Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren
Gunawan[1]
Abstrak. Mempertemukan bunga bank dan riba dalam metodhe istimbath hukum yang berbeda dalam hal ini qiyas dan istihsan juga akan menghasilkan produk hukum yang berbeda. Sebagai metode yang kental dengan teks suci keagaman, qiyas menghukumi bunga bank sebagai praktek yang diharamkan dalam Islam. Tanpa keraguan, berhukum dengan menggunakan qiyas menghasilkan kepastian hukum, namun kaku dan tidak mampu menjawab tantangan zaman. Lain halnya istihsan, meski tidak memiliki kepastian hukum, berhukum dengan menggunakan istihsan akan melahirkan produk yang lebih fleksibel, diterima masyarakat dan dianggap mampu menjawab persoalan yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat. Hal ini disebabkan istihsan merupakan methode istinbath hukum yang berbasis pada penalaran.
Keyword: Bunga, riba, Qiyas, Istihsan
- PENDAHULUAN
Diskursus bunga bank di Indonesia maupun dunia internasional merupakan isu yang tetap menarik untuk diperbincangkan. Fatwa-fatwa haram praktek bunga bank oleh lembaga-lembaga ormas Islam Indonesia sekaliber Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama tidak mampu membendung laju praktek riba berbentuk bunga bank atau Bunga pinjaman di Indonesia. Praktek bank keliling tumbuh subur menjamur di negeri ini. Dampak negative sosialnya pun buruk jauh melebihi dampak buruk dari praktek bunga yang dilakukan oleh bank resmi konvensional.
Lahirnya lembaga keuangan yang berbasis syari’ah tidak mampu menjadi solusi alternative bagi masyarakat untuk menuntaskan permasalahan ekonomi yang dihadapi. Perbankan Syari’ah meski secara persentase kinerjanya mampu tumbuh sebesar 18,35% yoy per Juli 2023, melampui pertumbuhan bank konvensional yang hanya 7,3% yoy, akan tetapi asset yang dimiliki oleh bank syari’ah hanya sebesar 534,2 triliun, jauh di bawah bank konvensional yang berjumlah Rp863,71 triliun[2]. Hal ini menandakan bahwa keterikatan masyarakat Indonesia masih kuat dengan bank konvensional, padahal jumlah ummat Islam Indonesia mencapai 244,41 juta jiwa, itu sama artinya 87,1 persen dari seluruh penduduk Indonesia[3]. Belum lagi pinjol (pinjaman online) yang menambah daftar permasalahan keuangan masyarakat. Data per Juni 2019 (dilansir CNN dari OJK), jumlah penyaluran pinjaman online menembus angka Rp44,80 triliun atau naik 97,68% dan jumlah peminjamnya naik 123,51%[4]. Dengan data tersebut Indonesia mendapat status darurat riba yang akan berdampak pada lemah dan lumpuhnya perekonomian masyarakat.
Status hukum bunga bank dapat didekati melalui dua methode yaitu qiyas dan istihsan. Meski dalam proses penggalian hukum dari sumbernya, keduanya melibatkan akal, namun qiyas sangat terikat kuat dengan temali teks. Terikat kuatnya qiyas dengan teks menjadikan produk hukum yang dihasilkan dari pabrik qiyas ini memiliki kepastian hukum, akan tetapi dianggap kaku dan tidak manjawab tantangan zaman. Dengan menggunakan illat aulawi, qiyas menghukumi bunga bank sama dengan riba yang dalam prakteknya mengandung ziyadah/penambahan. Adanya penambahan tersebut, menimbulkan efek buruk bagi peminjam berupa eksploitasi dan kezhaliman.
Sementara istihsan dianggap sebagai sebuah methode yang lebih terbuka dan fleksibel. Walaupun menggunakan teks sebagai alasan, tetapi istihsan tidak menjadikan teks mendominasi akal. Oleh karenanya, produk hukum yang dihasilkan oleh istihsan tidak kaku, sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dinilai mampu menjawab tantangan.
Tulisan ini mencoba menyajikan cara kerja qiyas dan istihsan dalam mengeluarkan status hukum bunga bank. Menyelami instrument yang digunakan masing-masing metode hingga menelurkan produk hukum yang memiliki keunggulan masing-masing.
- PEMBAHASAN
- Pengertian Bunga Bank
Bunga Bank merupakan idiom yang terdiri dari dua kata bunga dan bank. Bunga berarti 1) bagian tumbuhan yang akan menjadi buah, biasanya elok warnanya dan harum baunya; kembang: — mangga; — rambutan; 2) jenis untuk berbagai-bagai bunga; — melati; — mawar; 3) gambar hiasan (pada kain, pamor ukiran, dan sebagainya); 4) tambahan untuk memperindah: ceritanya itu sudah banyak–nya; 5) tanda-tanda baik: sudah tampak[5]. Sedangkan Bank berarti badan usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang dalam masyakarat, terutama memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang[6]. Bunga bank harus difahami secara integral, dalam konteks ini, tidak bisa dimaknai secara parsial. Sebagai idiom, bunga bank adalah tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya dinyatakan dalam persentase dari uang yang dipinjamkan atau sejumlah uang yang dijumlahkan atau dikalkulasikan untuk penggunaan modal yang dinyatakan dengan persentase dan kaitanya dengan suku bunga[7].
Di dalam The American Heritage Dictionary of the English Language, secara etimologis bunga bank didefinisikan sebagai interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned.[8] Sementara the Legal Encyclopedia for Home and Business mendefinisikan bunga bank sebagai compensation for use of money which is due[9]. Dan Muhammad menegaskan bahwa bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya dinyatakan dalam persentase dari uang yang dipinjamkan atau sejumlah uang yang dijumblahkan atau dikalkulasikan untuk penggunaan modal yang dinyatakan dengan persentase dan kaitanya dengan suku bunga[10].
Sederhananya, balas jasa atas pemakaian dana dalam perbankan disebut dengan bunga, baik balas jasa bank atas uang yang disimpan nasabah/kreditur, maupun jasa kredit nasabah/debitur kepada bank. Kredit, berasal dari bahasa latin yaitu credere, yang berarti kepercayaan[11]. Kredit merupakan pinjaman uang dengan pengembalian dengan cara mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain[12]. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Pasal 1 butir disebutkan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau ke- sepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga[13].
- Pengertian Riba
Menurut syara’ (hukum Islam), riba adalah tambahan pada modal uang yang dipinjamkan dan harus diterima oleh yang berpiutang sesuai dengan jangka waktu peminjaman dan persentase yang ditetapkan. Orang-orang Arab mengenal riba dari orang Yahudi yang banyak tinggal di Madinah. Sebelum Islam datang, orang-orang Yahudi biasa melakukan riba dengan bunga berkisar antara 40 hingga 100 persen[14].
Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa Inggris sebagai usury, yang artinya dalam The American Heritage Dictionary of the English Language adalah:
1) the act of lending money at an exorbitant or illegal rate of interest,
2) such of an excessive rate of interest.
3) archaic (tidak dipakai lagi, kuno, kolot, lama). The act or practice of lending money at any rate of interest.
4) aw. obsolete (usang, tidak dipakai, kuno). Interest charged or paid on such a loan[15].
- Jenis-Jenis Riba
Imam Hanafi mengatakan bahwa riba itu terbagi menjadi dua, yaitu riba al-Fadl dan riba an-Nasa’. Sedangkan Imam as-Syafi’i membaginya menjadi tiga, yaitu riba al-Fadhl, riba an-Nasa’ dan riba al-Yadd. Adapun al-Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba al-Qardh. Semua jenis riba ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash al-Qur’an dan hadits Rasulullah.
