kegelapan yang terlaknat hingga disinari oleh terangnya risalah samawiyyah. Begitu juga manusia, sebelum tersinari oleh terangnya risalah di dalam sanubari, maka ruh dan kehidupannya dalam kondisi gelap. Ibnu Taimiyah menyandarkan argumentasinya pada Firman Allah SWT dalam Surat al-An’am ayat 122 dan Surat asy-Syura ayat 52[28].

            Risalah samawiyyah menurut Ibnu Taimiyah merupakan kebutuhan (ḍaruriyah) bagi manusia untuk memperoleh maslahat di akhirat dan dunia. Menurutnya, tidak ada kemaslahatan di akhirat tanpa mengikuti kehendak risalah ini, begitu juga tidak ada kemaslahatan di dunia tanpa risalah. Syari’at atau risalah samawiyyah digambarkan sebagai cahaya yang dapat menjelaskan dengan terang apa yang bermanfaat dan mengandung madharat bagi manusia. Syari’at menjadi barometer keadilan di antara manusia dan menjadikan manusia merasa aman jika mengamalkannya.

  • Konsep hifzu ad-din adalah upaya untuk memurnikan akidah[29]

            Bagi Ibnu Taimiyyah, hifzu ad-din adalah upaya untuk melestarikan dan menjaga ‘aqidah Islamiyyah dari berbagai macam penyimpangan-penyimpangan. Gagasan ini diimplementasikan dalam kehidupannya berupa gerakan pemurnian akidah (tanqiḣ al-‘aqidah alislamiyyah). Menurutnya, Nabi Muhammad SAW sudah menjelaskan dasar-dasar kebenaran dengan baik, menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan al-Khaliq, mulai dari asma` al-ḣusna, sifat-sifat-Nya, dan keesaan-Nya dengan sangat baik dan gamblang. Oleh karena itu, esensi dari hifzu ad-din adalah hifzu al-‘aqidah yang merupakan akbar al-maqasid[30].

  • Konsep hifzu ad-din berkaitan dengan politik[31].

            Politik menurut Ibnu Taimiyah memiliki kaitan erat dengan kehidupan bernegara. Konsep kehidupan bernegara bersinggungan dengan tujuan penciptaan manusia di muka bumi, yakni sebagai khalifah di muka bumi dengan misi al-amr bi al-ma’ruf dan an-nahyu ‘an al-munkar yang bermuara pada pencapaian kemaslahatan dan kemuliaan. Untuk mencapai tujuan kemaslahatan umat, tentu seluruh komponen alat negara dan rakyat harus bersinergi mengajak pada kebaikan dan menjauhi keburukan[32].

            Negara berkewajiban untuk menjaga agama (hifzu ad-din), sebab negara adalah alat untuk menegakkkan al-amr bi al-ma’ruf dan an-nahyu ‘an almunkar. Dalam pandangannya, Ibnu Taimiyah menilai bahwa negara memiliki kapasitas untuk mendorong tugas mulia tersebut[33]. Diskursus gagasan ini tentu tidak lepas dari realita bahwa dalam negara Islam terdapat hak-hak yang dimiliki oleh penduduk minoritas, yakni warga negara nonmuslim. Kenyataan ini, mengantarkan pada isu berikutnya tentang konsep ahlu zimmah dalam negara Islam yang dirumuskan Ibnu Taimiyah[34].

  • Konsep ahlu zimmah dalam negara Islam (al-daulah alislamiyah)[35]

            Menurut al Qardhawi, Pandangan Ibnu Taimiyah terhadap ahlu zimmah dalam negara Islam sebagai suatu sikap yang keras. Ibnu Taimiyah seakan-akan ingin menutup rapat potensi tumbuhkembangnya ahlu zimmah di negara Islam. Beliau melarang ahli zimmah membangun gereja baru, bahkan menganjurkan untuk menghancurkan gereja-gereja yang sudah ada. Lebih dari itu, beliau beranggapa wajib hukumnya menghancurkan gereja-gereja tersebut. Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa tidak wajib qishash bagi seorang muslim yang membunuh kafir zimmi dengan sengaja dan denda (diyat) membunuh zimmiy karena tidak sengaja adalah separuh atau bahkan sepertiga dari dendanya seorang muslim. Bahkan, Ibnu Taimiyah menyarankan agar kafir zimmiy memakai pakaian khusus yang berbeda dengan kaum muslimin dan tidak diperkenankan untuk naik kendaraan[36].

