Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren
Gunawan[1]
Abstrak
Gagasan pembaruan fiqih Indonesia belum memiliki manfaat yang siqnifikan bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Konsep-konsep pembaruan fiqih Indonesia yang dirumuskan oleh pemikir Islam dengan berbagai tema-tema, masih berkutat pada dialog-diolag, belum sampai pada terapan, sehingga belum memiliki kekuatan memaksa. Agar dapat memiliki daya paksa, konsep-konsep yang dihasilkan oleh pemikir Islam tadi harus melalui positifisasi ke dalam sistem hukum di Indonesia. Positifisasi hukum di Indonesia dalam bentuk undang-undang pada dasarnya merupakan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun belakangan, setidaknya dalam kurun waktu lima belas tahun terkahir, fungsi legislasi DPR dinilai berkinerja buruk dengan berbagai penyebabnya. Sementara semangat pembaruan fiqih Indonesia bagaikan semangat “45” tumbuh subur berkembang berganti generasi. Sejak diawali pencetusannya oleh Hasbi Ashshiddiqe, pembaru-pembaru fiqih Indonesia tidak putus melakukan pembaruan dengan pendekatan-pendekatan baru yang tidak digunakan pada priode awal dan pertengahan dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam. Jika awalnya pendekatan yang dilakukan dalam memahami Islam hanya terbatas pada normative dan historis yang berbasis pada subjek yaitu Allah SWT sebagai Syari. Namun saat ini, pendekatan-pendekatan yang dilakukan para pemikir Islam lebih beragam dan bersifat objektif dengan menjadikan manusia sebagai basisnya. Dengan Metodologi sosiologis, antropologis, pilosofis, psikologi, kebudayaan, lingkungan, politik, ekonomi, kesehatan dan multicultural, Para Pemikir Islam Indonesia berupaya mengakrabkan fiqih Indonesia dengan penggunanya. Sayangnya produk-produk fiqih yang dihasilkan dari gagasan-gagasan brilian Pemikir Indonesia tersebut belum banyak terkodifikasi ke dalam sistem hukum di Indonesia. Meski terdapat beberapa fiqih Indonesia yang telah terkodifikasi melalui yurisprudensi, namun belum menyentuh aspek-aspek yang lebih luas dan langsung bersinggungan dengan masyarakat. Dengan demikian, memperluas wilayah cakupan yurisprudensi Mahkamah Agung merupakan solusi atas kebuntuan proses legislasi di DPR terhadap fiqih Indonesia yang menjadi kebutuhan kaum muslim Indonesia. Kodifikasi fiqih Indonesia melalui yurispudensi juga dapat menutup celah-celah kekosongan hukum yang selama ini meluas akibat mandeknya legislasi oleh legislator.
Keyword: Kodifikasi, Fiqih, Yurisprudensi
PENDAHULUAN
Hukum selalu tertinggal di belakang realitas sosial. Ketertinggalan tersebut semakin jauh kita Dewan Perwakilan Rakyat, pemegang hak legeslatif memiliki kinerja buruk. Factor internal maupun eksternal DPR, menghambat pembangunan hukum di Indonesia. Belum lagi orientasi eksekutif yang lebih mengedepankan pembangunan fisik ketimbang pembangunan insprastruktus hukum, menambah beban hambatan DPR untuk membangun sistem hukum yang dapat menopang keberhasilan pembangunan yang bersifat fisik.
Di dunia Islam lazim diperdengarkan sebuah kaidah yang menyebutkan bahwa perubahan hukum tergantung perubahan waktu dan tempat. Kaidah tersebut memberikan pengertian bahwa hukum Islam memiliki sifat adaptable dan fleksibel terhadap perobahan masyarakat yang meliputi faktor; ekonomi, politik, budaya, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh di tengah masyarakat. Dalam pandangan ulama ushul fiqih kaidah tersebut mengindikasikan adanya hubungan antara hukum Islam dan masyarakat. Kaidah tersebut juga merupakan alasan pembenar bahwa perspektif sosial harus menjadi dasar setiap perkembangan hukum.
Persoalan masyarakat selalu bertumbuh dengan cepat, sehingga menumbuhkan kesadaran bagi para ahli hukum Islam bahwa fiqih yang ada selama ini telah jauh tertinggal. Kesadaran ini memacu para pemikir Islam untuk menggagas fiqih Indonesia yang relevan dengan zaman. Dengan konsep “madzhab nasional”nya, Hasbi Ashshiddiqie mengawali pembaruan fiqih dalam konteks keIndonesiaan. Kemudian diikuti oleh pemikir-pemikir Islam diantaranya Hazairin, Munawir Sjadzaly dan Abdurrahman Wahid dengan pendekatan-pendekatan yang berbeda. Hingga kini perkembangan pemikiraan pembaruan Islam tumbuh secara signifikan, ditandai dengan banyaknya bermunculan pemikir Islam yang konsen dengan pembaruan fiqih. Sayangnya, tingginya geliat pemikiran pembaruan fiqih tersebut tidak diimbangi dengan kodifikasi dalam sistem hukum di Indonesia, sehingga konsep-konsep pembaruan fiqih banyak yang terhenti pada tataran konsep, namun lenyap dalam praktek, sebab tidak diikat oleh ketentuan hukum positif.
Yurisprudensi Mahkamah Agung yang memiliki kedudukan sebagai sumber hukum dapat dijadikan solusi untuk mandeknya kodifikasi positifisasi hukum Islam di Indonesis. Meski telah terdapat beberapa fiqih Indonesia yang telah menjadi yurisprudensi, akan tetapi tema-temanya baru terbatas pada tema perkawinan, waris, wasiat dan wakaf. Sementara kodifikasi pembaruan fiqih melalui yurispudensi dengan tema-tema yang lebih luas seperti sosial, gender, lingkungan, budaya yang memiliki kecentrungan dengan Islam, belum terjamah.
Dengan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan dalam tulisan ini yaitu apa saja faktor lambatnya pembangunan hukum di Indonesia? Bagaimana eksistensi fiqih Indonesia? Apa saja tema-tema fiqih Indonesia yang telah menjadi yurisprudensi? Dan bagaimana peluang kodifikasi fiqih Indonesia melalui yurisprudensi? Dengan pendekatan normative berupa peraturan perundang-undangan, historis dan konseptual, tulisan ini mencoba menggali data dari sumber primer berupa buku dan jurnal. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penulis mencoba menemukan kerangka teoritis, terkait asas hukum, konsep hukum dan doktrin.
PEMBAHASAN
GAGALNYA DPR MENGISI KEKOSONGAN HUKUM
Dalam gagasan politik, Indonesia menganut konsep trias politica. Konsep ini ditelurkan oleh John Locke, seorang filsuf Inggris untuk selanjutnya dikembangkan oleh Montesquieu dalam bukunya yang berjudul “L’Esprit des Lois”[2]. Istilah trias politica berasal dari bahasa Yunani yang artinya “politik tiga serangkai”. Dikembangkannya konsep ini bertujuan untuk mencegah kekuasaan negara yang bersifat absolut[3]. Secara sederhana trias politika adalah konsep politik yang berarti pemisahan kekuasaan[4]. Kamus Hukum mendefenisikan Triaspolika merupakan tiga kekuasaan politik, yaitu kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan membuat undang-undang; kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan melaksanakan undang-undang; dan kekuasaan yudikatif sebagai kekuasaan mengadili[5].
