MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

MAHKAMAH SYAR'IYAH BLANGKEJEREN

Alamat : Jl. Inen Mayak Teri, Sp. Reli, Kp. Jawa,

Kec. Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, Aceh 24655

Telp      :  (0642) 21754

Email    : ms.blangkejeren@gmail.com

IMPLEMENTASI NORMA DALAM Q.S. AL BAQARAH: 282 DALAM KHES | Oleh Gunawan, S.H.I.

Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren

Gunawan[1]

(Studi Tafsir Abdurrauf as-Singkili dalam KitabTurjumun al-Mustafid)

Abstract. According to AsSingkili’s interpretation, verse 282 of Surah al Baqarah contains an order to present two male witnesses or one man and two women in debt and receivable transactions. As a codified norm, the Compilation of Sharia Economic Law contains contracts containing debt and receivable transactions. This research aims to see to what extent the provisions regarding the position of witnesses are as per AsSingkili’s interpretation of paragraph 282 of Surah Al Baqarah in contracts containing debt and receivable transactions contained in the Compilation of Sharia Economic Law. Using a descriptive analysis approach, the author did not find witnesses as a requirement and pillar in the contracts contained in the Compilation of Sharia Economic Law. However, in sharia banking practice, every contract is always written. Writing contracts in sharia banking transactions takes the form of a deed made by a notary. One of the procedures for making a notarial deed is the reading of the deed by a notary which must be witnessed by two witnesses who are at least 18 years old or married, legally competent, understand the language used in the deed, are not related by blood or are married to the notary and the parties and witnesses are person known to the notary. Thus, even though the Compilation of Islamic Law does not require witnesses for each contract, in sharia banking practice in Indonesia it is common to use a deed whose drafting is witnessed by two witnesses.

Abstrak. Menurut penafsiran AsSingkili, ayat 282 surat al Baqarah mengandung perintah untuk menghadirkan dua orang saksi laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan dalam transaksi hutang piutang. Sebagai norma yang terkodifikasi, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, memuat akad-akad yang mengandung di dalamnya transaksi hutang piutang. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana ketentuan mengenai kedudukan saksi sebagaimana penafsiran AsSingkili terhadap ayat 282 surat al Baqarah dalam akad-akad yang mengandung transaksi hutang piutang yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Dengan pendekatan deskriptif analisis, penulis tidak menemukan  saksi sebagai syarat dan rukun dalam akad-akad yang ada dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Meski demikian, dalam praktek perbankan syariah selalu melakukan penulisan dalam setiap akadnya. Penulisan akad dalam transaksi perbankan syari’ah berbentuk akta yang dibuat oleh notaris. Salah satu prosedur pembuatan akta notaris adalah pembacaan akta oleh notaris yang harus dikasikan oleh dua orang saksi minimal berusia 18 tahun atau telah menikah, cakap hukum, mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, tidak memiliki hubungan darah dan semenda dengan notaris dan para pihak dan saksi adalah orang yang dikenal oleh notaris.  Dengan demikian, meski dalam Kompilasi Hukum Islam tidak mensyaratkan saksi dan setiap akadnya, namun dalam praktek perbankan syari’ah di Indonesia lazimnya menggunakan akta yang pembuatannya disaksikan oleh dua orang saksi.

Keyword: as Singkili, KHES, Hutang

PENDAHULUAN

            Nusantara selalu saja melahirkan tokoh-tokoh berkaliber dunia dengan lintas sektoral, tak terkecuali pada sektor keagamaan. Dalam dunia Islam, Aminuddin Abdurrauf bin Ali al Jawi Tsumal Fansuri as-Singkili dan Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi adalah dua diantara tokoh nusantara yang go internasional melalui karya-karyanya.

            Dengan kitab tafsirnya, Tafsir Turjumun al-Mustafid, as-Singkili berusaha membumikan al Qur’an  di bumi nusantara. Dengan menggunakan bahasa Melayu, as-Singkili menyelaraskan pemahaman, karekteristik dan budaya muslim nusantara dengan al al Qur’an. Sebagai kitab tafsir berbahasa Melayu pertama, magnum opus as-Singkili tersebut mendapatkan sambutan positif dari kaum muslimin nusantara yang kesulitan memahami tafsir al Qur’an dengan menggunakan bahasa Arab.

            Diantara tafsir as-Singkili yang membumi di nusantara adalah penafsirannya terhadap ayat 282 surah al Baqarah. Meski tak jauh berbeda dengan penafsir lainnya, as-Singkili menafsirkan ayat tersebut sesuai dengan konteks latar as Singkili menafsir. Yang menjadi pembeda as-Singkili menafsirkan ayat 282 surah al Baqarah adalah bahwa as-Singkili tidak menyebutkan kelemahan daya ingat wanita sehingga Allah menetapkan secara kwantitas jumlah kesaksian wanita berbanding 2 dengan laki-laki, sementara ulama tafsir lainnya, sebut saja pengarang Jalalain dan Ibnu Katsir secara gamblang menyebutkan. Hal yang melatarbelakangi as-Singkili tidak menyebutkan kelemahan wanita adalah karena As Singkili menulis Turjuman al Mustafid di wilayah kerajaan Aceh yang saat itu diduduki oleh Sultanah Syafiatuddin yang merupakan seorang wanita.

            Dalam tradisi Islam, kepemimpinan selalu diasuh oleh pria. Pandangan dominasi kompetensi pria atas wanita selalu saja menjadi alasan pembenar singgasana kepemimpinan dalam Islam selalu diduduki pria. Pandangan tersebut tidak berlaku di Aceh, sejak Sultanah Syafiatuddin (1641-1675), selanjutnya beberapa dekade kesultanan aceh dipimpin oleh wanita yaitu Sultanah Naqiatuddin (1675-1678), Sultanah Zaqiatuddin (1678-1688), dan Sultanah Zainatuddin (1688-1699)[2]. Di Aceh posisi wanita dianggap sama dengan pria, kepemimpinan wanita-wanita Aceh di atas menjadi buktinya. Bukti lain adalah setidaknya ada 7 wanita aceh yang telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional yaitu Cut Nyak Dien, Cut Nyak Muetia, Teungku Fakinah, Pocut Meoligoe, Pocut Meurah Intan dan Pocut Baren[3].

            Perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia menghendaki positifsasi hukum Islam khususnya dalam bidang ekonomi syari’ah. Memenuhi keinginan tersebut, melalui Peraturan Nomor 2 Tahun 2008, Mahkamah Agung menerbitkan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Kompilasi tersebut mengatur tentang subjek hukum dan harta, akad, zakat dan hibah, dan akuntansi syari’ah. Dalam buku kedua tentang akad, KHES membahas mengenai akad-akad yang digunakan dalam transaksi perbankan syari’ah. Dari beberapa akad yang dimuat dalam KHES terdapat akad yang mengandung transaksi hutang piutang yakni murabahah, salam, istisna, dan ijarah.

            Dengan pendekatan deskriptif analisis, penulis berupaya menganalisis penerapan norma tentang perintah menghadirkan saksi sebagaimana tafsir Abdurrauf AsSingkili dalam tafsirnya Turjuman al Mustafid terhadap ayat 282 surah al Baqarah dalam akad-akad yang mengandung hutang-piutang yang diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.