            Pandangan Ibnu Taimiyah di atas, jika ditimbang dengan kondisi zaman sekarang adalah termasuk bentuk kezaliman. Oleh karena itu, memahami bagaimana pandangan tersebut muncul merupakan keniscayaan. Karena setiap hukum ataupun fatwa tergantung dengan kondisi sosio-politik pada masanya. Benturan keras antar agama hingga menimbulkan chaos ikut mempengaruhi sikap Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah pernah tinggal di Mesir dan Syam yang menjadi pusat terjadinya konflik dan medan peperangan, baik perang fisik antar militer maupun perang pemikiran[37]. Keadaan inilah yang mempengaruhi pandangan Ibnu Taimiyah yang dalam konteks saat itu bisa saja dianggap sebagai kewajaran.

            Jika dipandang dari kacamata saat ini, pendapat ekstrem Ibnu Taimiyah tersebut bukan tanpa alasan, melainkan merupakan tiruan dari yurispudensi keputusan Umar Bin Khattab terhadap ahlu dzimmah yang datang dan ingin menetap di negeri Syam. Seperti riwayat yang diceritakan Sufyan Tsauri Umar melarang ahlu dzimmah mendirikan gereja, tempat peribadatan untuk para pendeta, tidak melakukan perbaikan untuk tempat-tempat ibadah mereka yang sudah roboh, dan tidak boleh mencegah jika ada salah satu kaum muslim hendak menempati selama tiga hari tiga malam serta wajib bagi mereka untuk memberi makan kepadanya, tidak boleh mengerahkan mata-mata, tidak boleh ada yang ditutup-tutupi dari kaum muslimin, tidak boleh menyerupai pakaian kaum muslimin, tidak boleh memperjualbelikan khamar, tidak boleh menampakkan kemusyrikan, tidak boleh menampakkan simbol salib, tidak boleh meninggikan suara aktivitas mereka di gereja[38].

             Jika persyaratan ini dilanggar, maka status zimmah akan dicabut dan halal bagi umat Islam untuk memberlakukan mereka seperti orang yang durhaka dan keras kepala[39]. Menurut Ibnu Taimiyah, ahlu zimmah tidak dianggap sebagai warga negara, atau warga negara kelas dua, namun mereka dianggap sebagai orang asing dan pendatang. Pandangan Ibnu Taimiyah ini merupakan strategi untuk mengusir mereka dari negara Islam tanpa peperangan, melainkan keluar dengan kemauannya sendiri[40].

  1. Al-Maqashid al Asasiyah

            Maqasid Asasiyah (مقاصد أساسية) adalah tujuan-tujuan dasar atau utama dari syariat Islam yang berfungsi sebagai panduan dalam menetapkan hukum dan kebijakan. Dalam konsep Maqasid al-Shariah (tujuan-tujuan syariah), maqasid asasiyah merujuk pada lima tujuan utama (kadang disebut sebagai “al-daruriyyat al-khams”) yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga kepentingan dasar manusia.

Ibnu Taimiyah mengangkat lima isu pada bagian ini bagian ini, sebagai berikut;

  • Maqsud Tahqiqi al-‘Adl

            Tahqiqi al-Adl secara harfiah berarti “mewujudkan keadilan” atau “menegakkan keadilan” secara nyata. Istilah ini merujuk pada upaya untuk memastikan bahwa keadilan diterapkan dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan masyarakat, baik dalam hal hukum, sosial, maupun moral.