Dari beberapa pendapat ulama di atas, riba dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba yadd. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasa’. Secara terperinci penjelasannya sebagai berikut: Pertama, Riba Qardh yaitu: suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh). Kedua, Riba Yadd yaitu: berpisah dari tempat akad sebelum adanya timbang terima. Ketiga, Riba Fadhl yaitu: riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar menukar benda. Bukan dua jenis benda yang berbeda, melainkan satu jenis barang namun dengan kadar atau takaran yang berbeda. Jenis barang yang dalam hal ini sebagaimana hadits riwayat Ubadah bin Shamit berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu, korma dengan korma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai.” (HR. Muslim). Keempat, Riba Nasa’. Riba Nasa’ disebut juga riba Jahiliyah. Nasi’ah berasal dari kata nasa’ yang artinya penangguhan. Sebab riba ini terjadi karena adanya penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita kenal di masa sekarang ini, di mana seseorang memberi hutang berupa uang kepada pihak lain, dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya pokoknya, tetapi juga dengan tambahan prosentase bunganya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. Contohnya adalah seseorang yang ingin membangun rumah. Untuk itu dia pinjam uang kepada bank sebesar 200 juta dengan bunga 12% pertahun. Sistem peminjaman seperti ini, dengan syarat harus dikembalikan plus bunganya, maka transaksi ini adalah transaksi ribawi yang diharamkan dalam syariat Islam. Riba bentuk seperti ini yang paling sering erjadi di kalangan kaum muslimin[16].
- Dalil-Dalil Tentang Riba dalam Islam
- Al Quran
Kata riba dalam Al-Qur’an ditemukan sebanyak tujuh kali pada surah al-Baqarah ayat 275, 276, 278, dan 279, surah ar-Rüm ayat 39, surah an-Nisa’ ayat 161, dan surah Ali Imran ayat 130[17].
Selayaknya pengharaman khamar, penetapan status hukum riba oleh al Qur’an dilakukan dalam beberapa fase. Ali al-Shabuni sebagaimana dikutip Abdul Ghafur menggambarkan secara detail tahap-tahap tersebut.
Tahap pertama, Allah menurunkan QS. al-Rum ayat 39, yaitu:
Ayat ini diturunkan di Makkah yang pada dasarnya belum menyatakan secara tegas mengenai keharaman riba, namun dalam ayat tersebut mengindikasikan kebencian Allah terhadap praktik riba dan tidak adanya pahala di sisi Allah Swt.
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah swt mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Pada tahap ini Allah menurunkan QS. al-Nisa’ [4]:160-161. Ayat ini termasuk ayat madaniyah yang memberi pelajaran bagi kita bahwa Allah swt menceritakan tentang perilaku orang Yahudi yang telah diharamkan untuk memakan riba, namun mereka tetap memakannya. Lalu Allah swt mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang tetap memakan riba. Ayat ini memang bukan merupakan dilalah keharaman riba bagi kaum muslimin. Akan tetapi memberi gambaran yang buruk terhadap praktik riba. Hal ini sebagaimana Allah menetapkan pengharaman khamr pada tahap kedua melalui firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya…” (QS. Al Baqarah [2]:219)[18].
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Pada tahap ini, Allah menurunkan QS. Ali Imran [3]:130. Menurut al-Shabuni, ayat ini termasuk madaniyah yang di dalamnya telah menerangkan keharaman riba secara jelas namun bersifat juz‟i tidak bersifat kulli. Sebab, pengharamannya “hanya‟ ditujukan pada riba al-fāhisy; riba yang sangat buruk dan keji di mana dengan riba tersebut hutang seseorang dapat menjadi berlipat-lipat. Ayat ini turun pada tahun ke-3 H. Secara umum, ayat ini menjadi perdebatan antara fukaha bahwa apakah kriteria berlipat ganda merupakan syarat terjadinya riba, atau ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu. Akan melihat waktu turunnya ayat ini harus dipahami secara komprehenship dengan QS. al-Baqarah [2]:278-279 yang turun pada tahun ke-9 H. Pengharaman ini sama dengan pengharaman khamr pada tahap ketiga dimana keharamannya hanya bersifat juz‟i yakni hanya pada saat shalat saja. Hal ini sebagaimana tergambar dalam firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan…..” (QS. al-Nisa‟ [4]:43)[19].
Tahap keempat, merupakan tahap yang terakhir, dengan diturunkannya QS. al-Baqarah [2]:278-279). Pada tahap ini, Allah swt dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman, baik sedikit maupun banyak. Dan pengharamannya bersifat kulli dan qath’i. Ayat Ini merupakan ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba. Hal ini sama dengan tahap keempat diharamkannya khamr, di mana keharamannya sudah bersifat pasti sebagaimana disebutkan dalam firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan” (QS. al-Ma‟idah [5]:90) Karena ayat ini didahului oleh ayat-ayat yang lain yang berbicara tentang riba, maka tidak heran jika kandungannya bukan saja melarang praktik riba, tetapi juga sangat mencela pelakunya, bahkan mengancam mereka[20].
- Hadits
Status hukum riba dalam Islam tidak cuma dikembalikan pada alQur’an saja, akan tetapi juga sunnah Rasulullah. Sebagai penjelas al-Qur’an, fungsi sunnah terlihat nyata ketika menyinggung status hukum riba dengan menjelaskan secara spesifik. Pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah (6 Maret 632)[21], dalam briefing terakhir saat haji wada’, Rasulullah SAW. masih memberikan penekanan terhadap sikap Islam yang melarang riba. Beliau menyatakan “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu hutang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”
Di samping hadits di atas, terdapaat hadits lain yang menyinggung status riba, sebagai berikut[22]:
- “Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (HR. Bukhari)
- “Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan denga riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.” (HR. Muslim).
- “Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.” (HR. Muslim).
- Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Pada malam perjalanan mi’raj, saya melihat orang-orang yang perut mereka seperti “rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Saya bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.” “Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, bahwa Nabi bersabda, “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya.”
- “Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka itu adalah) Peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak bertanggung jawab/menelantarkan ibu bapaknya”.
- Istinbath Hukum Riba
Al Qur’an merupakan sumber hukum utama dalam Islam, sebagaimana secara tegas Allah SWT wahyukan dalam Q.S. An Nisa’: 59 :
اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
Artinya :”Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ulul amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat)”[23].
Al-Quran dan Hadits merupakan dua hal pokok dalam ajaran Islam. Keduanya merupakan hal sentral yang menjadi ”jantung” umat Islam. Karena seluruh bangunan doktrin dan sumber keilmuan Islam terinspirasi dari dua hal pokok tersebut. Oleh karena sangat wajar dan logis bila perhatian dan apresiasi terhadap keduanya melebihi perhatian dan apresiasi terhadap bidang yang lain[24]. Sebagai jantung, al Qur’an dan hadits merupakan patokan, ukuran dan standar norma bagi ummat Islam sebagai pedoman hidup yang diantaranya memuat perintah dan larangan.
Dalam ushul fiqh, larangan-larangan yang terdapat dalam al-Quran maupun Hadits terbagi ke dalam beberapa bentuk, sebagai berikut:
- Larangan secara tegas dengan memakai kata naha (نهى) atau yang seakar, yang artinya melarang (QS. an-Nahl [16]: 90);
- Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan (حرم) diharam (QS. al-A’raf [7]: 33).
- Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan (QS. an-Nisa’ [4]: 19).