Di Indonesia penerapan konsep trias politika tergambar dalam kekuasaan tiga lembaga tinggi Negara yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Kekuasaan Legislatif (Legislative Power) adalah kekuasaan membuat undang-undang. Kekuasaan untuk membuat undan-undang harus terletak dalam suatu badan khusus untuk itu. Jika penyusunan undang – undang tidak diletakkan pada suatu badan tertentu, maka akan mungkin tiap golongan atau tiap orang mengadakan undang-undang untuk kepentingannya sendiri. Di Indonesia terdapat 3 lembaga yang diberi kewenangan, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kekuasaan “Eksekutif” adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang. Kekuasaan melaksanakan undang-undang dipegang oleh Kepala Negara. Kepala Negara tentu tidak dapat dengan sendirinya menjalankan segala undang-undang ini. Untuk pemegang kekeuasaan ini di Indonesia adalah presiden. Kekuasaan Yudikatif atau Kekuasaan Kehakiman(Yudicative Powers adalah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyatnya. Badan Yudikatif adalah yang berkuasa memutus perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan dan dijalankan[6]. Di Indonesia fungsi badan ini dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK)[7].
Legislasi berasal dari kata legislation yang berarti pembuat undang-undang, perundang-undangan[8]. Legislasi merupakan proses pembuatan hukum dalam rangka melahirkan hukum positif, yang tahapannya dimulai dari perencanaan pembuatan hukum, penyusunan, formulasi, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan sosialisasi produk hukum[9].
Dalam satu dekade belakangan, banyak pihak yang mengeluhkan lambannya kinerja DPR dalam menyelesaikan Prolegnas (program legislasi nasional). Sebagai contoh, Kapolri Jenderal Tito Karnavian meminta DPR segera menuntaskan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jika DPR tak sanggup, Tito meminta Presiden Joko Widodo langsung mengambil sikap[10]. Hukum Online mencatat “Sepanjang Januari-Desember 2023, tercatat DPR hanya merampungkan 5 RUU dari daftar Prolegnas prioritas. Membandingkan dengan capaian kinerja legislasi di periode 2022, tak jauh lebih baik. Sebab terdapat 9 RUU yang berhasil dirampungkan pembahasannya hingga disetujui menjadi UU dalam rapat paripurna di penghujung 2022”[11]. Demikian juga Metrottv menyebutkan bahwa “Dari 222 RUU yang masuk dalam prolegnas DPR, setidaknya sebanyak 39 RUU menjadi program legislasi, nasional prioritas, pada 2023 ini. Namun dari 39 RUU tersebut belum ada satupun yang terselesaikan[12]”.
Kinerja legislasi DPR saat ini berbanding terbalik dengan kinerja legislator saat awal-awal kemerdekaan. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berfungsi sebagai parlemen Indonesia pada awal kemerdekaan berhasil mengesahkan dan mengundangkan 133 Undang-Undang selama kurun waktu empat tahun (1945-1949)[13]. Dewan Perwakilan Rakyat Sementara selam priode 1950-1956 telah berhasil mengesahkan 167 Undang-Undang. Dan DPR hasil Pemilu 1955 selama tiga tahun masa baktinya telah berhasil mengesahkan 113 Undang-Undang[14].
Menurut Abdul Bari Azed, beberapa faktor penyebab lemahnya kinerja legislasi DPR antara lain sebagai berikut:
- Konfigurasi politik di DPR yang lebih didominasi partai-partai yang tidak mendukung pemerintah niscaya menyebabkan penyelesaian sebuah RUU menjadi lambat, bahkan bisa berlarut-larut.
- DPR dalam melakukan pembahasan RUU kerap mengedepankan pertimbangan politik dibanding pertimbangan substansi isu dan materi RUU serta kepentingan rakyat.
- Sangat beragamnya aliran dan paham yang ada di DPR. Keragaman aliran dan paham yang tercermin dalam pengelompokan fraksi-fraksi di DPR menyebabkan munculnya beragam sikap dan pendapat terhadap isu dan materi RUU yang dibahas.
- Ketentuan pembentukan fraksi di DPR yang cukup longgar dan minimal menyebabkan DPR banyak terdiri dari fraksi-fraksi yang mempersulit dicapainya kesepakatan untuk sebuah isu atau materi RUU.
- Mekanisme pembahasan RUU yang panjang dan berjenjang di DPR menambah tingkat kesulitan untuk segera dicapainya kesepakatan seluruh fraksi di DPR.
- Ketentuan dan tradisi untuk mengupayakan sedapat mungkin dicapainya mufakat dalam rapat-rapat pembahasan RUU juga menyebabkan banyak waktu yang harus dipakai.
- Masih kurang optimalnya dukungan bagi para anggota DPR dalam bentuk ketersediaan tenaga ahli dalam jumlah cukup banyak dan memiliki keahlian dari berbagai latar belakang keilmuan dan pengalaman[15].
Secara lebih substantive, Bagir Manan juga mengkritisi sikap lamban DPR dalam membentuk Undang-Undang. Bagir manan menyatakan “Paling tidak hingga saat ini (2018: penulis), DPR tidak atau belum menunjukkan kapasitas sebagai tumpuan utama pembentukan undang-undang. Meskipun ada Badan Legislasi, ada “prolegnas”, tetapi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Anggota Badan Legislasi adalah anggota DPR yang harus menjalankan juga tugas-tugas lain. Prolegnas hanyalah semacam daftar dan sebagian berasal juga dari Pemerintah atau ke- sepakatan dengan kementerian-kementerian. Secara formal DPR dilekati dengan tenaga-tenaga ahli yang umumnya lebih menunjukkan diri sebagai staf pekerja, bukan ahli, baik ahli perundang-undangan maupun ahli untuk objek undang-undang tertentu. Anggota DPR terkesan tidak dipersiapkan atau menyiapkan diri sebagai pejabat pelaksana kekuasaan legislatif. Akibat ketidaksiapan tersebut, DPR lebih banyak menjalankan fungsi lain terutama yang disebut “fungsi pengawasan”. Sampai-sampai ada kerusuhan di sekolah menjadi objek pengawasan DPR. Akibat lain adalah rendahnya jumlah dan mutu undang-undang. Hampir setiap akhir tahun, beberapa media memuat rendahnya jumlah undang-undang yang dihasilkan DPR. Hampir setiap tahun prolegnas tidak pernah selesai sesuai dengan program. Begitu pula mutu. Berbagai undang-undang atau ketentuan dalam suatu undang-undang dibatalkan Mahkamah Konstitusi[16].
Bagir Manan mencatat permasalahan pokok sistem perundang-undangan di Indonesia. Pertama, Pengaruh pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang dari presiden ke DPR. Kedua, tidak ada satu politik hukum yang menyeluruh (meliputi semua sektor kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang salah satu penyebabnya adalah tidak ada lagi GBHN. Dan ketiga, sikap pemerintah yang lebih mengedepankan infrastruktur fisik, kemudahan investasi dan kepercayaan terhadap mekanisme sosial dan mekanisme ekonomi, ketimbang pambangunan hukum[17].