            Dalam konteks Islam, tahqiqi al-adl melibatkan penerapan prinsip-prinsip keadilan yang ditetapkan oleh syariah (hukum Islam) dalam kehidupan sehari-hari, sehingga keadilan tidak hanya menjadi konsep teoretis, tetapi benar-benar terwujud dalam tindakan, kebijakan, dan keputusan. Ini mencakup keadilan dalam hak-hak individu, distribusi kekayaan, pemberian hukuman, dan perlakuan yang adil terhadap semua orang tanpa memandang status atau kedudukan.

            Menurut Ibnu Taimiyah, al- ‘adl/keadilan adalah tautan antara almaqsud al-a’zam dengan al-maqasid alasasiyah. Pandangan ini merujuk pada Surat al-A’raf ayat 29, Surat al-Nisa’ ayat 48, Surat al-Anbiya’ ayat 25, Surat al-Zukhruf ayat 45, dan Surat al-Nahl ayat 36. Menurut penafsiran Ibnu Taimiyah bahwa Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk menyertai keadilan dengan tauhid, yakni beribadah kepada Allah SWT semata. Menurutnya ini adalah dasar agama (aslu al-din), bentuk keadilan yang agung (a’dham al-‘adl). Sebaliknya, syirik merupakan bentuk kezaliman yang besar. Jika tauhid adalah dasar kebaikan bagi manusia, maka syirik adalah pangkal kerusakannya. Dengan demikian, tauhid berikut amal kebaikan yang menyertainya adalah pangkal kemashlahatan dan keadilan[41].

  • Hifzu an-Nafs,

            Ibnu Taimiyah melihat konsep hifzu an-Nafs dari dua perspektif yaitu fikih dan maqashid. Dilihat perspektif fikih, pendapat Ibnu Taimiyah tidak berbeda dengan dengan para ulama ushul fiqh pada umumya yaitu untuk menjaga jiwa dengan diberlakukannya kewajiban qisas bagi para pelaku tindak pidana yang menyebabkan bahaya bagi keberlangsungan jiwa manusia. Sementara dari perspektif maqasid, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa untuk menjaga jiwa manusia harus menjaga diri dari tiga dosa besar yakni kufur, membunuh manusia yang tidak dibenarkan, dan zina. Dosa-dosa besar berkaitan ini dengan akal manusia yang menginkari Tuhan (kufur), pembunuhan berkaitan dengan potensi jiwa yang pemarah, dan dosa zina yang berkaitan dengan ketidakmampuan jiwa mengendalikan syahwat[42].

  • Hifzu an-Nasl

            Ibnu Taimiyah memiliki pandangan yang berbeda dengan para ulama ushul fiqh yang lain mengenai hifzu an-nasl. Baginya hifzu an-Nasl tidak hanya dilakukan dengan diberlakukan hukum had jild dan rajam. Menurutnya hifzul an- Nasl dapat dibedakan menjadi dua yaitu proses terjadinya ketetapan hifzul an-Nasl itu dan tatanan sosial kemasyarakatan. Berdasarkan proses terbentuknya ketetapan hifzu anNasl dapat dilihat pada disyariatkan pernikahan dan larangan zina. Untuk merealisasikan hifz an-nasl melalui pernikahan, Islam memberikan aturan prosesi pernikahan yang mudah, contohnya anjuran meringankan mahar dan menyelenggarakan pernikahan dengan mudah dan murah. Selanjutnya menurut ibnu Taimiyah memperbanyak mahar dengan tujuan pamer atau gengsi termasuk dalam perbuatan munkar dan tercela. Selain permasalahan mahar dan pesta pernikahan, Ibnu Taimiyah juga memberikan pandangan tentang pernikahan yang dipaksakan, menurutnya pernikahan seharusnya dilakukan atas dasar kehendak orang yang menikah, bukan paksaan baik mempelai janda maupun gadis, karena hal tersebut merupakan perbuatan tidak rasional dan menyalahi perinsip pernikahan itu sendiri[43].