- Larangan dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan (لاالناهية) (QS. al-AnAm [6]: 152).
- Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan (QS. al-AnAm [6]: 120).
- Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih (QS. at-Taubah [9]: 34).
- Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan (QS. Ali Imron [3]: 180).
- Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri (QS. al-Baqoroh [2]: 193)[25].
Al-Quran secara tegas menetapkan status hukum riba. Larangan riba tampak nyata dalam setiap narasi ayat al Qur’an yang menyinggung tentang riba yang tergambar dalam narasi sebagai berikut:
- al-Rum ayat 39, mengindikasikan kebencian Allah terhadap praktik riba dan tidak adanya pahala di sisi Allah Swt.
- al-Nisa’ [4]:160-161, mendeskripsikan prilaku buruk orang-orang yahudi yang melakukan praktik riba, sehingga Allah menyiksa dengan siksaan yang pedih.
- Ali Imran [3]:130, secara tegas menetapkan keharaman riba namun masih bersifat juz‟I, sebab hanya ditujukan pada riba yang bersifat sangat buruk dan keji di mana dengan riba tersebut hutang seseorang dapat menjadi berlipat-lipat.
- al-Baqarah [2]:278-279), secara tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman, baik sedikit maupun banyak dan bersifat kulli dan qath’i.
Demikian halnya al Qur’an, Hadits juga secara tegas dan terperinci menetapkan status hukum riba sebagai praktek yang dilarang dalam Islam. Hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakar jelas melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri memperinci larangan pertukaran jenis barang yang termasuk riba. Hadits yang diriwayatkan Jabir, Rasulullah mengutuk penerima, pembayar, pencatat dan saksi yang terlibat dalam praktek riba. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah mendeskripsikan siksaan pemakan riba di neraka. Dan Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah menyebutkan bahwa pemakan riba tidak akan mendapat petunjuk dari Allah di akhirat kelak.
- Illat Hukum Riba
Harun Nasution sebagaimana dikutip Rusdaya Basri menyebutkan bahwa Illat yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl, dengan adanya sifat itulah ashl mempunyai suatu hukum dan dengan itulah terdapat banyak cabang sehingga hukum cabang itu disamakan dengan ashl. Para ulama ushul fiqh mengemukakan sejumlah syarat ‘illat yang dapat dijadikan sebagai sifat dalam menentukan suatu hukum, di antaranya adalah:
- Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum. Maksudnya, fungsi ‘illat adalah bagian dari tujuan disyari’atkannya hukum, yaitu untuk kemaslahatan umat manusia.
- Illat itu adalah suatu sifat yang jelas, nyata dan dapat ditangkap indera manusia. Karena ‘illat merupakan pertanda adanya hukum. Contohnya: sifat memabukkan bagi haramnya khamar dan minuman keras lainnya. Sifat memabukkan itu jelas, dapat disaksikan dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan lain. Karena jelasnya, maka ‘illat itu dapat diketahui hubungannya dengan hukum.
- Illat itu dapat diukur dan berlaku untuk semua orang. Maksudnya, ‘illat itu memiliki hakikat tertentu dan terbatas, berlaku untuk setiap orang dan keadaan. Misalnya, pembunuhan merupakan ‘illat yang menghalangi seseorang mendapatkan harta warisan dari orang yang dibunuh. ‘Illat ini bisa diterapkan kepada pembunuh dalam kasus wasiat.
- Harus ada hubungan keserasian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan menjadi ‘illat. Maksudnya, ‘illat yang ditentukan berdasarkan analisis mujtahid sesuai dengan hukum yang diqiyaskan. Contohnya; sakit menjadi ‘illat bolehnya seseorang membatalkan puasa. Sifat yang tidak ada hubungan kesesuaian dengan hukum tidak dapat dijadikan ‘illat, seperti mengantuk dijadikan ‘illat bagi bolehnya berbuka puasa.
- Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.
- Illat itu tidak datang belakangan dari hukum ashl. Maksudnya, hukumnya telah ada, baru datang ‘illatnya[26].
Seperti telah dipaparkan sebelumnya, secara garis besar riba dibagi pada 2 jenis yaitu riba nasi’ah dan riba fadhl. Riba nasi’ah terjadi pada utang piutang (duyun) yaitu adanya penambahan sebagai imbalan atas ditangguhkannya pembayaran atau pelunasan. Sedangkan riba fadhl terjadi dalam jual beli (barter) yakni riba yang ditimbulkan akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kwalitasnya, sama kwantitasnya dan sama waktu penyerahannya. Illat Riba fadhl, ulama sepakat menetapkan riba fadhl pada enam barang seperti yang terdapat pada nash yaitu emas, perak, gandum, kurma, garam, dan anggur kering. Namun ulama tidak sepakat dalam menetapkan illat terhadap riba fadhl ini. Pendapat pertama, keharaman riba fadhl adalah kelebihan barang atau harga dari benda sejenis yang diperjualbelikan melalui alat ukur (al-wazn dan al-kail), bukan terhadap nilai harta. Kedua, illat keharaman riba fadhl khususnya emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga dari sesuatu baik emas atau perak yang sudah dibentuk atau masih dalam bentuk batangan. Ketiga, pendapat bahwa riba sama sekali tidak memiliki illat, dengan demikian tidak ada riba kecuali dalam enam komoditi yang dinyatakan secara jelas oleh nash (hadits).
Illat Riba nasi’ah, bila melihat dari definisi riba yang dikemukan para ulama cenderung kepada tambahan yang terjadi akibat pembayaran yang tertunda pada akad tukar menukar dua barang yang tergolong ke dalam komoditi riba, baik satu jenis maupun berlaian jenis dengan menunda penyerahan salah satu barang yang dipertukarkan atau kedua-duanya. Bila dilihat pada unsur-unsur riba nasi’ah dalam Mazhab Hanafi adalah tambahan yang diisyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syari’ah atas penambahan tersebut.
- Bunga Bank Dalam Kaca Mata Qiyas Dan Istihsan
Salah satu persoalan hukum aktual di masyarakat dan sekaligus permasalahan perennial adalah berkaitan dengan bunga bank yang keberadaannya dikaitkan dengan salah satu aktivitas yang sangat dilarang dalam Islam, yakni riba (usury). Riba dilarang secara tegas baik dalam Al-Quran, Sunah, maupun Ijmak. Sementara bunga bank secara eksplisit belum ditemukan dalam ketiga sumber hukum dimaksud, sehingga menjadi wilayah bagi akal pikiran (ra’yu/reason) untuk menemukan status hukumnya. Mayoritas mufti dan/atau lembaga fatwa dalam penemuan dan penentuan status hukum dari bunga bank ini mendasarkan pada Qiyas (analogy) sebagai metode penalaran yang disepakati dan fokus pada pada identifikasi ‘illat (ratio legis/effective cause) dari riba dan kemudian diterapkan dalam persoalan hukum baru, yakni bunga bank. Hasil yang pasti dari penggunaan qiyas ternyata masih menimbulkan problematika dan discourse bagi para ahli hukum. Di samping itu, istihsan juga dipandang sebagai methode alternative untuk menjastifikasi status hukum bunga bank sebagai jawaban atas persoalan-persoalan keuangan global.