Di samping kelemahan yang disebut di atas, pembentukan hukum di Indonesia dihadapkan pada tantangan. Pertama, dihadapi berbagai disharmonisasi bahkan pertentangan antara berbagai sektor hukum satu sama lain. Kedua, mutu produk hukum yang tidak memadai, baik ditinjau dari segi-segi konstitusional maupun sebagai sarana meme- cahkan masalah. Ketiga; secara substantif, berbagai hukum baru kurang menunjang kepentingan membangun tatanan baru seperti tatanan ketata- negaraan, politik atau ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak. Keempat; salah kaprah fungsi DPR sebagai badan pembentuk undang-undang (badan legislatif). Pada negara-negara demokrasi, hanya dua kekuasaan atau fungsi badan legislatif yaitu kekuasaan membentuk undang-undang (legislative function), dan kekuasaan menetapkan anggaran yang lazim disebut hak anggaran atau hak budget (annual budget). Di Indonesia secara expressis verbis ditambah dengan kekuasaan atau fungsi kontrol[18].
Dengan adanya kelemahan dan tantangan, sehingga terdapat pertimbangan yang menjadikan urgensinya pembentukan hukum yang baru dalam sistem hukum Indonesia, yaitu: pertama, didapati berbagai asas dan kaidah yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan dasar-dasar baru Indonesia merdeka seperti dasar Pancasila, hukum untuk kesejahteraan umum, demokrasi, negara hukum, hak asasi, dan lain-lain. Kedua, telah ketinggalan, baik untuk keperluan domestik maupun untuk pergaulan inter nasional. Ketiga; perkembangan ilmu dan teknologi, globalisasi, dan lain-lain telah menghadirkan berbagai asas dan kaidah hukum baru seperti cyber law, law of the crime against humanity, the law against terrorism hukum mengenai tata cara menyele saikan sengketa atau pelanggaran di luar proses peradilan dan lain-lain. Keempat kedudukan dan tempat hukum dari berbagai lingkungan masyarakat hukum Indonesia sendiri c.q. hukum adat. Pada saat ini, baik atas alasan konstitusional, tuntutan politik, dan kenyataan sosial ada tuntutan agar hukum adat diberlakukan sebagai hukum khusus untuk lingkungan masyarakat hukum tertentu (tidak cukup apabila sekadar menjadi asas hukum nasional). Di masa kolonial, hal ini diselesai kan dengan sistem penggolongan penduduk dengan perbedaan hukum untuk masing-masing golongan. Politik hukum semacam itu tidak mungkin dihidupkan kembali, karena bertentangan dengan prinsip bangsa Indonesia adalah satu kesatuan yang tidak boleh dibeda-bedakan satu sama lain[19].
Padahal pembagunan hukum merupakan cita-cita pendiri bangsa ini. Beragam agama, suku, bangsa dan budaya hanya bisa dipersatukan dengan hukum. Cita-cita kodifikasi hukum di dalam pelaksanaannya amat berkaitan dengan pluralisme dan unifikasi hukum. Dalam artian bahwa di Indonesia berlaku berbagai bentuk hukum, yaitu hukum Negeri Belanda (Barat), hukum Islam, dan hukum Adat. Dan apakah para usahawan yang selalu memerlukan kepastian hukum itu selalu diuntungkan oleh sistem hukum Barat warisan kolonial, juga yang dibahas oleh Arbi Sanit. Arbi juga mengamati bahwa hingga saat ini, jika dibanding dengan unifikasi, kodifikasi hukum masih memerlukan upaya yang lebih keras[20].
Pemerataan kemakmuran dan keadilan harus didasari oleh kokohnya infrasturktur hukum di negeri ini. Pembangunan seluruh aspek-aspek hukum melalui kodifikasi peraturan perundang-undangan tidak boleh melambat apalagi berhenti. Hukum Indonesia harus terus berubah mengejar ketertinggalan. Menurut Satjipto Rahardjo, tata hukum di negeri kita adalah tata hukum yang sedang berada di tengah-tengah proses perubahan. Adanya perubahan itu karena ia dituntut untuk mengatur kembali hubungan dalam masyarakat yang sedang berubah. Lebih dari itu, keadaan “prismatis” masyarakat kita sangat mempengaruhi seberapa jauh kemampuan hukum modern bisa digunakan sebagai sarana efektif mengatur masyarakat[21].
Dengan rendahnya kinerja DPR saat ini, pembangunan hukum dalam bentuk perundang-undangan tidak dapat digantungkan kepada DPR. Dibutuhkan sebuah solusi sistemik untuk melakukan kodifikasi perkembangan pemikirian hukum di Indonesia. Sebagai, pemeluk terbesar di Indonesia, produk-produk pemikiran hukum Islam yang telah mampu mengejar perkembangan sosial tidak dapat dibiarkan begitu saja secara liar memasuki sel-sel syaraf otak para pemikir muslim di Indonesia, tanpa adanya kodifikasi.
EKSISTENSI FIQIH INDONESIA
Secara bahasa, fikih berarti paham, dalam arti pengertian atau pemahaman yang mendalam yang menghendaki pengerahan potensi akal. Para ulama usul fikih mendefinisikan fikih sebagai mengetahui hukum-hukum Islam (syarak) yang bersifat amali (amalan) melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Sedangkan para ulama fikih mendefinisikan fikih sebagai sekumpulan hukum amaliah (yang sifatnya akan diamalkan) yang di- syariatkan dalam Islam[22].
Dari definisi para ulama usul fikih terlihat bahwa fikih itu sendiri berarti melakukan ijtihad, karena hukum-hukum tersebut diistinbathkan dari dalil-dalilnya yang terperinci dan khusus, baik melalui nas atau melalui dalalah (indikasi) nas. Semua hal itu tidak dapat dilakukan kecuali melalui ijtihad. Sedangkan dari definisi para ulama fikih terlihat bahwa fikih merupakan syarak itu sendiri, baik hukum itu qat’i (jelas, pasti) atau zanni (masih agai bersifat dugaan, belum pasti), dan memelihara hukum furu’ (hukum tentang kewajiban agama yang tidak pokok) itu sendiri secara keseluruhan atau sebagian[23].
Fikih mengkaji setiap perbuatan mukalaf (orang dewasa yang wajib menjalankan hukum agama), yang terhadap perbuatannya itu ditentukan hukum apa yang harus dikenakan. Misalnya, jual-beli yang dilakukannya, salat, puasa, dan pencurian yang di- lakukannya. Jika jual-beli, salat, dan puasa yang dikerjakannya memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan Islam, maka pekerjaannya tersebut dikatakan sah. Sementara pencurian yang berlawanan dengan kebutuhan syarak dihukumkan haram dan wajib dikenakan hukuman pencurian. Dengan mengerjakan salat dan puasa berarti ia telah memenuhi kewajiban syarak. Dengan demikian, setiap perbuatan mukalaf yang merupakan objek fikih mempunyai nilai hukum[24].
Para ulama telah membagi hukum-hukum fikih tersebut sebagai berikut: (1) Hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah SWT, seperti salat, puasa dan haji; dinamakan dengan ibadah. (2) Hukum yang ber- kaitan dengan permasalahan keluarga, seperti nikah, talak, masalah keturunan, dan nafkah; disebut ahwal asy-syakhsiyyah. (3) Hukum yang berkaitan dengan hubungan antara sesama manusia dalam rangka memenuhi keperluan masing-masing yang berkaitan dengan masalah harta dan hak-hak; disebut muamalah. (4) Hukum yang berkaitan dengan perbuatan atau tindak pidana; disebut jinayah atau ‘uqūbah. (5) Hukum yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa antara sesama ma- nusia, dinamakan ahkām al-qadā’. (6) Hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dan warganya; disebut al-ahkam as-sultaniyyah atau siyasah asy-syar’iyyah. (7) Hukum yang mengatur hubungan antarnegara dalam keadaan perang dan damai; disebut siyār atau al-huqüq ad-dawliyyah. (8) Hukum yang berkaitan dengan akhlak, baik dan bu- ruk; disebut dengan adab[25].