PEMBAHASAN

Seputar Kitab Turjuman Al-Mustafid

Biografi Pengarang

As Singkili memiliki nama lengkap Aminuddin Abdurrauf bin Ali alJawi Tsumal Fansuri as-Singkili[4]. Beliau lahir di Singkil. Singkil merupakan kota yang saat ini berada di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh. Sebab itu pula kadang kala namanya ditambahkan ‘al-Singkili’ untuk menunjukkan bahwa ia berasal dari Singkil. Tentang kapan ‘Abd al-Rauf lahir, tidak ada data yang akurat untuk menjelaskan hal itu. Harun Nasution menyebut bahwa ia lahir sekitar tahun 1001 H/ 1593 M. Ia berasal dari keluarga religius, ayahya Syekh Ali al-Fanshuri merupakan ulama yang terkenal, membangun dan memimpin dayah (sebuah institusi seperti pondok pesantren di Pulau Jawa) Simpang Kanan di pedalaman Singkiel. Pendapat lain menyebutkan bahwa ia dilahirkan di Suro, sebuah desa pinggiran sungai Simpang Kanan, Singkil, sekitar tahun 1620 M[5].

Semasa kecil ia telah mendapatkan pendidikan dari ayahnya yang merupakan seorang alim dan mendirikan madrasah kemudian menarik murid-murid dari berbagai tempat di Kesultanan Aceh. Menurut Hasjmi, As Singkili di kemudian hari mengadakan perjalanan ke Banda Aceh, Ibu Kota Kesultanan Aceh untuk menimba ilmu. Tidak hanya sampai disitu, As Singkili melanjutkan rihlah al-‘ilm ke Jazirah Arab mulai tahun 1642 M atau di usianya ke- 27 tahun. Perjalanannya menyusuri rute-rute yang biasa ditempuh dalam ibadah haji, mulai dari Dhuha (Doha, Qatar), Yaman, Jeddah, dan akhirnya Mekkah dan Madinah[6].

Di Dhuha ia belajar kepada ‘Abd al-Qadir al-Mawrir meskipun hanya dalam waktu yang cukup singkat. Setelah itu ia menuju Yaman, terutama di Bayt al-Faqih dan Zabid yang menjadi pusat pengetahuan Islam di wilayah itu. Di Bayt alFaqih ia belajar kepada keluarga Ja’man, terutama Ibrahim bin ‘Abd Allah bin Ja’man dengan menekuni bidang hadis dan fikih. Sedangkan di Zabid ia menjadi murid ‘Abd al-Rahim bin al-Shiddiq al-Khash, ‘Abd Allah bin Muhammad al-‘Adani yang disebut As Singkili sebagai pembaca (qari’) al-Qur’an terbaik di wilayah itu. As Singkili kemudian meneruskan perjalanannya ke Jeddah untuk berguru kepada muftinya, ‘Abd alQadir al-Barkhali. Selang beberapa waktu As Singkili berpindah ke Mekkah, di sana ia berguru kepada ‘Ali bin ‘Abd al-Qadir al-Thabari, disamping itu ia juga melakukan kontak dengan ulama lain, seperti Isa al-Maghribi, ‘Abd al-Aziz al-Zamzami, Taj al-Din bin Ya’kub dan lain sebagainya[7].

Abdul Rauf adalah ulama pertama di wilayah Melayu-Indonesia yang menulis mengenai fiqih mu’amalah. Dia menunjukkan kepada kaum Muslim Melayu bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas ibadah saja tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari mereka. Selain itu Abdul Rauf juga mempunyai kontribusi yang luar biasa dalam bidang tafsir AlQur’an. Dia adalah alim pertama di bagian dunia Islam yang bersedia memikul tugas besar mempersiapkan tafsir lengkap al-Qur’an dalam Bahasa Melayu. Baru-baru ini ditemukan bahwa sebelum dia, hanya ada sepenggal tafsir al-Qur’an surat al-Kahfi/18 yang diperkirakan ditulis pada masa Hamzah Fansuri atau Syamsuddin al Sumaterani, mengikuti tradisi tafsir al Khazin, meski Abdul Rauf tidak memberikan penjelasan tahun penyelesaian karya tafsirnya yang berjudul Tarjumah al-Mustafid, tidak ada keraguan bahwa dia menulisnya semasa karirnya yang panjang di Aceh[8].

Sebelum meninggal dunia, ‘Abd al-Rauf telah menulis sejumlah karya tulis, namun jumlahnya tidak dapat dipastikan dengan tepat. Azyumardi Azra mengutip pendapat Voorhoeve dan Hasjimi, mengatakan jumlah karyanya sebanyak 22 buah[9]. Tetapi Oman Faturrahman menyebutkan bahwa karyanya tidak kurang dari 36 buah, meliputi berbagai bidang ilmu keislaman, terutama tafsir, hadis, tasawuf, dan fikih. Di bidang tafsir, ‘Abd al-Rauf menulis karya monumentalnya, tafsir Tarjuman al-Mustafid. Karya ini merupakan tafsir al-Quran yang pertama dalam bahasa Melayu. Pengaruh karya ini sangat luas, pernah dicetak di beberapa negara, seperti Istanbul, Singapura, Pulau Pinang dan Jakarta. Bahkan, karya ini pernah dijumpai di pemukiman masyarakat Melayu yang tinggal Afrika Selatan[10]. Karya tafsir ini hingga hari ini masih dikenal dan diajarkan diberbagai tempat kaum Muslim, terutama Indonesia[11].

Di samping kitab tafsir Tarjuman al-Mustafid, Abdurrauf as Singkili setidaknya mengarang puluhan kitab lain dari disiplin ilmu Fiqih, tasawuf dan hadits  yang umumnya berbahsa Melayu, yaitu:

  1. Bidang Fiqih: Mir’ah al-Tullab fi Tashil Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyyah al-Malik alWahab (Cermin Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Mengetahui HukumHukum Syara’ Tuhan), Bayan al-Arkan (Penjelasan Rukun-Rukun), Bidayah al-Balighah (Permulaan Yang Sempurna), Majmu’ al-Masa’il (Kumpulan Masalah), Fatihah Syekh Abdul Rauf (Metode Bacaan Fatihah Syekh Abdul Rauf). Tanbih al-Milfi Tahqiq Kalam an-Nawafil (Peringatan Bagi Orang Yang Mentahqiqkan Kalam Sholat Sunnah), Sebuah Uraian Mengenai Sholat, Wasyiyyah (Tentang Wasiat-Wasiat Abdul Rauf Kepada Murid-Muridnya), Doa Yang Diajukan oleh Syekh Abdul Rauf Kuala Aceh, Sakaratul Maut (Tentang Hal-Hal Yang Dialami Oleh Manusia Menjelang Ajalnya.
  2. Bidang Tasawuf: Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Thariq al-Qusyasyi (Pedoman Bagi OrangOrang Yang Menempuh Tarekat al-Qusyasyi), Umdah al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufarridin (Pijakan Bagi OrangOrang Yang Menempuhkan Jalan Tasawuf), Sullam al-Mustafiddin (Tangga Setiap Orang Yang Mencari Faidah), Piagam Tentang Zikir, al-Muhtajin ila Nasyrab al-Muwahiddin al-Qailin bi Wahdah alWujud (Bekal Bagi Orang Yang Membutuhkan Minuman Ahli Tauhid Penganut Wahdatul Wujud), Bayan Aghmad al-Masa’il wa al-Shifat al-Wajibah li Rabb al-Ard wa alSamawat (Penjelasan Tentang Masalah-Masalah Tersembunyi dan sifatsifat Wajib bagi Tuhan Penguasa Langit dan Bumi), Bayan Tajalli (Penjelasan Tajallu), Daqa’iq al-Huruf (Kedalaman Makna Huruf), Risalah Adab Murid Akan Syekh (Bahasa Arab dan Melayu). j. Munyah al-I’tiqad (Cita-cita Keyakinan), Bayan al-Itlaq (Penjelasan Makna Istilah Itlaq), Risalah ‘Ayan Tasabitah (Penjelasan Tentang ‘Ayan Tsabitah), Risalah Jalan Ma’rifatullah (Karangan Tentang Jalan Menuju Ma’rifah Kepada Allah), Risalah Mukhtasarah fi Bayan Syurut al-Syekh wa al-Murid (Karangan Ringkas Tentang Syarat-Syarat Guru dan Murid), Faedah Yang Tersebut di Dalamnya Kaifayah Mengucap Zikir Laa Ilaha Illa Allah, Syair Ma’rifah), ‘Umdah al-Anshab (Pohon Segala Nashab), Idah al-Bayan fi Tahqiq Masa’il al-Adyan (Penjelasan Dalam Menyatakan Masalah-Masalah Agama), Ta’yid al-Bayan Hasyiyah Ida al-Bayan (Penegasan Penjelasan: Catatan Atas Kitab Idah al-Bayan), Lubb al-Kasyf Wa al-Bayan li Ma Yaruhu al-Muhtadar bi al-Iyan (Hakikat Penyingkapan dan Penjelasan atas apa Yang Dilihat Secara Terangterangan), Risalah Simpan (Membahas Aspek-Aspek Sholat Yang Secara Mistis), Syatariyyah (Tentang Ajaran dan Tata Cara Zikir Tarekat Syatariyyah).
  3. Hadits: Syarh Latif Arbin Haditsan li al-Imam an-Nawawiyy (Penjelasan Terperinci atas Kitab Empat Puluh Karangan Imam an-Nawawi dan Al-Mawiz al-Badiah (Petuah-petuah Berharga)[12].