- Qiyas
Qiyas atau analogi pada dasarnya adalah penalaran guna menemukan sebab efektif (‘illat/ratio legis/effective cause) dari suatu ketentuan hukum yang sudah ada untuk dapat diterapkan pada kasus lain yang belum ada ketentuan/status hukumnya. Dalam prinsip hukum umum terdapat larangan untuk menggunakan qiyas ini dalam perkara-perkara pidana, namun diperbolehkan untuk perkara- perkara perdata. Beberapa pilar penting dalam qiyas sebagai salah satu metode penalaran hukum, antara lain yaitu: (1) Perkara asal bersumber dari Al-Quran dan dapat dianalogikan untuk kasus baru; (2) Perkara baru membutuhkan kepastian hukum; (3) Adanya persamaan karakteristik dan sebab antara perkara lama dan perkara baru (memiliki persamaan ‘illat yang secara obyektif diketahui tolok ukurnya); dan (4) Hukum yang dihasilkan dalam proses qiyas bukanlah hukum yang baru, namun hanya perluasan atau perpanjangan dari perkara yang lama[27].
Menggunakan qiyas sebagai motode istinbath hukum memerlukan kecermatan tinggi untuk menentukan ‘illat (effective cause) atau ratio legis dari sesuatu yang sudah ada status hukumnya, untuk kemudian dapat diterapkan dalam kasus khusus yang hendak ditentukan status hukumnya. Dalam konteks riba, Sugeng Widodo menyatakan ada tiga illat terkait status hukum riba sebagai berikut: (1) mengandung unsur eksploitasi; (2) mengandung unsur kezaliman; (3) mengandung unsur adanya tambahan. Dari ketiga kemungkinan illah dimaksud yang secara objektif dapat diukur adalah unsur adanya tambahan [28]. Sedangkan illat Eksploitasi dan kezaliman lebih kepada efek dari adanya tambahan pada suatu pinjaman. Sehingga, jika disimpulkan bahwa bunga bank adalah riba, terlepas dari besar kecilnya kuantitas tambahan atau suku bunga yang ditetapkan pada tabungan atau pinjaman.
Berdasarkan defenisi yang telah diuraikan sebelumnya, antara riba dan bunga bank memiliki karekteristik yang identik. Oleh karena Bunga bank merupakan perkara baru yang muncul setelah teks suci keagamaan berakhir dan belum ada ketetapan hukunya, maka harus dilakukan upaya penggalian hukum yang salah satunya dengan metode qiyas.
Empat pilar penting dalam qiyas (min arkanil qiyas (empat rukun qiyas) sebagaimana disebutkan di atas harus dijadikan parameter untuk mengeluarkan hukum bunga bank yang akan diformulasikan sebagai berikut:
- Al-far’u, yakni amrun ghairu manshuusinyaitu perkara yang tidak ada nash-nya yang dalam hal ini adalah bunga bank;
- Al-ashlu, yakni perkara asal yang sumber hukumnya harus berasal dari nash yang dalam hal ini adalah riba yang telah jelas status hukumnya dalam al Qu’an dan Hadits sebagaimana di atas.
- Hukmul asliyakni hukum dari perkara asal, yaitu dalam hal ini adalah hukum riba yang telah tegas berdasarkan nash adalah haram.
- Isytirakul illah, yakni karakteristis yang memiliki kesamaan/kemiripan illat. Illat pengharaman riba yang paling nyata adalah ziyadah/penambahan pembayaran. Illat ini juga memiliki karakter yang sama dengan bunga bank. Sehingga, karena antara riba dan bunga bank memiliki kesamaan illat, maka hukumnya juga sama, yaitu haram.
Penerapan qiyas secara ketat dengan berfokus pada ‘illat dengan demikian memang lebih memberikan kepastian hukum dibanding dengan mempertimbangkan hikmah atau alasan-alasan lain yang dipengaruhi ruang, waktu, dan keadaan. Namun demikian, menegasikan sepenuhnya unsur-unsur tersebut juga tidak memuaskan, bila mengingat adanya perbedaan yang tajam antara saat larangan riba diturunkan dengan era modern, yang mana industri keuangan telah diatur sedemikian rupa sehingga praktik “lintah darat” sebagaimana zaman jahiliyah dapat diminimalisir sehingga keberadaan lembaga keuangan modern lebih mendatangkan manfaat daripada mudharat bagi masyarakat penerima fasilitas kredit perbankan. Lebih lanjut juga perlu diingat adanya larangan analogi dalam perkara-perkara pidana, yang mana riba masuk dalam kategori perkara pidana, yakni jarimah ta’zir (tidak termasuk hudud dan qisas) yang menentukan hukum dan hukumannya menjadi diskresi penguasa atau hakim didasarkan pada ketentuan umum syariah, kepentingan publik, serta perbuatan yang dilarang syariah tanpa hukuman tertentu di dunia (misalnya: makan babi, riba, mengurangi timbangan, kejahatan ekonomi)[29]
- Ihtihsan
Melakukan istinbath hukum riba dengan menggunakan pendekatan teks (bayani) sebagaimana qiyas membuat status keharaman riba tidak dapat dipungkiri, sebab kejelasan illatnya. Akan tetapi memahami teks dengan pendekatan ini menimbulkan kesan kaku dan sempit sekaligus tidak dapat memenuhi kebutuhan ummat. Namun, akan berbeda hasilnya jika mengistimbatkan hukum riba melalui pendekatan yang berbeda, pendekatan burhani misalnya. Dalam pendekatan burhani terdapat sebuah pendekatan yang mengedepankan aspek sosio historis (ruang, waktu, dan kondisi), yang dipandang mampu menghasilkan pendapat hukum yang efektif untuk diterapkan dalam masyarakat heterogen, seperti masyakat Indonesia, pendekatan tersebut dikenal dengan ihtihsan.
Menurut Umar Hubeis dan A. Yazid dalam Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyah sebagaimana dikutip Darmawati, Istihsan secara etimologi merupakan bentuk masdar dari استحسنyang berarti menganggap baik sesuatu[30]. Atau mengira sesuatu itu baik, menurut Badran Abu al-‘Ainaini Badran, Ushul Fiqh al-Islamiy[31]. Dan menurut Abu Hanifah tetap menggunakan arti lughawi sebagai dasar pemakaian istihsan yaitu (astahsin) berarti saya menganggap baik[32].
Ulama-ulama Mazhab seperti Imam al-Bazdawi dari Mazhab Hanafiyah, Imam al-Syatibi dari Mazhab Malikiyah dan Ibn Qudamah dari Mazhab Hanabilah telah memberikan devenisi istihsan yang dapat disimpulkan bahwa esensi dari istihsan itu adalah pertama: mentarjih qiyas khafi dari qiyas jali, karena ada dalil yang mendukungnya. Kedua: Memberlakukan pengecualian hukum juz‟i, dari hukum kulli atau kaidah hukumnya didasarkan kepada dalil khusus yang mendukungnya[33].
Dari definisi di atas dapat ditarik benang merah bahwa istihsan menuju pada sebuah prinsip atau asas yang melegitimasi penyimpangan sebuah putusan yang telah ditetapkan dan merestui penerapan suatu putusan alternatif. Penerapan putusan alternative tersebut tidak dapat dilakukan secara serampangan dan membabi buta, namun terikat dengan batasan-batasan berupa alasan yang dapat dijadikan sebagai pembenaran. Menurut Saim Kayadibi alasan pembenaran antara lain adalah nash (al-Quran dan Sunnah), ijmak (consensus), darurat (necessity), ‘urf (custom), maslahah (benefit), qiyas khafiy (implicit analogy)[34].
Dalam konteks justifikasi bunga bank di Indonesia dapat menggunakan tiga alasan pembenaran yaitu darurat (necessity), ‘urf (custom), maslahah (benefit). Justifikasi bunga atas dasar dharurah dan hajjah tepat diberikan terhadap operasional lembaga keuangan yang menggunakan sistem bunga. Bunga bank (interest) yang dianggap sama dengan riba akan menyulitkan dalam pelaksanaannya, karena jika bank dilarang akan menimbulkan kemacetan ekonomi[35].