             Selajutnya hifzul an-nasl dilihat dari tujuan untuk menjaga tatanan sosial kemasyrakatan yaitu dengan aturan Islam tentang talaq dan khulu’. Para ulama membagi talaq menjadi talak yang dibolehkan dan talak yang tidak diperbolehkan, bahkan talk yang diharamkan. Talak yang diperbolehkan yaitu talak satu yang dijatuhkan pada wanita yang setelah suci dari haid dan belum melakukan hubungan suami istri. Talaq yang diharamkan yaitu talaq yang dijatuhkan suami saat istrinya sedang haid atau setelah berhubungan badan dan belum ada kejelasan wanita tersebut hamil atau tidak. Peraturan talaq ini dilakukan agar tidak mudah seorang suami menjatuhkan talaq terhadap istrinya. Hal ini merupakan upaya menjaga tatatn sosial kemasyarakatan sehingga terjaga pula keberlangsungan keluarga[44].

  • Hifzu al-‘Aql

            Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah sepakat dengan jumhur ulama ushul yang menganggap bahwa akal merupakan bagian dari prinsip pokok/kebutuhan pokok (ḍaruriyah) kehidupan mausia yang menjadi objek pelestarian syari’at. Akan tetapi, Ibnu Taimiyah menolak konsepsi jumhur ulama yang mendasari argumentasinya pada pengharaman khamr dan hukuman cambuk (jild) bagi peminumnya semata. Menurutnya, penjelasan dan argumentasi dari konsep hifzu al-‘aql tidak terbatas hanya pada dalil tersebut di atas. Menurutnya, bermain catur (syaṭranji) dan dadu itu haram ketika menyebabkan seseorang meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan yang haram, seperti mengakhirkan waktu shalat. Ia mendasari pendapatnya pada Surat al-Nisa’ ayat 142 dan Surat al-Ma’un ayat 4-5[45].

            Pengharaman juga berlaku pada permainanpermainan yang melalaikan pemainya dari mengerjakan ibadah Sunnah yang menunjang ibadah wajib, atau melalaikan dari perbuatan baik kepada diri sendiri ataupun orang lain, melalaikan diri menyuruh pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Contonya berdusta saat perlombaan[46].

  • Hifzu al-Mal

            Harta merupakan kebutuhan pokok manusia untuk menjalankan kehidupan dimuka bumi sehingga menjaga dan melestarikan harta termasuk salah satu tujuan dari syariah (maqashid syariah). Ibnu Taimiyah membagi tujuan hifzul al-mal ke dalam 3 bagian penting yaitu: Pertama, ketetapan syariat Islam tentang kegiatan transaksi muamalah adalah boleh selagi tidak ada dalil yang melarang transaksi tersebut. Kedua, menegakkan keadilan dalam aktivitas ekonomi merupakan tujuan yang hakiki dari syariah Maliyah. Menurut Ibnu Taimiyah upaya syariah dalam menjaga harta (hifzu al-mal) dilakukan dengan mencegah tidakan zalim tehadap hak-hak manusia. Ketiga, penegasan syariah terhadap keharusan pemberlakukan hukm had bagi pencuri dan perompok/begal atau hukuman jinayah bagi yang mengambil harta manusia secar tidak sah merupakan upaya untuk menjaga dan melestarikan harta (hifzu al-mal). Menurut Ibnu Taimiyah adanya hudud atau hukuman diatas harus dimaknai sebagai wujud kasih sayang Allah terhadap hambanya dengan mencegah manusia berbuat kezaliman dan menjunjung tinggi derajat manusia[47].

  1. Maqashid Furu’iyah

            Maqasid Furuiyah (مقاصد فروعية) adalah tujuan-tujuan syariah yang bersifat cabang atau sekunder, sebagai kelanjutan dari Maqasid Asasiyah yang bersifat pokok atau fundamental. Jika maqasid asasiyah berkaitan dengan tujuan-tujuan dasar yang sangat penting (seperti menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta), maqasid furuiyah mencakup tujuan-tujuan yang lebih spesifik dan beragam yang mendukung tercapainya tujuan utama tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

            Maqasid furuiyah adalah tujuan dari syariah untuk melengkapi kelima unsur maqasid asasiyah serta memiliki nilai-nilai yang mendukung terlaksananya keadilan dan terwujudnya tujuan utama yaitu hifzu ad-din[48]. Bentuk maqasid furuiyah dari syariat atau risalah samawiyyah itu sebagai: (1) penetap dan penyempurna fitrah manusia, (2) penyamarataan kekayaan[49].