Pertumbuhan dan perkembangan fikih sepanjang sejarah hukum Islam oleh Mustafa Zarqa dibagi dalam beberapa periode, yaitu: (1) periode risalah, yaitu semasa hidup Rasulullah SAW; (2) periode al-Khulafa’ ar-Ra- syidūn (empat khalifah besar/utama) sampai per- tengahan abad pertama Hijriah; (3) dari perte- ngahan abad pertama Hijriah sampai permulaan abad kedua Hijriah; (4) dari awal abad kedua sam- li pai pertengahan abad keempat Hijriah; (5) dari pertengahan abad keempat sampai jatuhnya Bagh- dad pada pertengahan abad ketujuh Hijriah; (6) dari pertengahan abad ketujuh sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah (Kodifikasi Hu- kum Perdata Islam) di zaman Turki Usmani (Kerajaan Ottoman) yang diundangkan tanggal 26 Syak- ban 1293; dan (7) sejak munculnya Majallah al- Ahkam al-‘Adliyyah sampai pada zaman modern[26].
Pada abad pertama Hijriyah/abad ketujuh atau kedelapan Masehi Islam telah memasuki nusantara langsung dari Arab melalui pesisir Sumatera[27]. Saifuddun Zuhri menyebutkan bahwa masuknya fikih ke Indonesia beriringan dengan kedatangan Islam tersebut. Berdasarkan historis, fiqih telah diajarkan pada masa Kerajaan Samudera Pasai sejak tahun 1.400 masehi[28]. Meski demikian , eksistensi pemikir Islam bidang fikih baru terekam pada abad ke-17, terbukti dengan lahirnya kitab-kitab fiqih tiga fuqaha’ nusantara, yaitu Nuruddin al-Raniri (w. 1659), Abdurrauf al-Sinkili (w. 1693), dan Yusuf al-Makasari (w. 1699)[29].
Sebagai sebuah produk intelektual, fiqih tidak dapat terhindar dari pasang surut dalam perkembangannya. Surutnya perkembangan fiqih, mengakibatkan fiqih tidak mampu menjawab persoalan budaya dan masyarakat Indonesia yang berwujud pada: 1) Fikih hanya diapresiasikan dalam bentuk seremoni ritual ibadah. 2) Bercorak satu mazhab. 3) Memperkeras taklid. 4) Larangan talfiq. dan 5) Larangan berijtihad (pintu ijtihad tertutup)[30]. Alasan-alasan tersebut memunculkan wacana pembaharuan fikih di Indonesia, mewacanakan fiqih yang mampu seiring sejalan bersama dengan tradisi dan kultur yang telah membumi di Indonesia.
Dalam kacamata sejarah, dialektika pemikiran hukum Islam di Indonesia telah melihatkan satu fenomena transformatif dan remedialis, meskipun masih terlihat kokoh nuansa paralisme di dalamnya, sehingga kesan tautology- nya masih ada. Paling tidak pemikiran pembaruan hukum Islam di Indonesia selayaknya bola salju yang berguling dan kencang dengan pasti mengarah pada bangunan berbagai tipe karakter hukum Islam konteks Indonesia[31].
Dalam kurun waktu yang lumayan lama, tepatnya 1948, wacana pembaruan Fiqih Indonesia tidak direspon secara positif bagi kaum muslim. Dengan artikel yang bertajuk “Menghidupkan Hukum Islam dalam Masyarakat” yang dipublikasikan oleh majalah Aliran Islam, Hasbi Assiddiqie berupaya menopang kembali tema pemikiran pembaruan hukum Islam. Dikatakan bahwa keberadaan hukum Islam pada wilayah praktis telah sampai pada tingkat dekadensi yang klinis, tampil bagai sosok yang terasing, tidak berarti dan berdaya guna, sebagai faktor inheren yang mengejawantah dari dan dijalankan oleh masyarakat. Kehadirannya tidak lagi dianggap ada oleh umat, karena tidak sanggup lagi mengakomodir berbagai tuntutan perubahan zaman[32].
Akhirnya pada 1961, saat perayaan ulang tahun pertama Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Hasbi Ashshiddiqie mendefenisikan Fiqih Indonesia dengan gamblang. Dalam pidato ilmiahnya yang berjudul “Syariat İslam Menjawab Tantangan Zaman”, ia secara tegas menyebutkan bahwa “Maksud untuk mempelajari syarİat Islam di Universitas-universitas Islam sekarang ini, supaya fiqih atau syari’at Islam dapat menampung seluruh kemaslahatan masyarakat dan dapat menjadi pendiri utama bagi perkembangan hukum-hukum di tanah air kita yang tercinta ini. Maksud kita supaya dapat menyusun suatu fıqih yang berkepribadian kita sendiri, sebagaimana sarjana-sarjana Mesir sekarang ini sedang berusaha me-Mesir-kan fıqihnya. Fiqih Indonesia ialah fiqih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan labi ‘m dan walak Indonesia[33].
Menurut Nourrouzzaman, sebagaiman dikutip Manan, Hasbi ash-Shiddieqy adalah orang pertama yang mengeluarkan gagasan agar fiqih yang diterapkan di Indonesia harus berkepribadian Indonesia dan untuk mewujudkan hal itu maka perlu dibuat kompilasi hukum Islam di Indonesia. Beliau mendirikan Lembaga Fiqih Islam Indonesia (LEFISI) yang berkedudukan di Yogyakarta. Lembaga ini telah banyak memberikan kontribusi dalam kajian perubahan hukum Islam yang bercorak Indonesia. Hasil kajian fiqih ini merupakan salah satu kajian lebih lanjut oleh maha- dalam kurun waktu 60-an. Hasbi ash-Shiddieqy, dalam rangka pembaruan hukum Islam di Indonesia perlu dilaksanakan metode talfiq dan secara selektif memilih pendapat mana yang cocok dengan kondisi negara Indonesia. Di samping itu, perlu digalakkan metode Komparasi, yaitu metode memperbandingkan satu pendapat dengan pendapat lain dari seluruh aliran hukum yang ada atau yang pernah ada, dan memilih yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran serta didukung oleh dalil yang kuat. Kajian komparasi ini hendaknya dilakukan juga antara fiqih dengan hukum adat dan hukum positif Indonesia, juga dengan syariah agama lain. Sehubungan dengan hal ini, seorang yang ingin melakukan kajian komparasi hendaknya mempunyai penge- tahuan yang luas dalam berbagai ilmu pengetahuan dan juga mengetahui secara lengkap tentang berbagai masalah fiqih[34].