‘Urf juga dapat digunakan sebagai instrument alasan istihsan untuk menjustifikasi status hukum bunga bank. ‘Urf lazim diartikan sebagai kebiasaan berulang-ulang dalam suatu sebuah komutinas zona wilayah. Dalam khasanah Islam fungsi bank dilakukan oleh perorangan dengan skema mudharabah, sedangkan dalam skema pinjaman dilarang adanya instrumen tambahan, dikarenakan pinjam-meminjam adalah transaksi sosial sehingga segala bentuk tambahan dianggap sebagai riba yang dilarang, baik tambahan tersebut banyak maupun sedikit. Dengan adanya tambahan, maka sudah merubah nature transaksi sosial menjadi komersial dan status hukumnya adalah haram. Praktik riba telah mendarah daging di masyarakat Arab pada waktu itu dan tanpa ada otoritas yang mengatur, mengontrol dan mengawasi sehingga berdampak buruk bagi masyarakat yang meminjam uang dari orang kaya sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok (basic need)[36].
Hisyam Ali sebagaimana dikutip Khoirul Umam menyatakan bahwa adanya perbedaan situasi dan kondisi antara masyarakat Arab di era jahiliyah dan masyarakat modern seperti sekarang yang mana bank adalah lembaga yang sarat pengaturan, barangkali menjadi alasan bagi Muhammad Abduh, Muhammad Rashid Rida, Abd al-Wahab Khallaf, Mahmud Shaltut untuk berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang berlipat ganda dan tidak termasuk riba yang kadarnya rendah[37].
Seperti diungkap sebelumnya bahwa pengharaman riba melalui pendekatan teks berbasis pada illat adalah adanya penambahan yang berlipat ganda. Praktek riba saat diturunkannya nash pengharaman riba saat itu dilakukan secara bebas tanpa adanya kontrol dari penguasa. Sehingga penambahan yang berlipat ganda tersebut mengakibatkan eksploitasi dan kezhaliman. Saat ini, seperti di Indonesia, praktek bunga bank telah diatur oleh negara. ‘Urf berupa Pengaturan yang berbentuk pengawasan terhadap lembaga perbankan dan perlindungan kepada nasabah telah diatur dalam peraturan perundang-undangan negara tersebut telah dapat mengeluarkan efek eksploitasi dan kezhaliman dari illat penambahan yang berlipat ganda. Sehingga, pengharaman bunga bank sebagaimana pendekatan qiyas tidak dapat digeneralisir jika status hukum bunga bank ditinjau dengan pendekatan istihsan, jika ekses eksploitasi dan kezhaliman dapat dihilangkan dari illat penambahan dalam praktek bunga.
Tinjauan status hukum bunga bank melalui pendekatan istihsan dengan alasan mashlahat adalah dengan cara membandingkan mashlahat dan mudharat yang terdapat dalam praktek bunga bank. Untuk mengukur dominasi antara maslahat dan mudharat, menurut Khoirul Umam dapat menggunakan Postulat yang relevan dalam kasus bunga bank, yakni kelayakan (reasonableness) dan proporsionalitas (proportionality). Postulat kelayakan (reasonableness) diterapkan sebagai pedoman yang mengharuskan norma umum untuk berhubungan dengan individualitas dalam kasus aktual, baik dengan menunjukkan dalam perspektif mana norma itu akan diterapkan atau dengan menunjukkan ketika kasus individu begitu spesifik sehingga tidak sesuai dengan norma umum. Sementara, postulat proporsionalitas (proportionality) berlaku untuk kasus-kasus di mana ada hubungan sebab-akibat antara sarana dan tujuan yang benar-benar terlihat[38].
Berdasarkan kedua postulat tersebut, norma mengenai bunga bank seharusnya merupakan norma khusus, tidak sebagaimana norma umum yang secara eksplisit dinyatakan haram dalam nash (Al-Quran dan Sunnah). Aspek kelayakan dan kemasukakalan bahwa bunga bank seharusnya tidak diberikan status hukum haram secara mutlak sebagaimana riba dikarenakan adanya perbedaan karakteristik antara riba zaman jahiliyah yang dilaksanakan secara individual tanpa pengaturan dan pengawasan dan bunga bank sebagai instrumen lembaga keuangan modern yang sarat dengan pengaturan dan pengawasan. Bila di era jahiliyyah peminjam adalah orang miskin guna memenuhi kebutuhan pokok (basic need) yang di era sekarang masuk dalam kategori unbankable, sementara peminjam ke lembaga keuangan modern hampir dipastikan adalah orang kaya yang memerlukan dana untuk pemenuhan kebutuhan sekunder, bahkan tersier atau sebagai modal usaha. Imbalan yang ditentukan dalam bentuk suku bunga tidak diperkenankan secara berlebihan (excessive) sebagai riba, melainkan harus proporsional sebagai sarana menjaga nilai mata uang dan sekaligus ditujukan guna meraih keuntungan dalam bentuk selisih bunga simpanan dan bunga pinjaman. Ditinjau dari kedua postulat tersebut, menurut Peneliti aspek kemaslahatan membolehkan pengenaan bunga bank adalah lebih besar daripada pelarangannya secara mutlak dengan status hukum haram[39].
Dengan perspektif lain, namun masih dengan metodhe istihsan, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Dr M Saad Ibrahim MA menjadi salah satu pemateri dalam International Seminar “Islamic Economics in Maqashid Al Shariah Perspective” yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Sidoarjo di Auditorium KH Ahmad Dahlan Kampus 1 Umsida, Sabtu (26/11/2022)[40], memaparkan perspektif istihsan terhadap bungan bank yang telah penulis ekstrak sebagai berikut:
Qiyas itu ada dua hal yang mirip antara al-far’u dengan al-ashlu dalam konteks illat-nya, maka karena mirip dihukumi dengan hukum yang sama. Tapi sebaliknya, istihsan itu ada dua hal yang mirip antara al-far’u dan al-ashlu. Mirip dalam konteks illat, tapi diberi hukum berbeda, tapi harus liwajhin aqwa, harus dengan alasan yang lebih kuat.
Ketika istihsan ini digunakan walaupun ada kesamaan dalam konteks ziyadah, tapi karena ada alasan yang lebih kuat sehingga tidak dihukumi dengan hukum riba, tidak diberikan hukum haram.
Wajhun aqwa ialah terjadinya inflasi. Wajhun aqwa itu tidak boleh terjadi pada masa nabi, karena pada saat itu uang dibuat dari emas dan perak. Nilainya, qimah dari uang dan perak itu nempel pada uang itu. kapanpun satu gram emas nanti tetap satu gram, tapi kalau kita rupiahkan itu menjadi berbeda. Berbeda pada masa selanjutnya yang menggunakan uang sebagai alat tukar, yang selalu mengalami inflasi. Oleh karena itu menjadi alasan kuat untuk seorang mujtahid tidak menggunakan qiyas tapi menggunakan istihsan sehingga simpulannya berbeda.
Maka dalam konteks inilah para menyimpulkan bahwa bunga bank dengan menggunakan istihsan itu karena adanya inflasi. Tentu kalau ada deflasi lain lagi. Tapi deflasi itu relatif tidak terjadi atau kecil kemungkinan untuk terjadi. Yang terjadi adalah selalu inflasi-inflasi. Sehingga dengan mengunakan istihsan sebagai pisau untuk mengupas hukum bunga bank, maka pemilik harta tidak melakukan kedzaliman dan nasabah tidak terdzalimi dan tidak bertentangan dengan Q.S. al-Baqarah ayat 279: ‘لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ, oleh karena itu kecendrungan lebih baik menggunakan istihsan.