            Menurut Ibnu Taimiyah, secara umum semua risalah kenabian membawa misi untuk menyempurnakan dan menetapkan fitrah manusia. Mereka tidak diutus untuk mengganti atau merubah fitrah manusia. Ibnu Taimiyah mendasari pendapatnya pada sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim tentang setiap manusia yang dilahirkan pasti membawa fitrah keislamannya dan Firman Allah SWT dalam Surat al-Rum ayat 30[50].

            Pemerataan harta kekayaan sebagai tujuan yang kedua dari maqasid furu’iyyah, dapat dicermati dari berbagai macam tuntunan syariat mengenai zakat, infaq, dan wakaf. Selain tuntunan-tuntunan tersebut, dalam persoalan harta rampasan perang, Allah SWT juga mengatur agar harta tersebut jangan hanya dinikmati oleh para prajurit, akan tetapi dibagi-bagi kepada selain mereka (al-Hasyr:7). Tujuan dari semua tuntunan tersebut adalah agar harta kekayaan tidak berputar di kalangan orang kaya saja[51].

  1. KESIMPULAN

               Mengakhiri tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa kondisi sosial politik dan praktik keagamaan sangat mempengaruhi dialektika pemikiran Ibnu Taimiyah. Konsep pembelaan agama, model negara Islam, hingga hubungan antar agama adalah bukti dari hasil dialektika pemikiran Ibnu Taimiyah yang dipengaruhi oleh kondisi sosial politik tadi. Konsep-konsep Ibnu Taimiyah tersebut dapat dikatakan sebagai pembaruan hukum Islam sebab merupakan pemikiran yang out of the box dari kebanyakan ulama yang hidup se zaman Ibnu Taimiyah. Lahirnya konsep-konsep baru dalam hukum Islam yang dilahirkan oleh Ibnu Taimiyah berasal daril embrio konstruksi maqâṣid asy-syarî‘ah yang dibaginya menjadi tiga tingkatan, yaitu: al-maqṣûd al-a’ẓam yakni hifẓu ad-dîn, al-maqâṣid al-Asâsiyah yang meliputi; maqṣûd tahqîqi al-‘adl, hifẓu annafs, hifẓu an-nasl, hifẓu al-‘aql, dan hifẓu al-mâl, dan terakhir maqâṣid Furû’iyah yakni menyempurnakan dan menetapkan fitrah manusia dan pemerataan kekayaan. Dari pembagian tersebut, semuanya bermuara pada al-maqṣûd al-a’ẓam yakni hifẓu ad-dîn. Gagasan Ibu Taimiyah tersebut bukan hanya teori belaka, namu direalisasikan olehnya dalam bentuk pembelaan melalui pedang dan pena. Karena menurutnya, ad-dîn/risâlah samâwiyyah umpama ruh atau cahaya kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Abullah, Abdurrahman Bahmid, and Akhmad Husaini. ‘Tinjauan Maqasid Syar’iyyah Perspektif Ibnu Taimiyah Terhadap Fatwa Majelis Ulama Nomo2 02/Munas-VIII/MUI/2020 Tentang Nikah Wisata’. Jurnaal Rectum 3, no. 5 (n.d.).

Al Qardhawi, Abdu al-Rahman Yousef  Abdullah. Nadhariyah Maqasid Al Syari’ah Bayna Syeich al Islam Ibn Taimiyah Wa Jumhur al Ushuliyyin: Dirasah  Muqaranah Min al-Qarn al-Khamis  Ila al-Qarn al-Tsamin al-Hijriy. Cairo University, 2000.

Anggraeni, Ricca. ‘Memaknakan Fungsi Undang-Undang Dasar Secara Ideal Dalam Pembentukan Undang-Undang’. Masalah-Masalah Hukum 48, no. 3 (July 2019).

Ardiyansyah. ‘Pengaruh Mazhab  Hanbali Dan Pemikiran Ibnu  Taimiyah Dalam Pandangan  Paham Salafi’. Analytica Islamica 2, no. 2 (2013).