Karakteristik Kitab Turjuman al Mustafid

Tarjuman al-Mustafid diasumsikan kuat sebagai tafsir pertama di Nusantara yang lengkap menafsirkan 30 juz al-Qur’an. Penulis tafsir ini merupakan seorang ulama besar Aceh, Syaikh ‘Abd al-Rauf bin ‘Ali al-Fanshuri al-Jawi. Tafsir Tarjuman al-Mustafid tersebar luas di Nusantara, bahkan hingga ke mancanegara seperti Afrika Selatan. Tafsir ini berkali-kali pula telah berhasil dicetak di Singapura, Penang, Jakarta, Bombay dan TimurTengah[13].

Salah satu Kitab Tarjuman al-Mustafid yang beredar di Indonesia adalah cetakan Ahmad Abadi, Bombay, pada tahun 1370 H/1951 M. Kitab ini terdiri dari 610 halaman, belum termasuk halaman doa khatam al-Qur’an dan halaman daftar isi akhir. Kitab ini dicetak dalam satu jilid besar yang terbagi dalam dua juz, yang pertama tafsir surat al-Fatihah sampai pada al-Isra’ dan pada juz kedua tafsir surat al-Kahf sampai surat al-Nas[14].

Kitab tafsir Tarjuman Al- Mustafid ditulis dengan bahasa Melayu Jawi lengkap tiga puluh juz. Tidak ada sumber yang menyebutkan secara pasti tentang tahun penulisan tafsir ini karena as Singkili tidak menuliskan tahun penulisan di dalam tafsirnya. Namun, dalam penelitiannya Riddell seperti yang dikutip Azra menegaskan bahwa salinan paling awal yang kini masih ada dari Tarjuman Al- Mustafid berasal dari akhir abad ke 17 M dan awal abad ke 18 M[15].

Tafsir Tarjuman al-Mustafid  sangat mendapat tempat di hati kaum Muslim baik di Nusantara (Indonesia) maupun mancanegara, dibuktikan dengan beberapa edisi cetaknya pernah diterbitkan di Singapura, Penang, Jakarta, Bombay dan Timur Tengah. Di Istanbul kitab tafsir ini diterbitkan oleh penerbit Mathba‘ah al-‘Ustmâniyyah pada tahun 1884/1302 dan tahun 1906/1324. Di Kairo diterbitkan oleh penerbit Sulaimân alMarâghî tahun 1951, serta di Makkah diterbitkan oleh al-‘Amiriyyah. Sedangkan edisi terakhir diterbitkan di Jakarta pada tahun 1981[16].

As Singkili menulis magnum opus-nya, tafsir Tarjuman AlMustafid ketika ia menjalani perannya sebagai Qadhi Malik al-‘Adil atau Mufti di Kesultanan Aceh. Perannya tersebut memberinya wewenang yang cukup luas dan tanggungjawab yang besar di bidang keagamaan. Memang tidak ada sumber tertulis maupun penelitian yang menyebutkan alasan as Sinkili menulis tafsir ini. Namun, menilik kondisi masyarakat Aceh ketika itu sangat menginginkan adanya sumber atau rujukan agama khususnya berbahasa Melayu. Di sisi lain, masyarakat juga dihadapkan pada problem-problem yang muncul akibat adanya penafsiran-penafsiran sufistik yang dikembangkan oleh golongan Wahdat al-Wujud[17].

Tidak ada kenyataan yang tepat untuk menunjukkan sebab musabab disusunnya kitab Tafsir Turjuman al Mustafi tersebut. Namun apabila ditelusuri secara historis suasana masyarakat Aceh ketika itu, mereka memang sangat berhajat kepada bahan rujukan agama yang berbahasa Melayu. Wujudnya kekacauan dan kekeliruan yang terjadi pada masyarakat saat itu disebabkan oleh tafsiran-tafsiran secara batin yang dilakukan oleh golongan Wahdatul Wujud. Semuanya ini meningkatkan keperluan masyarakat kepada tafsir berbahasa Melayu. Lantaran itulah Abdurrauf al Singkili berusaha menyusun sebuah kitab tafsir berbahasa Melayu bagi membantu masyarakat untuk lebih memahami ajaran Islam.

Tafsir Tarjuman Al-Mustafid disusun dengan sistematika tartib mushafi. Dalam sistematika ini, as Singkili menguraikan penafsirannya berdasarkan urutan ayat dan surat di dalam mushaf. Ayat-ayat al-Quran dituliskan terlebih dahulu kemudian diberi terjemahan sekaligus tafsir. Jika ada perbedaan qira’at, As Singkili menerangkan dengan membuat faidah. Faidah ini menjelaskan tentang bacaan imam-imam qira’at terhadap ayat-ayat tersebut[18].

Secara umum sistematika yang digunakan dalam tafsir Turjumun al Mustafid ini ialah sistematika penyajian yang dilakukan secara runtut, uraiannya mengacu pada urutan mushaf standar al-Qur’an. Pada setiap awal surat, diurai dengan detail masalah yang berkaitan dengan surat yang dikaji; nama surat, serta nomor surat, jumlah ayat sekaligus jumlah perhitungannya, tempat turunnya surat (makiyyah, madaniyah). Serta fadilah yang ada dalam kandungan surat tersebut[19].

Sebagai gambaran, sistematika penulisan kitab tafsir Turjuman al-Mustafid sebagai berikut:

  1. Fadilah Surat

Dalam hal ini, setidaknya ada tiga pola penukilan fadilah surat yang terdapat dalam Turjumun al-Mustafid dan Manafi’ al-Qura’n, seperti pada QS. al-Fatihah, hanya dari Tafsir al-Baidawi saja, seperti QS. al-Furqan dan dari tafsir al-Baidawi dan alKhazin, seperti QS. Yasin.