Namun demikian, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang biasa dikenal dengan panggilan Gus Baha mewanti-wanti penggunaan istihsan sebagai metode istinbath hukum. Dengan mengutip Imam Syafi’I, Gus Baha menyatakan bahwa banyak orang yang pengagum ushul fiqh jadi liberal karena terlalu banyak khayal. Maka pondok-pondok itu harus ada fiqh dan ushul fiqh. Gus Baha mencontohkan maqasidusyari’ah itu bisa subjektif. Imam Syafi’I mengkritik bahwa orang yang biasa berfikir istihsan maka ia mau membuat syari’at tandingan, sebab mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan atau mewajibkan sesuatu yang tidak wajib[41].
- Bunga Bank menurut Organisasi Masyarakat Islam Indonesia
- Muhammadiyah
Fatwa Majelis Tarjih Dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor: 08 Tahun 2006 memutuskan bahwa Bunga (interest) adalah riba karena (1) merupakan tambahan atas pokok modal yang dipinjamkan, pada hal Allah berfirman, Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; (2) tambahan itu bersifat mengikat dan diperjanjikan, sedangkan yang bersifat suka rela dan tidak diperjanjikan tidak termasuk riba[42].
Dalam menetapkan keharaman Riba, dalam fatwa tersebut Majelis Tarjih Dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mempertimbangkan dengan mengingat al Qur’an dan Hadits, Kaidah hukum Islam. Fatwa, keputusan dan kesepakatan para fukaha dalam berbagai forum dan Penegasan para ulama. Mendengarkan Fatwa Majelis Tarjih Dan Tajdid tingkat wilayah dan mendengarkan sajian makalah serta usulan-usulan dari anggota Majelis Tarjih Dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Majelis Tarjih Dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggunakan qiyas sebagai metode ijtihad dalam merespon bunga bank. Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba adalah adanya penganiayaan (az-Zulm) terhadap peminjaman dana. Konsekuensinya adalah jika illat itu ada pada bunga bank maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya, jika illat itu tidak ada pada bunga bank maka bunga bank bukan riba dan tidak haram.
- Nahdhatul Ulama
Dalam pandangan Nahdhatul Ulama, bunga bank pada hakikatnya berada pada level peraturan syar‟i dan kondisi masyarakat (sosio kultural) yang diturunkan menjadi berbagai interpretasi. Pandangan NU dan Muhammadiyah sebenarnya bermuara pada nash yang sama mengenai riba, yakni Surat Ali ImranAyat (130) dan al-BaqarahAyat (278-279).
Rumusan yang digunakan para ulama terhadap ketidakbolehan terjadi riba nasi’ah pada kebutuhan jenis barang tersebut, bila dibandingkan dengan rumusan mufassirin tidak ada perbedaan, dan rumusan itu dapat dilihat bahwa riba nasi’ah mempunyai unsur Terjadi karena peminjaman dalam jangka waktu tertentu,Pihak peminjam berkewajiban memberi tambahan kepada debitur untuk mengangsur atau melunasi, sesuai dengan pinjaman dan Obyek peminjaman berupa benda ribawi. dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut metode pengambilan hukum yang dilakukan NU mengikuti prosedur pengambilan dengan cara ilhaq al-masail bi nazairiha. NU menjadikan riba qard sebagai mulhaq ‘alaihi, transaksi bank adalah mulhiq. Hukum mulhaq ‘alaihi adalah haram dan wajh al- ‘ilhaqnya adalah timbangan atau takaran dan juga standar harga emas dan perak atau harga saja. NU menetapkan hukum bunga bank diharamkan baik kecil atau besar, sedikit atau banyak. Keharaman yang berlipat ganda atau besar, hukumnya sama dengan ad’afan muda’afah (riba jahiliyyah), yakni haram li zatihi[43].
- Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia menghukumi haram bunga[44]. Melalui fatwa Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Interest/Fa’idah), Majelis Ulama Indonesia menyamakan kriteria bunga dengan riba nasi’ah yang dipraktekkan pada zaman Rasulullah SAW. Pengharaman riba oleh Majelis Ulama Indonesia tersebut, melingkupi praktek bunga yang dilakukan oleh bank, Asuransi, Pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainya maupun yang dilakukan oleh individu.
Dalam fatwa tersebut, Majelis Ulama mempertimbangkan ayat-ayat al Qur’an dan hadits-hadits yang berkaitan dengan riba serta ijma’, memperhatikan pendapat ahli fiqih diantaranya Imam Nawawi, Ibn al ‘Arabi, Al ‘Aini, Al Sarakhsyi, Ar Raghib al Isfahani, Muhammad Ali al Shabuni, Muhammad Abu Zahra, Yusuf al Qardhawy, Wahbah al Zuhaily. Majelis Ulama Indonesia juga memperhatikan ketetapan Forum Ulama Internasional terkait bunga bank, yaitu Majmu’ Buhuts al Islamiyyah di al Azhar Mesir, Majmu’ Fiqh al Islamiyah Negara-negara OKI, Majmu’ Fiqh Rabithah al Alam al Islammy, Keputusan dar al Itfa’ Kerajaan Saudi Arabia dan Keputusan Supreme Shariah Caourt Pakistan. Juga memperhatikan fatwa dan keputusan Ormas Islam Indonesia, yakni Fatwa DSN MUI, Keputusan Lajnah Tarjih Muhammadiyah, Keputusan munas alim ulama dan Konbes Nahdhatul Ulama, Keptusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa seluruh Indonesia dan Keputusan rapat Komisi Fatwa MUI.
- Maqasidusysyar’iyah Pengharaman Riba dan Bunga Bank
Secara sederna maqashid asy-syari’ah bermakna tujuan atau pencapaian yang hendak diraih dengan terlaksananya syariat Islam. Segala ketetapan syariat Islam, termasuk kegiatan berekonomi, memiliki satu tujuan akhir yaitu mencapai kebahagiaan dan kemenangan tidak hanya di dunia, namun juga di akhirat (falah). Kebahagiaan dan kemenangan seperti ini tidak bersifat semu yang bertendensi menyebabkan penderitaan bagi manusia itu sendiri, melainkan kebahagiaan dan kemenangan yang tersebut bersifat sejati. Dalam implementasinya pada bidang ekonomi, tujuan yang ingin dicapai ekonomi Islam yaitu meliputi aspek mikro dan makro serta meliputi dimensi dunia dan akhirat sekaligus[45].
Menurut Sahroni sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Wahid dan Ahmad Hasan Ridwan menyatakan bahwa maqasid syari’ah pengharaman riba adalah sebagai berikut:
- Menghindari terjadinya kezaliman.
- Supaya uang tak menjadi komoditi yang diperjualbelikan, akibatnya uang tak melahirkan uang tetapi sesuai dengan kegunaannya menjadi alat tukar pada aliran barang serta jasa.
- Supaya motif memberi pinjaman tidak berubah dari akad kebajikan (tabarru) menjadi akad pertukaraan (mu’awadhah).
- Mencegah terjadinya kezaliman yang dilakukan oleh pemberi pinjaman kepada peminjam karena dalam praktik riba qardh penerima pinjaman di eksploitasi rentenir mengenakan bunga pinjaman.