Audah, Jasser. Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2015.

Ensiklopedi Islam, Penyusun. Ensiklopedi Islam. 4. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Hermanto, Agus. MAQASID AL SYARI’AH (Metode Ijtihad Dan Pembaruan Hukum Keluarga Islam). Kota Malang: Literasi Nusantara, 2021.

Islahi diterjemahkan oleh Anshari Tayyib. Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997.

Khatib, Suansar. ‘Konsep  Maqashid Syari’ah: Perbandingan  Antara Pemikiran al-Ghazali Dan  al-Syathibi’. Mizani: Wacana  Hukum, Ekonomi Dan Keagamaan 5, no. 1 (2018).

Khoiron, Mahbib. ‘Menelusuri Fondasi Fiqih Maqashid Ibnu Taimiyah’. NU ONLINE, 2018. Sumber: https://nu.or.id/syariah/menelusuri-fondasi-fiqih-maqashid-ibnu-taimiyah-FnOBm.

Ma`rufi, Anwar. ‘Maqâṣid Asy-Syarî’ah Dalam Pemikiran Ibnu Taȋmiyah (661 H / 1263 M – 728 H / 1328 M)’. Syariati : Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Hukum 5, no. 01 (1 May 2019): 57–72. https://doi.org/10.32699/syariati.v5i01.1185.

‘Maqasid Syari’ah Dalam Pemikiran Ibnu Taimiyah’, n.d.

Misno, Abdurrahman. Panorama Maqasid Syari’ah. Bandung: Media Sains Indonesia, 2020.

Paryadi. ‘MAQASHID SYARIAH : DEFINISI DAN PENDAPAT PARA ULAMA’. Iaiasambas IV, no. 2 (2021).

Ridho, M. Rasyid, and Muhajirin. ‘GAGASAN MAQASHID SYARIAH DAN EKONOMI SYARIAH  DALAM PANDANGAN IMAM IBNU TAIMIYAH DAN IMAM  IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH’. Taraadin 2, no. 2 (2022).

Rosyidiy, Ahmad dkk. ‘Profil Ibnu Taimiyah’. Universitas Muhammadiyah Mataram, n.d.

Safriadi. Maqasid Al Syariah Dan Mashlahah. Lhouksmawe: Sefa Bumi Persada, 2021.

Sarwat, Ahmad. Maqasid Syari’ah. Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2019.

Sefriyanti, and Mahmud Arif. ‘ASPEK PEMIKIRAN IBNU TAIMIYAH DI DUNIA ISLAM’. Jurnal Kajian Agama Hukum Dan Pendidikan Islam  (KAHPI) 3, no. 2 (2021).

Suganda, Ahmad. ‘Urgensi Dan Tingkatan Maqashid Syari’ah Dalam Kemaslahatan Masyarakat’. Jurnal At-Tadbir : Media Hukum Dan Pendidikan 30, no. 1 (31 January 2020): 1–16. https://doi.org/10.52030/attadbir.v30i01.28.

Taimiyah, Ahmad Ibn. Majmu’ah  al-Fatawa Li Syaikh al-Islam Taqiy  Ad-Dîn Ahmad Bin Taȋmiyah al Harraniy. Vol. 1–32. Cairo: Daar el Wafa, 2005.

[1] Penulis adalah Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren

[2] Suansar Khatib, ‘Konsep  Maqashid Syari’ah: Perbandingan  Antara Pemikiran al-Ghazali Dan  al-Syathibi’, Mizani: Wacana  Hukum, Ekonomi Dan Keagamaan 5, no. 1 (2018).

[3] Ardiyansyah, ‘Pengaruh Mazhab  Hanbali Dan Pemikiran Ibnu  Taimiyah Dalam Pandangan  Paham Salafi’, Analytica Islamica 2, no. 2 (2013).

[4] Islahi diterjemahkan oleh Anshari Tayyib, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997).h.61.

[5] Islahi diterjemahkan oleh Anshari Tayyib.h.62.