  1. Penafsiran

Setelah memberi penjelasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan surat, Abdurrauf as Singkili memulai kajiannya dengan masuk pada ayat demi ayat dalam setiap surat. Ayat al Qur’an ditulis lalu ditafsirkan dalam bahasa Melayu. Setelah menafsirkan beberapa ayat, Abdurrauf as Singkili menungkapkan pendapat mufassir, yang diawali dengan kata faidatun: “Faidatun: kata mufassir dan kata ini tamsyil dikehendaki dengan tiada mereka itu beriman dan tiada tunduk kepadaNya.

  1. Kira’at

Penggunaan kiraat menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan Abdurrauf al-Singkili. Ketika menjelaskan aspek kiraat, adakalanya ia menjelaskan tafsir berdasarkan perbedaan kiraat itu dan adakalanya tidak dijelaskan apa maksudnnya. Salah satu hal yang menarik ketika menjelaskan perbedaan kiraat dalam Turjumun al-Mustafi’ah, yaitu ilmu yang menerangkan kiraat dari sudut tafsir dan tata bahasa Arab. Kedua, uraian perbedaan kiraat yang tidak dijelaskan tafsiran atau maknanya.

  1. Riwayat Asbabunnuzul

Asbab al nuzul merupakan satu bagian yang banyak mendominasi kandungan Turjumun al Mustafib al nuzul dimulai dengan kisah kemudian diikuti dengan ungkapan: “Maka turunlah firman Allah.” Namun, terdapat juga asbab al-nuzul yang tidak dimulai dengan kata kisah tersebut. Ketika membicarakan tentang asbab al-nuzul, ia banyak merujuk riwayat dari pada Tafsir al-Khazin. Bahkan boleh dikatakan bahwa Tafsir al-Khazin adalah rujukan utama dalam asbab al nuzul dibandingkan dengan Tafsir al- al-Baidawi.

  1. Nasikh-mansukh,

Abdurrauf al-Singkili saat membahas ayat yang ada hubungan dengan nasikh-mansukh, maka ia akan menyebutnya secara tegas. Misalnya saat sampai pada pembahasan QS. al Anfal (8):72, dengan tegas dia mengatakan adanya nasikh-mansukh

  1. Fiqih,

Dalam tafsirnya Abdurrauf al-Singkili juga menjelaskan persolaan fikih, baik yang bersumber dari kitab al Nihayah, pendapat Imam Syafii dan lainnya, seperti, QS. al-Nisa’ (4): 16 dan 43.

  1. Israiliyat,

Kisah israiliyyat (israiliyyat) relatif banyak dikemukakan dalam tafsir ini. Biasanya, pengarang Tarjuman akan memulainya dengan ungkapan: “kisah” dan dipaparkan secara singkat yang disertai dengan penjelasan bahwa kisah tersebut dikutip dari al-Khazin. Seperti saat ia menafsirkan QS. Al-Baqarah: 248. Hanya terdapat beberapa kisah israiliyyat yang disebutkan secara panjang lebar seperti kisah Nabi Ayyub As, Nabi Yusuf As dan Nabi Sulaiman As. Namun demikian, meskipun al Khazin menjadi rujukan utama mengenai israiliyyat, didapati bahwa sang pengarangnya juga merujuk pada Tafsir sebagaimana nampak di beberapa bagian dari Tarjuman. Satu hal yang yang kentara dalam hal ini, yaitu, ketika mengemukakan riwayat israiliyyat ia tidak menyatakan status riwayat tersebut apakah ia diterima atau tertolak. Namun sebagian riwayat yang disandarkan kepada al Khazin seolah-olah memberi isyarat awal bahwa riwayat tersebut boleh dipertanyakan dari segi kesahihannya. lni memandangkan status Tafsir al-Khazin yang dipenuhi dengan riwayat israiliyyat.

  1. Gaya Bahasa dan Istilah

Terjemahan ayat dibuat dengan gaya bahasa Melayu klasik. Ia juga terikat dengan kaedah bahasa Arab. Terjemahan banyak menggunakan struktur ayat songsang yaitu struktur ayat yang tidak terikat dengan kaedah subjekpredikat. Ia juga banyak menggunakan struktur ayat pasif yang diwakili oleh imbuhan “di” dan “oleh[20].

Meskipun Tarjuman al-Mustafid  ditulis secara global, tetapi tafsirnya ini sangat kaya dengan berbagai pelengkap penafsiran seperti aspek qiraah terutama mengutip pendapat tiga imam qiraah: qiraah Abu ‘Amr riwayat Duri, qiraah Nafi‘ riwayat Qalun, dan qiraah imam Hafsh. Dilengkapi pula dengan berbagai penafsiran para ulama dari berbagai kitab tafsir seperti tafsir al Baidawi, tafsir al Khazin, tafsir Jalalain, dan tafsir Tsa‘labi. Selain itu juga dinukil riwayat-riwayat asbab al-nuzul dan kisah-kisah umat-umat terdahulu. Hal ini disebabkan karena ‘Abd al-Rauf adalah seorang yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang keilmuan Islam, dengan berkat keluasan ilmu yang dimilikinya tidak aneh jika nuansa penafsiran yang diberikan bersifat umum, walaupun ‘Abd al-Rauf juga terkenal sebagai penyebar dan mursyid tarekat Syattariyah, namun nuansa penafsiran yang diberikan tidak terpengaruh pada satu bidang tertentu[21].

Dalam menulis tafsirnya, Abdurrauf as Singkili menggunakan metode hampir tidak bisa dilepaskan dari keberadaan tafsir sebelumnya. Seperti ketika mencantumkan keutamaan surat, Abdurrauf as Singkili mengemukakan bahwa keutamaan surat tersebut bersumber dari Tafsir Baidawi dan Tafsir Khazin. Selain itu, pada beberapa tempat Abdurrauf as Singkili juga mencantumkan pendapat mufasir, namun ia tidak mengatakan siapa mufasir tersebut. Akan tetapi, ketika ia mengungkapkan dan mengatakan hal itu dari mufasir, maka dapat disimpulkan bahwa ia mengutip sekalipun tidak disebutkan siapa mufasirnya. Ini mengindikasikan bahwa tafsir ini tidak lepas dari metode interteks[22].

Dalam tafsir Turjumun al-Mustafid ini bisa dikatakan sebagai tafsir yang memiliki nuansa/corak kebahasaan (linguistic). Hal ini terlihat paling menonjol berbagai penafsiran tersebut. Dari banyak pembahasan, pembahasan yang paling banyak dicantumkan ialah mengenai aspek bahasa atau kiraat yang diungkapkan oleh Abdurrauf as Singkili mengenai aspek kiraatnya[23].

Dalam menafsirkan QS. Al Baqarah ayat 184 misalnya,  as Singkili merespons keadaan ketika itu. Penafsiran kata safar dengan makna “berlayar” menunjukkan bahwa kondisi masyarakat lebih banyak melakukan perjalanan dengan berlayar, bukan dengan perjalanan darat. Hal ini sesuai dengan letak geografis Kesultanan Aceh yang dekat dengan Samudera Hindia. Melalui penafsiran ayat ini jelas sekali as Singkili memberikan sumbangsih pemikiran sesuai dengan zamannya, meskipun penjelasan tersebut sangat ringkas[24].