Pembaruan Fiqih Hasbi bertolak prinsip masalah mursalah, keadilan, dan kemanfaatan, serta sadd azzari’ah. Metode istinbath hukum tersebut dipandang telah berhasil membawa ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat Islam. Maslahah mursalah menurut Hasbi mengumpamakan bahwa keberadaan sebuah hukum, esensinya bertujuan untuk menghasilkan kemaslahatan manusia baik dalam level primer, skunder dan tersier. Metode ini sama dengan siyasah syar’iyah dalam hal bahwa ia dimaksudkan sebagai kebijaksanaan untuk menjadikan masyarakat lebih dekat kepada kebaikan dan menjauhi segala keburukan dan kerusakan. Tegasnya menurut Hasbi bahwa berhujah dengan maslahah mursalah merupakan suatu kewajiban. Metode ini sesuai dengan keumuman syari’at, yang berarti menjadi landasan yang paling mungkin bagi perputaran dan berubahnya ketentuan hukum, sesuai konteks yang mengitarinya. Menafikan prinsip masalah mursalah berarti membekukan syari’at, sebab aneka maslahah yang terus muncul tidak dengan mudah dan terlalu sederhana jika dipandang dapat diselesaiakan dengan melandaskan pada dalil tenentu. Prinsip ini akan mampu memecahkan, probiem metodologi qiyas, yang aplikasinya terlalu rigid dan kaku, terjebak dalam kungkungan teks[35].
Terkait zakat, ijtihad Hasbi merujuk pada pendapat Abu Hanifah, yang berbeda dengan pendapat kebanyakan ulama. Menurut Hasbi bahwa mesin-mesin produksi di pabrik besar wajib dikeluarkan zakat. Pendapat ini memiliki relevansi dengan konteks pembangunanisme negara yang memerlukan modal yang besar, sehingga dapat diperuntukkan sebagai pembiayaan pembangunan pada sektor lain. Oleh karenya, menjadi urgen melakukan relevansi terhadap praktek pelaksanaan dan penyaluran zakat yang selama ini hanya bergulir pada orang-orang yang secara ekonomi lemah. Menurut Hasbi, pengelolaan zakat merupakan domain negara sehingga integrasi penyelenggaraan kepentingan dan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan bagi seluruh rakyat Indonesia, baik muslim maupun tidak. Dengan demikian kewajiban zakat sewajarnya harus diberlakukan untuk seluruh penduduk Indonesia. Dengan mengacu pada argumen, bahwa hukum zakat berlaku dalam setiap agama, dan bahwa Umar bin Khattab pernah memungut zakat atas golongan Nasrani nampaknya Hasbi tidak menarik garis demarkasi yang tegas antara zakat dan pajak. Asumsi ini menjadi valid dengan melihat pandangan lainnya tentang perlunya pemerintah membentuk lembaga khusus semacam dewan zakat (bait al-mal) yang berdiri sendiri, terlepas dari departemen keuangan atau instansi keuangan lainnya. Dalam hal ini terlihat kalau ia ingin memisahkan pengelolaan kekayaan hasil pungutan zakat dari kekayaan negara yang diperoleh bukan dari pajak. Jika demikian, persoalan yang belum dipecahkan Hasbi adalah tentang pungutan ganda zakat dan pajak, satu jenis pungutan dengan objek dan tujuan sama[36].
Setelah Hasbi Ashshiddiqie menjadi pelopor lahirnya pemikiran pembaruan hukum Islam dengan konsep “madzhab nasional”nya, selanjutnya bermunculan tokoh-tokoh dari generasi setelahnya yang mengikuti jejak Ashshiddiqie diantaranya adalah Hazairin, “pribumisasi hukum Islam” Abdurrahman Wahid, “reaktualisasi ajaran Islam” Munawir Sjadzali, dan “zakat sebagai pajak” Masdar F. Mas’udi[37]. Tokoh-tokoh tersebut memberikan tawaran gagasan metodologis yang beragam. Masing-masing Mereka mempunyai keunikan metodologis sendiri dan saling berbeda.
Tokoh-tokoh tersebut memiliki Cita-cita untuk menjadikan hukum Islam sebagai bagian integral dari sistem hukum Nasional yang terkodifikasi dalam hukum positif. Fiqih syafi’iyah yang dianut oleh umat Islam di Indonesia sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan umat Islam di Indonesia. Pergumulan para mujtahid klasik dengan konteks sosial politik sangat mempengaruhi hasil ijtihad, sehingga tidak cocok kalau dipaksakan dengan konteks sosial-budaya-politik dan adat yang berkembangan sekarang ini, sehingga diperlukan rekonstruksi dan reinterpretasi terhadap sumber hukum Islam yakni Al-Qur`an dan as- Sunnah sebagi sumber teks yang mampu menjawab perubahan dan perkembangan zaman[38].
Kini dialog-dialog fiqih keIndonesiaan sudah tidak lagi terbatas pada bidang ibadah dan keluarga saja, namun telah meluas ke bidang-bidang sosial, budaya, kesetaraan gender, lingkungan, kesehatan dan lainnya. Metodologi yang digunakan pun telah beragam, tidak terbatas pada pendekatan normatif dan historis, akan tetapi telah merambah pada metodologi yang telah jamak digunakan yaitu antropologi, sosiologis, pilosofis, psikologi, kebudayaan, lingkungan, politik, ekonomi, kesehatan dan lain sebagainya[39].
Yusdani[40] misalnya, dalam bukunya yang berjudul FIKIH INDONESIA (Tema Kajian, Nalar & Konstruksi Pemikiran) dan FIKIH INDONESIA (Kajian Gender, Lingkungan dan Budaya), menawarkan pembaruan pemikiran fiqih dengan latar Indonesia. Dengan menggunakan beragam metodologi yang diantanya adalah sosiologis dan antropologis, Yusdani dalam buku keduanya mencoba merekonstruksi pakem pemikiran fiqih yang selama ini berorientasi pada Syari’ namun abai terhadap manusia sebagai objek fiqih itu sendiri. Kajian mengenai aspek hukum keluarga dengan ragam variannya, ekonomi, pidana, kesetaraan gender, medis, teknologi, Negara dan politik serta ibadah[41] yang terdapat dalam buku tersebut seolah-olah menegaskan bahwa nash-nash suci dalam Islam yang kemudian memproduksi fiqih adalah untuk manusia. Sehingga pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan yang berorientasi kepada manusia, sehingga produk yang dihasilkan merupakan solusi bagi manusia.
Tawaran-tawaran pemikiran yang diberikan Yusdani dalam bidang kesetaraan gender seperti rekonstruksi budaya melalui pendidikan[42], upaya revisi secara sistematis peraturan perundang-undangan yang diskrimitaf[43], mendorong reinterpretasi ajaran agama dalam rangka mengeleminasi semua pemahaman keagamaan yang tidak kondusif[44]. Dalam aspek lingkungan, Yusdani menyebut kafir ekologis atau kufr al bi’ah bagi orang-orang yang merusak lingkungan[45]. Dan dalam aspek budaya, Yusdani mewarkan bahwa teks fiqih harus direposisi ketika berhadapan dengan budaya local denga cara memberikan ruang penafsiran yang memungkinkan ruang epistemis disediakan oleh budaya tersebut[46]. Merupakan bukti, jika Yusdani melalui buku tersebut mendekati Islam melalui pendekatan objektif, yaitu manusia. Tegasnya, kerangka metodologi pemikiran dalam merespons isu-isu keindonesiaan, fikih tidak cukup dilihat sebagai teks untuk menjawab persolan, melainkan bagaimana dikontekskan untuk menjawab persoalan sosial. Ia harus dilihat secara integratif dengan syariah, yakni maqasid syariah. Pemikiran ini pada gilirannya membawa konsekuensi lahirnya pemikiran untuk merubah paradigma fikih formalistik ke fikih etika. Dari sini lahirlah pemikiran fikih sebagai etika sosial, bukan hukum positif Negara[47].