[6] Islahi diterjemahkan oleh Anshari Tayyib.h.62.

[7] Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, 2 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994).h.168.

[8] Ensiklopedi Islam.h.170-171.

[9] Ahmad dkk. Rosyidiy, ‘Profil Ibnu Taimiyah’, Universitas Muhammadiyah Mataram, n.d.h.3-4.

[10] Sefriyanti and Mahmud Arif, ‘ASPEK PEMIKIRAN IBNU TAIMIYAH DI DUNIA ISLAM’, Jurnal Kajian Agama Hukum Dan Pendidikan Islam  (KAHPI) 3, no. 2 (2021).

[11] Mahbib Khoiron, ‘Menelusuri Fondasi Fiqih Maqashid Ibnu Taimiyah’, NU ONLINE, 2018, Sumber: https://nu.or.id/syariah/menelusuri-fondasi-fiqih-maqashid-ibnu-taimiyah-FnOBm.

[12] Agus Hermanto, MAQASID AL SYARI’AH (Metode Ijtihad Dan Pembaruan Hukum Keluarga Islam) (Kota Malang: Literasi Nusantara, 2021).h.7.

[13] Hermanto.h.8.

[14] Safriadi, Maqasid Al Syariah Dan Mashlahah (Lhouksmawe: Sefa Bumi Persada, 2021).h.100.

[15] Safriadi.h.100-101.

[16] Jasser Audah, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2015).h.32-33.

[17] Ahmad Sarwat, Maqasid Syari’ah (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2019).h.62-63.

[18] Sarwat.h.13.

[19] Paryadi, ‘MAQASHID SYARIAH : DEFINISI DAN PENDAPAT PARA ULAMA’, Iaiasambas IV, no. 2 (2021).h.205.

[20] M. Rasyid Ridho and Muhajirin, ‘GAGASAN MAQASHID SYARIAH DAN EKONOMI SYARIAH  DALAM PANDANGAN IMAM IBNU TAIMIYAH DAN IMAM  IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH’, Taraadin 2, no. 2 (2022).h.71.

[21] Paryadi, ‘MAQASHID SYARIAH : DEFINISI DAN PENDAPAT PARA ULAMA’.h.206.

[22] Ahmad Suganda, ‘Urgensi Dan Tingkatan Maqashid Syari’ah Dalam Kemaslahatan Masyarakat’, Jurnal At-Tadbir : Media Hukum Dan Pendidikan 30, no. 1 (31 January 2020): 1–16, https://doi.org/10.52030/attadbir.v30i01.28.h.3.

[23] Abdu al-Rahman Yousef  Abdullah Al Qardhawi, Nadhariyah Maqasid Al Syari’ah Bayna Syeich al Islam Ibn Taimiyah Wa Jumhur al Ushuliyyin: Dirasah  Muqaranah Min al-Qarn al-Khamis  Ila al-Qarn al-Tsamin al-Hijriy (Cairo University, 2000).h.180.

[24] Al Qardhawi.h.182.

[25] Ridho and Muhajirin, ‘GAGASAN MAQASHID SYARIAH DAN EKONOMI SYARIAH  DALAM PANDANGAN IMAM IBNU TAIMIYAH DAN IMAM  IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH’.h.71.

[26] Ahmad Ibn Taimiyah, Majmu’ah  al-Fatawa Li Syaikh al-Islam Taqiy  Ad-Dîn Ahmad Bin Taȋmiyah al Harraniy, vol. 1–32 (Cairo: Daar el Wafa, 2005).h.93.

[27] Ridho and Muhajirin, ‘GAGASAN MAQASHID SYARIAH DAN EKONOMI SYARIAH  DALAM PANDANGAN IMAM IBNU TAIMIYAH DAN IMAM  IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH’.h.71.

[28] Anwar Ma`rufi, ‘Maqâṣid Asy-Syarî’ah Dalam Pemikiran Ibnu Taȋmiyah (661 H / 1263 M – 728 H / 1328 M)’, Syariati : Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Hukum 5, no. 01 (1 May 2019): 57–72, https://doi.org/10.32699/syariati.v5i01.1185.h.60.