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 282

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا تَدَايَنۡتُمۡ بِدَيۡنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكۡتُبُوۡهُ‌ؕ  ‌ؕ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبٌۢ بِالۡعَدۡلِ‌ ۚ وَلَا يَاۡبَ كَاتِبٌ اَنۡ يَّكۡتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ‌ فَلۡيَكۡتُبۡ ‌ۚوَلۡيُمۡلِلِ الَّذِىۡ عَلَيۡهِ الۡحَـقُّ وَلۡيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡـــًٔا ‌ؕ فَاِنۡ كَانَ الَّذِىۡ عَلَيۡهِ الۡحَـقُّ سَفِيۡهًا اَوۡ ضَعِيۡفًا اَوۡ لَا يَسۡتَطِيۡعُ اَنۡ يُّمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهٗ بِالۡعَدۡلِ‌ؕ وَاسۡتَشۡهِدُوۡا شَهِيۡدَيۡنِ مِنۡ رِّجَالِكُمۡ‌ۚ فَاِنۡ لَّمۡ يَكُوۡنَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٌ وَّامۡرَاَتٰنِ مِمَّنۡ تَرۡضَوۡنَ مِنَ الشُّهَدَآءِ اَنۡ تَضِلَّ اِحۡدٰٮهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحۡدٰٮهُمَا الۡاُخۡرٰى‌ؕ وَ لَا يَاۡبَ الشُّهَدَآءُ اِذَا مَا دُعُوۡا ‌ؕ وَلَا تَسۡـــَٔمُوۡۤا اَنۡ تَكۡتُبُوۡهُ صَغِيۡرًا اَوۡ كَبِيۡرًا اِلٰٓى اَجَلِهٖ‌ؕ ذٰ لِكُمۡ اَقۡسَطُ عِنۡدَ اللّٰهِ وَاَقۡوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدۡنٰۤى اَلَّا تَرۡتَابُوۡٓا اِلَّاۤ اَنۡ تَكُوۡنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيۡرُوۡنَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ اَلَّا تَكۡتُبُوۡهَا ‌ؕ وَاَشۡهِدُوۡۤا اِذَا تَبَايَعۡتُمۡ ۖ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيۡدٌ ؕ وَاِنۡ تَفۡعَلُوۡا فَاِنَّهٗ فُسُوۡقٌ ۢ بِكُمۡ ؕ وَ اتَّقُوا اللّٰهَ‌ ؕ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ‌ ؕ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيۡمٌ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apa-bila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu[25].

Tentang kedudukan saksi dalam transaksi hutang dalam ayat di atas, As Singkili menafsirkan potongan ayat tersebut sebagaiberikut:

Dipersaksikan oleh kamu hutang itu akan dua orang saksi daripada laki-laki kamu. Maka jika tiada akan dua saksi itu laki-laki, maka seorang laki-laki serta dua orang perempuan daripada dua jenis orang yang kamu ridhai. Karena tatkala lupa salah seorang daripada keduanya maka memberi ingat yang ingat itu akan yang lupa…”

Pada dasarnya tafsir  As Singkili sama dengan ulama tafsir lainnya, tidak banyak berbeda. Sebagai contoh, tafsir lbnu Katsir sebagai berikut:

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antara kalian). (al-baqarah: 282)
ayat ini memerintahkan mengadakan persaksian di samping tulisan untuk lebih memperkuat kepercayaan.

فَإِنْ لَمْ يَكُونا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتانِ

Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan. (Al-Baqarah:282)
Hal ini berlaku hanya dalam masalah harta dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Sesungguhnya persaksian wanita diharuskan dua orang untuk menduduki tempat seorang lelaki, hanyalah karena akal wanita itu kurang. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرو، عَنِ المَقْبُري، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: “يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الِاسْتِغْفَارَ، فَإِنِّي رأيتكُن أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ”، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلة: وَمَا لَنَا -يَا رَسُولَ اللَّهِ -أَكْثَرُ أَهْلِ النَّارِ ؟ قَالَ: “تُكْثرْنَ اللَّعْنَ، وتكفُرْنَ الْعَشِيرَ، مَا رأيتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِي لُب مِنْكُنَّ”. قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ؟ قَالَ: “أَمَّا نُقْصَانُ عَقْلِهَا فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدل شَهَادَةَ رَجُلٍ، فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ، وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي لَا تُصَلِّي، وَتُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ، فَهَذَا نُقْصَانُ الدين

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ja’far, dari Amr ibnu Abu Amr, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Hai semua kaum wanita, bersedekahlah dan banyaklah beristigfar, karena sesungguhnya aku melihat kalian adalah mayoritas penghuni neraka. Lalu ada salah seorang wanita dari mereka yang kritis bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa kami adalah kebanyakan penghuni neraka?” Nabi Saw. menjawab, “Kalian banyak melaknat dan ingkar kepada suami. Aku belum pernah melihat orang (wanita) yang lemah akal dan agamanya dapat mengalahkan orang (lelaki) yang berakal selain dari kalian.” Wanita itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan lemah akal dan agamanya itu?” Nabi Saw. bersabda, “Adapun kelemahan akalnya ialah kesaksian dua orang wanita mengimbangi kesaksian seorang lelaki, inilah segi kelemahan akalnya. Dan ia diam selama beberapa malam tanpa salat serta berbuka dalam bulan Ramadan (karena haid), maka segi inilah kelemahan agamanya.”

مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَداءِ

dari saksi-saksi yang kalian ridai. (Al-Baqarah: 282)
Di dalarn ayat ini terkandung makna yang menunjukkan adanya persyaratan adil bagi saksi. Makna ayat ini bersifat muqayyad (mengikat) yang dijadikan pegangan hukum oleh Imam Syafii dalam menangani semua kemutlakan di dalam Al-Qur’an yang menyangkut perintah mengadakan persaksian tanpa syarat. Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang menolak kesaksian seseorang yang tidak dikenal. Untuk itu ia mempersyaratkan, hendaknya seorang saksi itu haras adil lagi disetujui.

Firman Allah Swt:

أَنْ تَضِلَّ إِحْداهُما

Supaya jika seorang lupa. (Al-Baqarah: 282)
Yakni jika salah seorang dari kedua wanita itu lupa terhadap kesaksiannya,

فَتُذَكِّرَ إِحْداهُمَا الْأُخْرى

maka yang seorang lagi mengingatkannya. (Al-Baqarah: 282)
Maksudnya, orang yang lupa akan diingatkan oleh temannya terhadap kesaksian yang telah dikemukakannya. Berdasarkan pengertian inilah sejumlah ulama ada yang membacanya fatuzakkira dengan memakai tasydid. Sedangkan orang yang berpendapat bahwa kesaksian seorang wanita yang dibarengi dengan seorang wanita lainnya, membuat kesaksiannya sama dengan kesaksian seorang laki-laki; sesungguhnya pendapat ini jauh dari kebenaran. Pendapat yang benar adalah yang pertama[26].

Demikian juga dalam tafsir Jalalain, Al-Mahally & as-Suyuthi menafsirkan potongan ayat 282 surat al Baqarah mengenai eksistensi saksi dalam transaksi hutang piutang sebagai berikut:

“Dan hendaklah persaksikan utang itu dilakukan oleh dua orang saksi di antara laki-lakimu, artinya dua orang Islam yang telah baligh dan merdeka. Jika keduanya itu bukan, yakni kedua saksi itu dua orang laki-laki, maka seorang laki-laki dan dua orang perempuan, boleh menjadi saksi di  antara saksi-saksi yang kamu sukai di sebabkan agama dan kejujurannya. Saksi-saksi wanita jadi berganda ialah Supaya jika yang seorang lupa, akan kesaksian disebabkan kurangnya akal dan lemah ingatan mereka, Maka yang lain-yakni yang ingat-akan mengingatkan kawannya), yakni yang lupa”[27].