Sementara, buku pertama Yusdani menurut penulis lebih kepada pengantar buku kedua. Buku pertama ini tidak banyak membahas kasus-kasus kekinian seperti buku kedua, tetapi lebih kepada pembangunan kerangka teoritis pembaruan fiqih dengan pendekatan-pendekatan objektif sebagai pisau bedahnya.
Dengan pendekatan kebahasaan, Yusdani mencoba mendudukkan defenisi “hukum Islam di Indonesia” dan “hukum Islam Indonesia. Meski hanya dipisahkan dengan imbuhan ‘di” kedua frasa tersebut memiliki perbedaan makna yang jauh. Point dari Frasa Hukum Islam di Indonesia adalah hukum Islamnya, sehingga memiliki arti hukum Islam yang diberlakukan di Indonesia. Sementara pada Frasa Hukum Islam Indonesia memiliki makna integrasi antara Islam dan Indonesia. Keduanya tidak memiliki batas-batas pemisah, sehingga mempunyai peran yang sama[48].
Teori lain yang ditawarkan oleh Ysdani adalah menjadinya relitas sosial sebagai fondasi fiqih Indonesia[49]. Dengan mengutip pidato KH. Sahal Mahfudz, Yusdani menyebutkan bahwa Fikih sosial mesti bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam. Pemecahan problem sosial berarti merupakan upaya untuk memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum (al- maslahah al-‘ammah). Kemaslahatan umum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriyahnya. Kebutuhan ini dapat berdimensi daruriyah atau kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal pikiran, jiwa, raga, nasab (keturunan) dan harta benda, maupun kebutuhan hajiah (sekunder) dan kebutuhan yang berdimensi takmiliyah atau pelengkap (suplementer)[50].
Hal yang paling menarik menurut penulis dari buku pertama Yusdani ini adalah ketika menggunakan multicultural sebagai pendekatan fiqih. Mengapa? Sebab pendekatan multicultural merupakan istilah yang lazim digunakan pada dunia pendidikan. Awalnya multicultural merupakan materi pendidikan, namun berkembang menjadi sebuah metodologi. Sebagai sebuah metodologi, multicultural diartikan sebagai sebuah Pendekatan yang focus pada pengenalan dan hidup berdampingan dengan perbedaan budayaa namun dalam bingkai prinsip kesetaraan bagi setiap individunya[51].
Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat majemuk, dengan beragam sosial budaya, agama, kesukuan, dan ideologis[52], memerlukan watak fiqih yang dinamis. Fikih layaknya tumbuh sebagai organisme yang hidup, mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal, harapan dan problem yang dihadapinya, di dalam merumuskan hukum agama tanpa harus mengubah inti dasar ajarannya karena itu, Fikih multikultural memiliki dua fungsi sekaligus. Di satu sisi ia melestarikan segi positif dari tradisi dan kepercayaan kultural serta peradaban Islam yang telah merentang selama berabad-abad. Di sisi lain ia mengubah unsur-unsur destruktif dari keduanya dan kemudian mengarahkannya pada cita-cita pemenuhan harkat kemanusiaan[53].
Meski kodifikasi terhadap upaya pembaruan fikih Indonesia belum memuaskan, namun usaha tokoh – tokoh terdahulu dan kekinian tersebut harus mendapatkan apresiasi setinggi-tingginya karena telah mampu memberikan angin segar bagi pembangunan pembaruan fiqih Indonesia ke dalam sistem hukum Indonesia. Dengan dikodifikasinya fiqih-fiqih Indonesia ke dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, maka peluang untuk mengkodifikasi pemikiran-pemikiran fiqih kontemporer yang dibutuhkan oleh masyarakat kedepan dapat tetap terjaga.
FIQIH INDONESIA YANG TELAH TERKODIFIKASI
Di dunia Islam, pembangunan pembaruan fiqih dilakukan dengan beberapa tipologi yaitu melalui proyeksi penyusunan ensiklopedi, pembentukan peraturan perundang-undangan, fatwa, kajian ilmiah dan penelitian, serta melalui putusan pengadilan Agama[54].
Pembaruan hukum Islam melalui proyeksi konstitusi modern dimulai pada permulaan abad ke-16 M ketika Sultan Salim 1 dari Dinasti Utsmaniyah berkuasa mengeluarkan faran mana (titah raja) tentang keharusan mufti dan hakim dalam memutus perkara wajib berpegang pada mazhab Hanafi. Ketika kesultanan Utsmaniyah menaklukan Mesir, ketentuan ini juga diberlakukan di Mesir begitu juga dengan negara Islam yang lain seperti Daulah Maghribi al-Arabi, Suriyah, Iraq, Libanon, dan Jordania. Penetapan mazhab resmi negara ini merupakan langkah awal dalam proses pembentukan perundang-undangan negara yang bersumber dari fiqih di Daulah Utsmaniyah[55].
Ketika Sultan Sulaiman 1 yang dikenal dengan Sulaiman al-Kabir berkuasa, ia menunjuk Syaikh Islam Abu Sa’ud untuk menyusun kodifikasi undang-undang yang akan diberlakukan pada seluruh negara. Kodifikasi tersebut dilaksanakan dengan mengambil sumber dari fiqih mazhab Abu Hanifah dengan materi yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi. Dari usaha ini tersusunlah kodifikasi hukum Islam yang dikenal dengan nama Qanun Namah Sultan Sulaiman. Pada pertengahan abad ke-16 M. 188 Sultan Sulaiman I juga memerintahkan Syaikh Ahmad al-Jalabi, khatib masjid Sultan untuk mengumpulkan hukum- hukum fiqih dalam bentuk kodifikasi yang diringkas, usaha ini dapat dilaksanakan dengan baik dan tersusunlah sebuah kodifikasi dalam mazhab dengan judul Multaqa al-Abhar kodifikasi ini beserta syarat-syaratnya masih merupakan rujukan dalam mempelajari hukum Islam dalam mazhab Hanafi meskipun tidak memiliki penetapan yang resmi oleh Negara[56].
Indonesia sejak tahun 1928 merintis proses kodifikasi hukum yang dibuktikan dengan inisiatif-kreatif Kongres Perempuan Indonesia 1928. Inisiatif-kreatif ini dimatangkan dengan dua rancangan UU tentang Perkawinan yakni; RUU tentang Pokok pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU tentang Ketentuan Pokok Perkawinan yang keduanya tidak dapat di rampungkan[57].
Dimulai dengan ditetapkannya UU No 22/1946 dan UU No 32/1954 yang bertujuan memenuhi kebutuhan mendesak akan adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam pencatatan nikah, talak, dan rujuk bagi umat Islam. Kebutuhan ini masih menggantungkan pada peraturan bekas kolonial Belanda yang sifatnya propinsialistis dan tidak sesuai dengan negara Republik Indonesia[58].