- Riba Buyu‟ diharamkan untuk menghindari gharar dalam akad jualbeli yaitu kezaliman untuk kedua belah pihak akan nilai masing masing objek yang dipertukarkan[46].
Dalam pandangan maqasid syari’ah pengharaman riba termasuk dalam tingkatan dhoruriyyat, sehingga sangat erat kaitannya dengan al-kulliyat alkhomsah yang dirumuskan sebagai berikut:
- Menjaga agama (hifdzu ad-diin). Riba termasuk Al-kabair (dosa besar) yang harus dihindari karena akan menyebabkan lemahnya ketaqaan kepada Allah swt. Melalui pengharaman riba akhlak tercela akan terjaga seperti sifat bakhil, tamak terhadap harta. Dengan ini maka agama akan terjaga.
- Menjaga akal (hifdzul al-„aql). Dengan pengharaman riba akan menjauhkan manusia dari pemikiran materialistis, (keduniaan) yang selalu mendorong akal untuk memikirkan materi demi memaksimalkan kepuasan tanpa ada kontrol.
- Menjaga keturunan (hifzu an-nasab). Dengan pengharaman riba maka akan menjaga dan menjauhkan keluarga dari perangkap hutang yang berbunga yang terus mengikat untuk peminjamnya.
- Menjaga harta (hifdzul al-maal). Harta adalah amanah dari Allah untuk dijaga keberkahannya, maka dengan pelarangan riba akan terjaga keberkan harta tersebut.
- Menjaga jiwa (hifzu an-nafs). Syariat Islam mewajibkan umatnya untuk menjaga diri agar tidak binasa dengan cara memperoleh apa yang menjadi keperluan dirinya seperti, makan, minum, pakaian serta tempat tinggal[47].
- KESIMPULAN
Diakomodirnya akal dalam Islam menandakan bahwa Islam tidak sekedar agama, melainkan juga pandangan dan sekaligus pedoman hidup. Lahirnya metode istinbath hukum yang berbasis akal adalah buah dari diakomodirnya akal tersebut. Nash suci agama tidak dapat berubah dan berkembang, namun hukum selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman. Dengan berkembangnya metode istinbath hukum yang berbasis akal, maka hukum Islam senantiasa tidak lekang oleh zaman, relevan dengan setiap waktu dan keadaan.
Sebagai praktek yang muncul pasca terhentinya wahyu seiring dengan mangkatnya Rasulullah SAW, secara jelas hukum bunga bank tidak ditemukan dalam al Qur’an dan Hadits. Sehingga dibutuh metode istinbath yang keluar dari kungkungan teks dalam hal ini yang relevan diterapkan untuk menggali hukum bunga bank diantaranya adalah qiyas dan istihsan.
Meskipun menggunakan qiyas dalam mengistinbath hukum bunga bank lebih memberikan kepastian hukum dibanding dengan metodhe istinbath hukum yang berbasis akal lainya. Akan tetapi, penerapan analogi (qiyas) khususnya pada bunga bank dipandang tidak mampu memberikan kepuasan kepada masyarakat dalam konteks kekinian yang lebih beragam dan majemuk.
Menerapkan istihsan (juristic preference) dengan alasan darurat (necessity), ‘urf (custom) dan maslahah (benefit) sebagai sebuah metode untuk menetapkan status bunga bank akan menghasilkan staus hukum yang relevan dengan kebutuhan zaman, sehingga lebih diterima oleh masyarakat. Menggunakan istihsan akan menghasilkan status hukum bahwa tidak semua bunga bank adalah haram. Selama dapat dipastikan penambahan dari pokok pinjaman tidak berdampak pada eksploitasi dan kezhaliman kepada nasabah, maka praktek bunga bank tidak dihukumi haram. Sehingga pada akhirnya, akses masyarakat ke lembaga keuangan dapat lebih meluas dan tanpa perlu mengkhawatirkan status kebolehannya.
DAFTAR PUSTAKA
Alamudi, Ichwan Ahnaz, and Ahmadi Hasan. ‘Kedudukan Fatwa DSN Dalam Tata Hukum Nasional’. Mitsqan Ghalizha 2, no. 3 (2023).
Ammy, Baihaqi, Asmuni, and Tuti Anggraini. ‘FENOMENA QIYAS TENTANG RIBA DAN BUNGA BANK DILIHAT DARI PANDANGAN MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA’. Jurnal Salman (Sosial Dan Manajemen) 2 (n.d.).
Basri, Rusdaya. Ushul Fiqh 1. Pare-pare: IAIN PAREPARE NUSANTARA PRESS, 2019.
Darmawati. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia Group, 2019.
Dataindonesia.id. ‘Data Jumlah Penduduk Indonesia Menurut Agama Pada 2023’, 6 March 2024. https://dataindonesia.id/varia/detail/data-jumlah-penduduk-indonesia-menurut-agama-pada-2023.
DTPeduli. ‘Indonesia Darurat Riba’, n.d. https://dtpeduli.org/indonesia-darurat-riba.
Ghofur, Abdul. ‘Konsep Riba Dalam al Qur’an’, 1, NII (2016).
Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006.
Juhro, Solikin M., Ferry Syarufuddin, and Ali Sakti. Ekonomi Moneter Islam Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2020.
Jurnal Salman (sosial dan Manajemen). FENOMENA QIYAS TENTANG RIBA DAN BUNGA BANK DILIHAT DARI PANDANGAN MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA, 2006.
Kajian Fiqih Gus Baha Menakjubkan. kang buch chanel, 2023. https://www.youtube.com/results?search_query=kajian+fiqih+gus+baha+menakjubkan.
‘Kamus Besar Bahasa Indonesia’, n.d. https://kbbi.web.id/bunga.
‘Kamus Besar Bahasa Indonesia’, n.d. https://kbbi.web.id/bank.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. ‘Kredit’, n.d. https://kbbi.web.id/kredit.
Kasdi, Abdurrahman. ‘Analisis Bunga Bank Dalam Pandangan Fiqih’. Iqtishadia, 6 (September 2013).
Kayadibi, Saim. ‘Istihsan (Juristic Preference): The Forgotten Principle of Islamic Law’,. The Graduate School Office Durham University, n.d.
Kementerian Agama Republik Indonesia. Al Qur’an al Karim. Bandung: CV. Jabal RaudhatulJannah, 2009.
Kontan.id. ‘Adu Kencang Pertumbuhan Kinerja Bank Konvensional Dan Bank Syariah, Siapa Jawaranya?’, 28 November 2023. https://keuangan.kontan.co.id/news/adu-kencang-pertumbuhan-kinerja-bank-konvensional-dan-bank-syariah-siapa-jawaranya.
Miswanto, Agus. Ushul Fiqh Metode Istinbath Hukum Islam. Magelang: Unimma Press, 2019.
Muhammad. Bank Syariah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang Dan Ancaman. Yogjakarta: Exonesia, 2016.
———. Bank Syariah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang Dan Ancaman. Yogyakarta: Exonesia, n.d.
PWMU. ‘Hukum Bunga Bank, Antara Tinjauan Qiyas Dan Istihsan’. 2022. file:///D:/uii/MATA%20KULIAH/Ushul%20fiqh/Hukum%20Bunga%20Bank,%20antara%20Tinjauan%20Qiyas%20dan%20Istihsan%20_%20PWMU.CO%20_%20Portal%20Berkemajuan.html.
Santoso, Topo. Asas-Asas Hukum Pidana Islam,. Jakarta: PT. Grafindo Persada, n.d.
Suprayitno, Trisiladi. Disertasi ‘Konsep Rate of Profit Perspektif Ekonomi Islam (Aplikasi Di Bank Syariah)’. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2014.