Dapat disimpulkan dari ketiga tafsir yang penulis muat di atas, bahwa ketiganya menafsirkan bahwa adanya perintah untuk menghadirkan dua orang Saksi laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan jika hendak melakukan transaksi hutang piutang. Sedikit hal yang membedakan adalah pertama, Al-Mahally & as-Suyuthi memberi penjelasan bahwa yang dimaksud Dua orang saksi di antara laki-lakimu, artinya adalah dua orang Islam yang telah baligh dan merdeka, sementara Ibnu Katsir dan As Singkili tidak memberi penjelasan tentang itu. Kedua, dalam Jalalain dan Ibnu Katsir menjelaskan alasan kelemahan daya ingat perempuan sehingga kesaksian dua orang perempuan berbanding dengan seorang laki-laki, sedangkan Turjuman tidak menjelaskan alasan seperti itu.

Patut dimaklumi, mengapa As Singkili tidak menjelaskan alasan mengapa perempuan berbanding dua dari laki-laki dalam hal kesaksian sebagaimana alasan-alasan yang diungkap kedua Penafsir lainnya. Sebabnya adalah As Singkili menulis Turjuman al Mustafid di wilayah kerajaan Aceh yang saat diduduki oleh Sultanah Syafiatuddin. Bahkan, saat itu As-Singkili didapuk sebagai seorang mufti yang tentunya mengakui kepemimpinan perempuan[28]. Pengakuan as-Singkili tersebut juga diamini oleh Nuruddin ar-Raniri dan Syekh Abdur Rauf al-Fansury[29].

Seputar Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah

Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) adalah kumpulan aturan yang berisi rujukan dalam transaksi bisnis berdasarkan prinsip syariah. Lahirnya KHES merupakan suatu terobosan yang merefleksi sebuah aturan untuk mewujudkan harapan masyarakat khususnya umat islam sebagai rakyat terbanyak di Indonesia begitupun adanya Undang-Undang Nomor 21 TAHUN 2008 Tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)[30].

Lahirnya KHES bertujuan untuk kelancaran pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah sebagaimana dimaksud Pasal 49 huruf (i) beserta Penjelasan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syari’ah Negara, Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah, perlu dibuat pedoman bagi hakim mengenai hukum ekonomi menurut prinsip syari’ah[31];

KHES adalah positifisasi aturan-aturan yang terdapat dalam fiqih ke dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, sebagaimana Undang-Undang Agraria Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Hukum Perkawinan, Kemudian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Sosialisasi KHI, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Haji, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Zakat dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA) yang memberi perluasan kompetensi materiil bagi Pengadilan Agama termasuk dalam ekonomi syariah[32].

Penyususna KHES mengacu kepada sumber-sumber hukum Islam yang sudah populer, dari sumber-sumber primer sampai sumber-sumber skunder. Artinya dalam perspektif fiqh mazhabi, KHES telah mengakomodir dari semua mazhab yang mempunyai metode istidlal yang berbeda-beda. Meskipun dalam wilayah ibadah mayorits umat Islam nusantara, bahkan Asia Tenggara menganut mazhab Syafi’I, tetapi dalam urusan muamalat cenderung berwarna eklektik. Kalau disadari banyak sekali praktek muamalat oleh umat Islam Indonesia ini yang mengacu kepada mazhab atau dalil yang lebih longgar, seperti mazhab Hanafi, Maliki dan ulama Hanabilah (bukan Imam Ahmad-nya), meskipun dalam urusan ibadah mengikuti—misalnya—mazhab Syafi’i yang cenderung ”rigit” dan terkenal metode ihtiyat-nya[33].

Menurut A. Djazuli, sebagaimana dikutip  sesuai sifatnya, KHES adalah kompilasi yang disusun dari berbagai sumber, baik dalam pada tataran syariah, fiqh, maupun qanun. Salah satu sumber penyusunan KHES ini adalah Majallatu al-Ahkam al-Adliyah, sebuah kitab undang-undang hukum perdata yang disusun pada zaman Turki Usmani, kemudian disesuaikan dengan kondisi kemoderenan dan ke-Indonesiaan. Kontekstualisasi semacam ini memang patut dilakukan, mengingat fiqh dapat berubah seiring perubahan waktu, tempat, keadaan, niat dan kebiasaan (adat-istiadat). Asas fleksibilitas fiqh ini dibahas secara khusus dalam I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al- ‘Âlamîn, yakni sebagai berikut:

 تغير انفتىي واختالفها بحسب تغير األزمنة واألمكنة واألحىال واننيات وانعىائد

Artinya: Perubahan dan perbedaan fatwa (pendapat hukum) disebabkan oleh perbedaan waktu, tempat, keadaan, niat dan adat-istiadat[34].

KHES dibentuk melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008. Dalam sistem hukum di Indonesia, sesuai Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011[35],  Peraturan Mahkamah Agung sejenis Peraturan Perundang-undangan yang merupakan produk lembaga yudikatif yang berfungsi sebagai penyelenggara fungsi peradilan, fungsi pengawasan, fungsi mengatur, fungsi nasihat, dan fungsi administrative. Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Dengan demikian, meski Peraturan Mahkamah Agung tidak termasuk dalam hirarki peraturan perundangundangan, namun mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan regelling dapat berupa legislative act atau executive act dan Peraturan Mahkamah Agung merupakan executive act dimana Mahkamah Agung memeliki kewenangan membentuk Peraturan.

KHES terdiri dari 4 buku dengan 845 pasal[36]. Buku I membahas tentang Subjek Hukum dan Amwal. Terdiri dari 3 BAB yang meliputi Ketentuan Umum, Subyek Hukum dan Amwal. Buku II membahas tentang Akad dengan 29 BAB yang meliputi Ketentuan Umum, Asas Akad, Rukun, syarat, Kategori Hukum, ‘Aib, Akibat, dan Penafsiran Akad, Bai’, Akibat Bai’, Syirkah, Mudharabah, Muzara’ah Dan Musaqah, Khiyar, Ijarah, Kafalah, Hawalah, Rahn, Wadi’ah, Gashb Dan Itlaf, Syirkah, Wakalah, Sulh, Pelepasan Hak, Ta’min, Obligasi Syariah Mudharabah, Pasar Modal, Reksadana Syariah, Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah (SBI Syari’ah), Obligasi Syariah, Pembiayaan Multi Jasa, Qardh, Pembiayaan Rekening Koran Syariah, Dana Pensiun Syariah. Buku III membahas tentang Zakat Dan Hibah, terdiri dari empat BAB yang melingkupi Ketentuan Umum, Ketentuan Umum Zakat, Harta Yang Wajib Dizakati, Hibah. Buku IV membahas tentang Akuntansi Syari‘Ah terdiri dari 7 BAB meliputi Cakupan Akuntansi Syari‘ah,  Akuntansi Piutang, Akuntansi Pembiayaan, Akuntansi Kewajiban, Akuntansi Investasi Tidak Terikat, Akuntansi Equitas, Akuntansi Zis Dan Qardh[37].

Penggunaan Saksi Dalam Akad-Akad Yang Mengandung Unsur Hutang Dalam KHES

            Dalam tafsirnya terhadap ayat 282 surat al Baqarah, asSingkili mengungkapkan adanya perintah untuk menghadirkan dua orang Saksi laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan jika hendak melakukan transaksi hutang piutang. Adanya perintah menghadirkan Saksi dalam ayat tersebut ditunjukkan oleh redaksi amar dalam potongan kalimat “وَاسۡتَشۡهِدُوۡا شَهِيۡدَيۡن”.