Pada saat itu juga terjadi pergeseran beberapa bagian hukum Islam ke arah tertulis dan termuat dalam beberapa bagian penjelasan UU No. 22/1946. Dijelaskan pula bahwa pada saat itu hukum perkawinan, talak dan rujuk sedang dikerjakan oleh Penyelidik Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk yang dipimpin oleh Mr. Teuku Mohamad Hasan. Hal demikian sejalan dengan dikeluarkannya Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tertanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksanaan PP. 1945 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah di luar Jawa dan Madura[59].
Dari sinilah kodifikasi UU No. 1/1974 ditempatkan sebagai respektasi atas realitas yang pola utamanya mengadakan unifikasi hukum di bidang perkawinan. Unifikasi ini dipandang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang berketuhanan yang Maha Esa. Unifikasi ini bertujuan melengkapi segala apa yang tidak diatur hukumnya dalam agama dan kepercayaan, karena negara berhak mengatur sendiri sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan jaman[60].
Hasil ijtihad para mujtahid, baik yang dilaksanakan secara perorangan maupun yang dilaksanakan oleh organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nadhatul Ulama, Persatuan Islam (Persis), Al Jam’iyatul Washliyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), telah melahirkan beberapa peraturan yang perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Di antaranya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria, jo Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yang telah diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Bank Syari’ah jo Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi hasil, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2005 Tentang Wakaf dan Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang saat ini digagas untuk ditingkatkan menjadi hukum terapan di kalangan Peradilan Agama[61], UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
YURISPRUDENSI SEBAGAI SUMBER HUKUM.
Ditinjau dari segi peristilahan atau segi harfiah, asal-mula perkataan yurisprudensi adalah berakar dari istilah bahasa Latin ’’iuris prudentia”, yang berarti ilmu pengetahuan hukum. Dalam bahasa Belanda, dipergunakan istilah ’’jurisprudentie” yang dalam kamus hukum karangan Fockema Andrea disebutkan sebagai: ’’yurisprudensi, Peradilan (dalam pengertian umum, pengertian abstrak), khususnya ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh peradilan (sebagai kebalikan dari ajaran hukum/doctrin dari pengarang-pengarang terkemuka), selanjutnya pengumpulan yang sistematis dari putusan Mahkamah Agung dan putusan Pengadilan Tinggi (yang tercatat) yang diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya dalam soal yang serupa”[62].
Di Indonesia, oleh Prof. Mr. Subekti, yurisprudensi diartikan sebagai ’’putusan-putusan Hakim atau Pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah tetap (konstant)”. Ditegaskan oleh beliau, bahwa barulah dapat dikatakan ada hukum ciptaan yurisprudensi apabila Hukum atau Pengadilan dalam hal tidak terdapatnya suatu ketentuan yang dapat dipakai atau dijadikan landasan untuk memutus perkara yang dihadapkan kepadanya[63].
Dari segi teori dan praktek, yurisprudensi telah diterima sebagai salah satu sumber hukum, baik dalam sistem hukum Civil-Law maupun Common-Law, kecuali beberapa penulis yang tidak menganggapnya sebagai sumber hukum, yaitu misalnya: Van Appeldoom, Hymans, dan lain-lain. Tetapi daya kekuatan mengikatnya yurisprudensi bagi para Hakim dalam sistem hukum Civil-Law, memang berbeda dengan dalam sistem hukum Common Law. Walaupun harus diakui bahwa dalam kenyataan dan perkembangan hukum sekarang, perbedaan tersebut tidak lagi terlalu mutlak untuk secara ketat harus dipertentangkan satu sama lain, melainkan sudah saling memasuki dan mempengaruhi sehingga batasnya menjadi tipis[64],
Melalui yurisprudensi, tugas hakim justru menjadi faktor pengisi kekosongan hukum manakala undang-undang tidak mengatur atau telah ketinggalan jaman. Tugas itu dilakukannya dengan cara menggali nilai-nlai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Hukum harus digali dan dicari dalam masyarakat, sebab justru dalam masyarakat itulah tumbuh dan berkembang nilai-nilai mengenai apa yang adil dan tidak adil, apa yang patut dan tidak patut, dan sebagainya[65].
Yurisprudensi merupakan kebutuhan yang fundamental untuk melengkapi berbagai peraturan perundang-undangan dalam penerapan hukum karena dalam sistem hukun nasional memegang peranan sebagai sumber hukum. Tanpa yurisprudensi, fungsi dan kewenangan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman akan dapat menyebabkan kemandulan dan stagnan. Yurisprudensi bertujuan agar undang-undang tetap aktual dan berlaku secara efektif, bahkan dapat meningkatkan wibawa badan-badan peradilan karena mampu memelihara kepastian hukum, keadilan sosial, dan pengayoman[66].
YURISPRUDENSI SEBAGAI SOLUSI LAMBANNYA PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM OLEH DPR
Hukum selalu “terseok-seok” mengejar lajunya lari perkembangan masyarakat. Apa yang diatur dalam hukum, selalu berada diposisi ‘bontot’ perkembangan sosial yang penuh dengan problematika. Adagium klasik yang menyebutkan het recht hing anter de feiten an (ilmu hukum adalah imu yang selalu tertinggal dengan peristiwa yang akan diatur) seolah menjadi mantra negatif bagi pembentuk hukum yang diberi kewenangan oleh Negara. Kenyataan tersebut diperparah lagi dengan rendahnya Kinerja legislasi DPR saat ini. Sebagai contoh, sejak 33 tahun lalu diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991, hingga kini tidak memiliki progres, padahal pembentukan Kompilasi Hukm Islam dicita-citakan menjadi undang-undang. Namun, sampai sebagian konten dari Kompilasi Hukum Islam tersebut usang dan tidak relevan lagi, cita-cita itupun belum terwujud. Kecil harapan, jika berharap kepada DPR melalui proses legislasi untuk mengkodivikasi fiqih-fiqih kontemporer. Sehingga dibutuhkan solusi alternatif yang mampu menjawab pesatnya perkembangan masyarakat, salah satunya dengan yursiprudensi.
Yurisprudensi mempunyai peranan dan sumbangan yang besar dalam pembangunan hukum nasional. Oleh karena itu, untuk mendukung Pembangunan Sistem Hukum Nasional yang dicita-citakan dan untuk (1) melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, (2) mengisi kekosongan hukum, (3) memberikan kepastian hukum; dan (4) mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum, hakim mempunyai kewajiban untuk membentuk yurisprudensi terhadap masalah-masalah yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan atau telah diatur dalam peraturan perundang-undangan namun tidak lengkap atau tidak jelas, atau ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut memberikan suatu pilihan dan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Yurisprudensi itu dimaksudkan sebagai pengembangan hukum itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan hukum pencari keadilan. Konkritnya, melalui yurisprudensi tugas hakim menjadi faktor pengisi kekosongan hukum manakala undang-undang tidak mengatur atau telah ketinggalan jaman[67].
Mahkamah Agung, melalui putusan-putusan lembaga Peradilan Agama sudah berperan aktif dalam pembaruan hukum Islam di Indonesia. Pandangan ini diperkuat pula dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa lembaga Peradilan Agama telah menberikan kontribusi yang cukup besar dalam rangka pembaruan hukum Islam melalui putusan-putusan yang ditetapkannya[68].