Tim Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia. BankSyariah:Konsep, Produk ,Dan Implementasi Operasional. Jakarta: Djambatan, 2011.
Tim Penyusun Himpunan Fatwa MUI sejak 1975. Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975. Jakarta: Erlangga, 2011.
Umam, Khotibul. ‘DEKONSTRUKSI FATWA MENGENAI LARANGAN BUNGA BANK (QIYAS VS ISTIHSAN)’. Veritas et Justitia 9, no. 1 (29 June 2023): 108–37. https://doi.org/10.25123/vej.v9i1.6201.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, n.d.
Wahid, Abdurrahman, and Ahmad Hasan Ridwan. ‘PENGHARAMAN RIBA DALAM PERSPEKTIF AL-MAQASID ASY-SYARIAH’. Maqdis: Jurnal Kajian Ekonomi Islam 7, no. 1 (2022).
Widodo, Sugeng. Moda Pembiayaan Lembaga Keuangan Islam Perspektif Aplikatif. Yogjakarta: Kaukaba, 2014.
Wikipedia. ‘Khotbah Perpisahan Muhammad’, n.d. https://id.wikipedia.org/wiki/Khotbah_Perpisahan_Muhammad#:~:text=Khotbah%20perpisahan%20Nabi%20Muhammad%20SAW,Gunung%20Arafah%2C%20selama%20ibadah%20haji.
Wirdiyaningsih. Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2015.
[1] Penulis merupakan Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren
[2] Kontan.id, ‘Adu Kencang Pertumbuhan Kinerja Bank Konvensional Dan Bank Syariah, Siapa Jawaranya?’, 28 November 2023, https://keuangan.kontan.co.id/news/adu-kencang-pertumbuhan-kinerja-bank-konvensional-dan-bank-syariah-siapa-jawaranya.
[3] Dataindonesia.id, ‘Data Jumlah Penduduk Indonesia Menurut Agama Pada 2023’, 6 March 2024, https://dataindonesia.id/varia/detail/data-jumlah-penduduk-indonesia-menurut-agama-pada-2023.
[4] DTPeduli, ‘Indonesia Darurat Riba’, n.d., https://dtpeduli.org/indonesia-darurat-riba.
[5] ‘Kamus Besar Bahasa Indonesia’, n.d., https://kbbi.web.id/bunga.
[6] ‘Kamus Besar Bahasa Indonesia’, n.d., https://kbbi.web.id/bank.
[7] Muhammad, Bank Syariah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang Dan Ancaman (Yogyakarta: Exonesia, n.d.), h. 28.
[8] Wirdiyaningsih, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2015), h.21.
[9] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, BankSyariah:Konsep, Produk ,Dan Implementasi Operasional (Jakarta: Djambatan, 2011), h.36.
[10] Muhammad, Bank Syariah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang Dan Ancaman (Yogjakarta: Exonesia, 2016), h.28.
[11] Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006), h.59.
[12] Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘Kredit’, n.d., https://kbbi.web.id/kredit.
[13] Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, n.d.
[14] Tim Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.167.
[15] Wirdiyaningsih, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, h.21.
[16] Abdurrahman Kasdi, ‘Analisis Bunga Bank Dalam Pandangan Fiqih’, Iqtishadia, 6 (September 2013), h.323-324.
[17] Tim Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, H.167.
[18] Kementerian Agama Republik Indonesia, Al Qur’an al Karim (Bandung: CV. Jabal RaudhatulJannah, 2009), h.34.
[19] Kementerian Agama Republik Indonesia, h.85.
[20] Abdul Ghofur, ‘Konsep Riba Dalam al Qur’an’, 1, NII (2016).
[21] Wikipedia, ‘Khotbah Perpisahan Muhammad’, n.d., https://id.wikipedia.org/wiki/Khotbah_Perpisahan_Muhammad#:~:text=Khotbah%20perpisahan%20Nabi%20Muhammad%20SAW,Gunung%20Arafah%2C%20selama%20ibadah%20haji.
[22] Kasdi, ‘Analisis Bunga Bank Dalam Pandangan Fiqih’.
[23] Kementerian Agama Republik Indonesia, Al Qur’an al Karim (Bandung: CV. Jabal RaudhatulJannah, 2009), h.87.
[24] Rusdaya Basri, Ushul Fiqh 1 (Pare-pare: IAIN PAREPARE NUSANTARA PRESS, 2019), h.17.
[25] Agus Miswanto, Ushul Fiqh Metode Istinbath Hukum Islam (Magelang: Unimma Press, 2019), h.70-71.
[26] Rusdaya Basri, Ushul Fiqh 1 (Pare-pare: IAIN PAREPARE NUSANTARA PRESS, 2019), h.66-68.
[27] Trisiladi Suprayitno, Disertasi ‘Konsep Rate of Profit Perspektif Ekonomi Islam (Aplikasi Di Bank Syariah)’ (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2014).
[28] Sugeng Widodo, Moda Pembiayaan Lembaga Keuangan Islam Perspektif Aplikatif (Yogjakarta: Kaukaba, n.d.), h.39.
[29] Topo Santoso, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, n.d.),h.119.
[30] Darmawati, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), H.59.
[31] Darmawati.
[32] Darmawati.
[33] Basri, Ushul Fiqh 1, h.103.
[34] Saim Kayadibi, ‘Istihsan (Juristic Preference): The Forgotten Principle of Islamic Law’, (The Graduate School Office Durham University, n.d.).
[35] Khotibul Umam, ‘DEKONSTRUKSI FATWA MENGENAI LARANGAN BUNGA BANK (QIYAS VS ISTIHSAN)’, Veritas et Justitia 9, no. 1 (29 June 2023): 108–37, https://doi.org/10.25123/vej.v9i1.6201. h.128
[36] Umam,h.129.
[37] Umam,h.130.
[38] Umam, h.131.
[39] Umam,h.131.
[40] ‘Hukum Bunga Bank, Antara Tinjauan Qiyas Dan Istihsan’, PWMU, 2022, file:///D:/uii/MATA%20KULIAH/Ushul%20fiqh/Hukum%20Bunga%20Bank,%20antara%20Tinjauan%20Qiyas%20dan%20Istihsan%20_%20PWMU.CO%20_%20Portal%20Berkemajuan.html.
[41] Kajian Fiqih Gus Baha Menakjubkan (kang buch chanel, 2023), https://www.youtube.com/results?search_query=kajian+fiqih+gus+baha+menakjubkan.
[42] Jurnal Salman (sosial dan Manajemen), FENOMENA QIYAS TENTANG RIBA DAN BUNGA BANK DILIHAT DARI PANDANGAN MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA, 2006.
[43] Baihaqi Ammy, Asmuni, and Tuti Anggraini, ‘FENOMENA QIYAS TENTANG RIBA DAN BUNGA BANK DILIHAT DARI PANDANGAN MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA’, Jurnal Salman (Sosial Dan Manajemen) 2 (n.d.), h.9.
[44] Tim Penyusun Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Jakarta: Erlangga, n.d.), h.444.
[45] Solikin M. Juhro, Ferry Syarufuddin, and Ali Sakti, Ekonomi Moneter Islam Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, n.d.);110.
[46] Abdurrahman Wahid and Ahmad Hasan Ridwan, ‘PENGHARAMAN RIBA DALAM PERSPEKTIF AL-MAQASID ASY-SYARIAH’, Maqdis: Jurnal Kajian Ekonomi Islam 7, no. 1 (2022): 112-113.
[47] Wahid and Ridwan:113-114.