            Perintah (amar) difahami sebagai perkataan yang mengandung tuntutan pekerjaan dari orang yang memiliki otoritas lebih tinggi[38]. Dalam al Qur’an perintah dapat berbentuk kata amara, kutiba, redaksi pemberitaan namun yang dimaksud perintah, Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara langsung, Perintah dengan memakai kata kerja mudhari’ yang disertai oleh lam al amr, faradha, Perintah dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu adalah baik serta Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya[39]. Makna/pengertian yang cepat ditangkap dari lafadz amar (perintah) ialah ijab artinya tuntutan wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan dari pada tidak mengerjakan. Tuntutan wajib pada lafadz perintah dapat dilihat dari kaidah yang menyebutkn bahwa Perintah itu pada dasarnya harus (wajib) dilakukan ((الاصل فى الامر للوجوب. Namun terkadang lafadz amar mengandung makna kebolehan (ibahah), ancaman (tahdid), sunnah, memuliakan (ikram), persamaan, penghinaan, melemahkan, nikmat (imtinan), penciptaan, penyerahan (tafwidh), mendustakan, sedih (talhif), permohonan (do’a)[40].

Dalam konteks maqasidusysyar’iyah perintah menghadirkan saksi dalam transaksi hutang piutang mengandung tujuan untuk menghindari praktek penipuan dan wanprestasi. Mencegah timbulnya penipuan dan wan prestasi dalam transaksi hutang piutang merupakan tujuan dari syari’at dalam bentuk menjada harta (حفظ (المال , sehingga dapat disimpulkan bahwa dari perintah menghadirkan saksi yang ditafsirkan oleh asSingkili dari surat al Baqarah:282  mengandung hukum wajib.

Terdapat beberapa akad yang diatur oleh KHES yang mengandung unsur hutang-piutang. Pasal 20 ayat 30 KHES menyebutkan bahwa Hisab mudayyan/piutang adalah tagihan yang timbul dari transaksi jual-beli dan atau ijarah berdasarkan akad murabahah[41], salam[42], istisna[43], dan atau ijarah[44]. Keempat akad tersebut merupakan transaksi jual beli dengan pembayaran non tunai. Meskipun hutang piutang bukan menjadi akad utama, namun setiap akad yang mengandung  transaksi hutang piutang tetap harus memenuhi rukun dan syarat yaang ditetapkan KHES.

Pasal 22-24 KHES menyebutkan rukun dan syarat aqad adalah adanya pihak-pihak yang berakad, obyek akad, tujuan-pokok akad dan kesepakatan. Pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak[45]. KHES tidak menjadikan saksi syarat dan rukun dalam transaksi hutang piutang. Meski tidak mencantumkan Saksi sebagai  syarat atau rukun akad, akan tetapi ketentuan tersebut menjadikan kesepakatan sebagai syarat dan rukun akad. Dalam praktek perbankan, pembuatan akad kesepakatan harus dilakukan secara tertulis sebagaimana ketentuan pada Pasal 1 Ayat 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

Untuk melindungI pihak-pihak yang berakad, penulisan akad perbankan syari’ah lazimnya dilakukan dalam bentuk akta otentik yang dibuat notaris. Secara teoritis Akta otentik adalah surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian. Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya surat itu tujuannya adalah untuk pembuktian dikemudian hari jika terjadi sengketa[46]. Sementara secara normatif, KUH Perdata dalam Pasal 1868 menyebutkan bahwa “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”[47].

Pembacaan akta notaris sebagaimana ketentuan Pasal 40 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, harus disaksikan oleh dua orang saksi[48]. Saksi yang dimaksud dalam ketentuan tersebut harus paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau sebelumnya telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa yang digunakan dalam Akta, dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf, tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak, harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap dan Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam Akta[49]. Ketentuan mengenai saksi sebagaimana yang disyaratkan dalam pembuatan akta notaris di atas jauh lebih banyak jika dibandingkan syarat-syarat saksi dalam akad yahg dikenal dalam Islam, maupun syarat saksi dalam persidangan perdata sekalipun.

KESIMPULAN

  1. Menurut asSingkili dalam kitab tafsir Turjuman Mustafidnya menyebutkan bahwa ayat 282 surat al Baqarah mengandung perintah menghadirkan dua orang saksi laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan dalam setiap transaksi hutang piutang.
  2. Dalam pandangan ushul fiqh, perintah menghadirkan dua orang saksi laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan dalam setiap transaksi hutang piutang adalah kewajiban yang dapat mempengaruhi keabsahan transaksi.
  3. Akad murabahah, salam, istisna dan ijarah yang ditetapkan dalan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah mengandung transaksi hutang piutang.
  4. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah tidak menjadikan saksi sebagai syarat dan rukun akad.
  5. Bahwa dalam praktek akad perbankan syari’ah lazimnya dilakukan secara tertulis yang dibuat dalam bentuk akta otentik yang dibuat oleh notaris.
  6. Pembacaan akta oleh notaris harus disaksikan oleh saksi;
  7. Meski secara eksplisit dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah tidak mensyaratkan saksi, namun norma kewajiban saksi dalam transaksi hutang piyutang yang terkandung dalam ayat 282 surat al Baqarah yang ditafsirkan oleh as Singkili dalam prakteknya telah terpenuhi melalui pembuatan akta perbankan syari’ah dalam bentuk akta otentik oleh notaris.

Daftar Pustaka

Abu Bakar, Aliyasa. ‘Manuskrip Tanoh Abee: Kajian Keislaman Di Aceh Masa Kesultanan,” Dalam Jurnal Pusat Pengkajian Dan Penelitian Kebudayaan Islam’ 2 (1992).

Al Mahalli, Imam Jalaluddin, and Imam Jalaluddin As Suyuti. Terjemahan Tafsir Jalalain. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2022.

Al-Qur’anulkarim. Sukoharjo: Toko Buku Arafah, 2021.

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII Dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesi. Jakarta: Kencana, 2004.

Elhas, Nashihul Ibad. ‘KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH (KHES) DALAM TINJAUAN UMUM HUKUM ISLAM’. Jurnal Al-Tsaman, n.d.

Fitriyana, Ida. ‘KEPASTIAN HUKUM AKAD SYARIAH YANG DIBUAT  DALAM BENTUK AKTA NOTARIS  (Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2014 Tentang  Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang  Jabatan Notaris)’. Supremasi Hukum 7 (June 2018): 72.

Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-282.html, n.d.

Irfanullah, Umilar, and Varidlo Fuad. ‘Jejak Moderasi Beragama Di Kesultanan Aceh  Di Bawah Pemerintahan Sultanah Safiatuddin’. Jurnal Tamaddun: Jurnal  Sejarah Dan Kebudayaan Islam 10 (2022). https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/tamaddun/article/view/10572.

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA, n.d.

KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARI’AH, n.d.

Kurdi, Muliadi. Abdurrauf As-Singkili Mufti Besar Aceh Pelopor Tarekat Syattariah Di Dunia Melayu,. Banda Aceh: Lembaga Naskah Aceh, 2017.

Mahkamah Agung Republik Indonesi. ‘Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah’. Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2008.

Miswanto, Agus. Ushul Fiqh Metode Istinbath Hukum Islam. Magelang: Unimma Press, 2019.

Mughits, Abdul. ‘Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah  (KHES) Dalam Tinjauan Hukum Islam’. Al-Mawarid, no. XVIII (2008): 154.

Mukti, Ali. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Depag RI, 1992.