[29] Taimiyah, Majmu’ah  al-Fatawa Li Syaikh al-Islam Taqiy  Ad-Dîn Ahmad Bin Taȋmiyah al Harraniy.h.98.

[30] Ma`rufi, ‘Maqâṣid Asy-Syarî’ah Dalam Pemikiran Ibnu Taȋmiyah (661 H / 1263 M – 728 H / 1328 M)’.h.61.

[31] Taimiyah, Majmu’ah  al-Fatawa Li Syaikh al-Islam Taqiy  Ad-Dîn Ahmad Bin Taȋmiyah al Harraniy.h.101.

[32] Ridho and Muhajirin, ‘GAGASAN MAQASHID SYARIAH DAN EKONOMI SYARIAH  DALAM PANDANGAN IMAM IBNU TAIMIYAH DAN IMAM  IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH’.h.72.

[33] Taimiyah, Majmu’ah  al-Fatawa Li Syaikh al-Islam Taqiy  Ad-Dîn Ahmad Bin Taȋmiyah al Harraniy.h.101.

[34] ‘Maqasid Syari’ah Dalam Pemikiran Ibnu Taimiyah’, n.d.h.62.

[35] Al Qardhawi, Nadhariyah Maqasid Al Syari’ah Bayna Syeich al Islam Ibn Taimiyah Wa Jumhur al Ushuliyyin: Dirasah  Muqaranah Min al-Qarn al-Khamis  Ila al-Qarn al-Tsamin al-Hijriy.h.184.

[36] Al Qardhawi.h.184.

[37] Ma`rufi, ‘Maqâṣid Asy-Syarî’ah Dalam Pemikiran Ibnu Taȋmiyah (661 H / 1263 M – 728 H / 1328 M)’.h.63.

[38] Al Qardhawi, Nadhariyah Maqasid Al Syari’ah Bayna Syeich al Islam Ibn Taimiyah Wa Jumhur al Ushuliyyin: Dirasah  Muqaranah Min al-Qarn al-Khamis  Ila al-Qarn al-Tsamin al-Hijriy.h.186.

[39] Taimiyah, Majmu’ah  al-Fatawa Li Syaikh al-Islam Taqiy  Ad-Dîn Ahmad Bin Taȋmiyah al Harraniy.h.165.

[40] Al Qardhawi, Nadhariyah Maqasid Al Syari’ah Bayna Syeich al Islam Ibn Taimiyah Wa Jumhur al Ushuliyyin: Dirasah  Muqaranah Min al-Qarn al-Khamis  Ila al-Qarn al-Tsamin al-Hijriy.h.187.

[41] Taimiyah, Majmu’ah  al-Fatawa Li Syaikh al-Islam Taqiy  Ad-Dîn Ahmad Bin Taȋmiyah al Harraniy.h.165-166.

[42] Abdurrahman Misno, Panorama Maqasid Syari’ah (Bandung: Media Sains Indonesia, 2020).h.88.

[43] Misno.h.89-90.

[44] Misno.h.90.

[45] Ma`rufi, ‘Maqâṣid Asy-Syarî’ah Dalam Pemikiran Ibnu Taȋmiyah (661 H / 1263 M – 728 H / 1328 M)’.h.67.

[46] Misno, Panorama Maqasid Syari’ah.h.90.

[47] Misno.h.91-92.

[48] Misno.h.92.

[49] Abdurrahman Bahmid Abullah and Akhmad Husaini, ‘Tinjauan Maqasid Syar’iyyah Perspektif Ibnu Taimiyah Terhadap Fatwa Majelis Ulama Nomo2 02/Munas-VIII/MUI/2020 Tentang Nikah Wisata’, Jurnaal Rectum 3, no. 5 (n.d.).h.211.

[50] Abullah and Husaini.h.69-90.

[51] Ma`rufi, ‘Maqâṣid Asy-Syarî’ah Dalam Pemikiran Ibnu Taȋmiyah (661 H / 1263 M – 728 H / 1328 M)’.h.70.

Bagikan:

Tinggalkan komentar