Mulyati, Sri. Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi Tekemuka. Jakarta: Kencana, 2006.

Pangestuti, Yulisa Kirani Rizkiya, and Widya Lestari Ningsih. ‘7 Pahlawan Perempuan Dari Aceh’, Mei 2024. https://www.kompas.com/stori/read/2024/05/29/150000379/7-pahlawan-perempuan-dari-aceh?page=all.

Putra, Apriadi. ‘Khazanah Tafsir Melayu (Studi Kitab Tafsir Tarjuman Al- Mustafid Karya  Abd Rauf Al- Sinkili)’. Jurnal Syahadah II (2014): 72.

Rukiah, Abdullah, and Mahfusz Masduki. ‘KARAKTERISTIK TAFSIR NUSANTARA (Studi Metodologis Atas Kitab Turjumun al-Mustafid Karya Syekh Abdurrauf al-Singkili)’, n.d., 142.

Sa’diyah, Halima Tus, Sitti Lailatul Hasanah, Abdul Mukti Thabrani, and Erie Hariyanto. ‘Sejarah Dan Kedudukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Di Indonesia’. Al-Huquq: Journal of Indonesian Islamic Economic Law 3, no. 1 (27 July 2021): 96–118. https://doi.org/10.19105/alhuquq.v3i1.3460.

Subkhana, Azim. ‘Empat Sultanah Dalam Kerajaan Aceh  Darussalam (1641-1699 M)’. 2020.

Subroto, Lukman Hadi, and Nibras nada Nailufar. ‘4 Perempuan Pemimpin Kesultanan Aceh’. Kompas.Com, Agustus 2022. https://www.kompas.com/stori/read/2022/08/03/150000079/4-perempuan-pemimpin-kesultanan-aceh?page=all.

UIN Syarif Hidayatullah,. Ensiklopedia Tasawuf Jilid 1. Bandung: Angkasa, 2008.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan  Perundang-Undangan, n.d.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS, n.d.

 

[1] Penulis merupakan Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren

[2] Subroto and Nailufar.

[3] Yulisa Kirani Rizkiya Pangestuti and Widya Lestari Ningsih, ‘7 Pahlawan Perempuan Dari Aceh’, Mei 2024, https://www.kompas.com/stori/read/2024/05/29/150000379/7-pahlawan-perempuan-dari-aceh?page=all.

[4] Muliadi Kurdi, Abdurrauf As-Singkili Mufti Besar Aceh Pelopor Tarekat Syattariah Di Dunia Melayu, (Banda Aceh: Lembaga Naskah Aceh, n.d.), h.2.

[5] Aliyasa Abu Bakar, ‘Manuskrip Tanoh Abee: Kajian Keislaman Di Aceh Masa Kesultanan,” Dalam Jurnal Pusat Pengkajian Dan Penelitian Kebudayaan Islam’ 2 (n.d.), h.24.

[6] Apriadi Putra, ‘Khazanah Tafsir Melayu (Studi Kitab Tafsir Tarjuman Al- Mustafid Karya  Abd Rauf Al- Sinkili)’, Jurnal Syahadah II (2014): 72.

[7] Putra, h.73.

[8] UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Tasawuf Jilid 1 (Bandung: Angkasa, 2008).

[9] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII Dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesi (Jakarta: Kencana, 2004),h.245.

[10] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII Dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesi (Jakarta: Kencana, 2004),h.247.

[11] Azra,h.203-204.

[12] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi Tekemuka (Jakarta, 2006), h.103-106.

[13] Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII Dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesi, h.247.

[14] Abdullah Rukiah and Mahfusz Masduki, ‘KARAKTERISTIK TAFSIR NUSANTARA (Studi Metodologis Atas Kitab Turjumun al-Mustafid Karya Syekh Abdurrauf al-Singkili)’, n.d.

[15] Putra, ‘Khazanah Tafsir Melayu (Studi Kitab Tafsir Tarjuman Al- Mustafid Karya  Abd Rauf Al- Sinkili)’, h.262.

[16] Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII Dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesi, h.202-203.

[17] Putra, h.75.

[18] Putra, h.77.

[19] Rukiah and Masduki, ‘KARAKTERISTIK TAFSIR NUSANTARA (Studi Metodologis Atas Kitab Turjumun al-Mustafid Karya Syekh Abdurrauf al-Singkili)’.

[20] Rukiah and Masduki.

[21] Ali Mukti, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Depag RI, 1992).

[22] Rukiah and Masduki, ‘KARAKTERISTIK TAFSIR NUSANTARA (Studi Metodologis Atas Kitab Turjumun al-Mustafid Karya Syekh Abdurrauf al-Singkili), h.156.

[23] Rukiah and Masduki, h.156.

[24] Putra, ‘Khazanah Tafsir Melayu (Studi Kitab Tafsir Tarjuman Al- Mustafid Karya  Abd Rauf Al- Sinkili), h.78.

[25] Al-Qur’anulkarim (Sukoharjo: Toko Buku Arafah, 2021):48.

[26] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir (http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-282.html, n.d.).

[27] Imam Jalaluddin Al Mahalli and Imam Jalaluddin As Suyuti, Terjemahan Tafsir Jalalain (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2022):156-157.

[28] Umilar Irfanullah and Varidlo Fuad, ‘Jejak Moderasi Beragama Di Kesultanan Aceh  Di Bawah Pemerintahan Sultanah Safiatuddin’, Jurnal Tamaddun: Jurnal  Sejarah Dan Kebudayaan Islam 10 (2022), https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/tamaddun/article/view/10572.

[29] Azim Subkhana, ‘Empat Sultanah Dalam Kerajaan Aceh  Darussalam (1641-1699 M)’ (UIN Sunan Ampel, 2020).

[30] Halima Tus Sa’diyah et al., ‘Sejarah Dan Kedudukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Di Indonesia’, Al-Huquq: Journal of Indonesian Islamic Economic Law 3, no. 1 (27 July 2021): 96–118, https://doi.org/10.19105/alhuquq.v3i1.3460.

[31] Mahkamah Agung Republik Indonesi, ‘Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah’ (Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2008).

[32] Sa’diyah et al., ‘Sejarah Dan Kedudukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Di Indonesia’.

[33] Abdul Mughits, ‘Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah  (KHES) Dalam Tinjauan Hukum Islam’, Al-Mawarid, no. XVIII (2008): 154.

[34] Nashihul Ibad Elhas, ‘KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH (KHES) DALAM TINJAUAN UMUM HUKUM ISLAM’, Jurnal Al-Tsaman, n.d.

[35] Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan  Perundang-Undangan, n.d.

[36] Mughits, ‘Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah  (KHES) Dalam Tinjauan Hukum Islam’.

[37] KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARI’AH, n.d.

[38] Agus Miswanto, Ushul Fiqh Metode Istinbath Hukum Islam (Magelang: Unimma Press, 2019):58.

[39] Miswanto:58-61.

[40] Miswanto:61-65.

[41]  Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib almal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.

[42] Salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang pembayarannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.

[43] Istisna adalah jual-beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dengan pihak penjual.

[44] KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARI’AH.

[45] KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARI’AH.

[46] Ida Fitriyana, ‘KEPASTIAN HUKUM AKAD SYARIAH YANG DIBUAT  DALAM BENTUK AKTA NOTARIS  (Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2014 Tentang  Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang  Jabatan Notaris)’, Supremasi Hukum 7 (June 2018):72.

[47] KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA, n.d.

[48] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS, n.d.

[49] Lihat Pasal 40 ayat 2 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS.

Bagikan:

Tinggalkan komentar