Anak perempuan menghijab saudara[69], Fleksibelitas pembagian hak waris[70], hilangnya kedudukan saudara laki-laki sebagai ‘ashabah ketika bersama anak perempuan[71], hilangnya terminologi ‘ashabah ma’al ghair ketika anak perempuan bersama saudara perempuan[72], menempatkan saudara kandung pada posisi anak ketika tidak memiliki anak dan orangtua[73], wasiat wajibah kepada anak angkat[74], Pengesahan perkawinan via telefon, penetapan ahli waris non muslim melalui wasiat wajibah, kewajiban pencatatan harta wakaf ke PPAIW[75], pemberian hak waris yang sama antara anak laki-laki dan perempuan di saat anak perempuan memiliki peran yang lebih dalam mengurus orangtua, memberikan bagian lebih harta bersama untuk istri dalam kondisi istri lebih dominan dalam berperan dalam rumahtangga dan penghasilan adalah diantara putusan pengadilan di bawah lingkungan Peradilan Agama yang tidak didasarkan pada peraturan perundangan-undangan. Putusan-putusan tersebut merupakan jawaban atas kekosong hukum nasional atau norma-norma yang terkandung dalam hukum positif nasional sudah tidak lagi mampu memberikan keadilan pada kasus-kasus tertentu.
PENUTUP
- Hukum sebagai rekayasa sosial tidak boleh lama mengalami kekosongan. Kekosongan hukum dalam menanggapi realitas sosial akan mengakibat kekacauan. Keadilan, kemanfaatan dan kepastian sebagai tujuan hukum harus tetap terpelihara dengan kodifikasi aturan-aturan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
- Negara tidak bisa berharap pada DPR untuk mengisi kekosongan hukum dengan segala kelemahan dan kekurangannya. Sehingga dibutuhkan solusi alternatif yang sistematis dalam upaya mengejar kencangnya lari persoalan-persoalan masyarakat.
- Yurisprudensi menjadi salah satu solusi terhadap kekosongan hukum, namun masih terbatas pada ruang lingkup tema-tema yang menjadi kewenangan Peradilan Agama yaitu tentang perkawinan, waris, wasiat dan wakaf. Kodifikasi pembaruan fiqih melalui yurispudensi dengan tema-tema yang lebih luas seperti sosial, gender, lingkungan, budaya yang memiliki kecentrungan dengan Islam, harus menjadi perhatian lebih bagi Mahkamah Agung.
REFERENSI
Alkostar, Artidjo, and M. Sholeh Amin. Pembangunan Politik Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Jakarta: CV. Rajawali, 1986.
Anshari, Endang Saifuddin. Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma Dan Sistem Islam. Jakarta: Gema Insani, 2004.
Azed, Abdul Bari. ‘MENYOROTI KINERJA LEGISLASI DPR’. Legalitas VI (June 2017): 24–27.
Basiang, Martin. Law Dictionary. 1st ed. Jakarta: Red&White Publishing, 2009.
Budiharjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
detiknews. ‘DPR “Lambat” Revisi, Kapolri Minta Perppu Terorisme’, 2016. https://news.detik.com/berita/d-4019080/dpr-lambat-revisi-kapolri-minta-perppu-terorisme.
Djariyo, and Bayu Iqbal Setiaji. ‘Pendekatan Multikultural Terhadap Pendidikan Cinta Tanah Air Pada Pembelajaran Siswa Sd Kelas Iv Di Kecamatan Purwanegara’. Universitas PGRI Semarang 4 (Desember 2014).
Djunaedi, Mahfudz. ‘FIQIH INDONESIA : TINJUAN KRITIS EPISTEMOLOGI’. Syariati 1 (2016).
Ensiklopedi Islam, Penyusun. Ensiklopedi Islam. 4. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Hukum Online.com. ‘Capaian Kinerja Legislasi Prolegnas DPR Di 2020- 2023 Melempem’. Desember 2023. https://www.hukumonline.com/berita/a/capaian-kinerja-legislasi-prolegnas-dpr-di-2020–2023-melempem-lt658e63129f2b7/?page=2.
Ibrahim, Anis. ‘Legislasi Dalam Perspektif Demokrasi: Analisis Interaksi Politik Dan Hukum Dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah Di Jawa Timur, Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang’, n.d.
Lotulung, Paulus Effendie. Peranan Yusrisprudensi Sebagai Sumber Hukum. Jakarta: BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN KEHAKIMAN, 1997.
Mahsun. ‘SEJARAH SOSIAL PEMIKIRAN FIQIH INDONESIA (HASBI ASH-SHIDDIEQY) DAN FIQIH MAZHAB NASIONAL (HAZAIRIN)’. Al-Mabsut 14 (September 2020).
Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Manan, Bagir. ‘Pembagunan Hukum Nasional Di Bidang Peraturan Perundang-Undang’. Varia Peradilan, Oktober 2018.
———. ‘Tantangan Pembangunan Hukum Di Indonesia’. Varia Peradilan, 2014.
Metrotvnews.com. ‘Kinerja Lambat DPR Sahkan RUU Pro Rakyat’. Metrotvnews.Com, 12 March 2023. https://www.metrotvnews.com/play/NrWCZJlm-kinerja-lambat-dpr-sahkan-ruu-pro-rakyat.
Pujiningrum, Wigati. ‘PEMBANGUNAN HUKUM PERDATA MELALUI YURISPRUDENSI’, n.d. http://www.pa-masohi.go.id/berita/foto-galeri/416-pembangunan-hukum-perdata-melalui-yurisprudensi.
Purwosusilo, and Sugiri Permana. HUKUM WARIS DI INDONESIA: Pergeseran Penerapan Hukum Waris Dalam Putusan Hakim. Surabaya: Pustaka Saga, n.d.
Ramadhan, M. Rizki Sahrul, Samsul Arifin, and Miftahul Huda. ‘FIQIH INDONESIA : TINJUAN KRITIS EPISTEMOLOGI’. Ahkam, 2, 9 (n.d.): November 2021.
Salim, Mabruri Pudyas. ‘Pengertian Metodologi Studi Islam, Simak Pendekatan Yang Umum Digunakan’. Liputan6.Com, Oktober 2023. https://www.liputan6.com/hot/read/5425780/pengertian-metodologi-studi-islam-simak-pendekatan-yang-umum-digunakan?page=4.
Sopyan, Yayan. Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, 2011.
Sudarsono. Kamus Hukum. 4th ed. Rineka Cipta, 2005.
Undang-Undang Dasar Negara Repiublik Indonesi Tahun 1945, n.d.
Universita Islam Indonesia. ‘Yusdani Merupakan Lektor Kepala Di Universitas Islam Indonesia. Pemikirannya Yang Terkonsentrasi Pada Isu-Isu Politik Kontemporer, Gender, HAM Dan Kaum Minoritas Melahirkan Karya-Karya Yang Kaya Dengan Metodologi Baik Berupa Buku Maupun Jurnal-Jurnal Ilmiah.’, n.d. https://doctorate.islamic.uii.ac.id/yusdani1/.
Wahyudi, Yudian. Ushul Fiqih Versus Heurmenetika; Membaca Islam Dari Kanada Dan Amerika. Yogjakarta: Nawesea Press, 2007.
W.E. Nugroho. ‘Implementasi Trias Politica Dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia.’ Gema Keadilan, 1, 1 (2014): 66.
Wikipedia. ‘Montesquieu’, n.d. https://id.wikipedia.org/wiki/Montesquieu.
Yani, Ahmad. Pasang Surut Kinerja Legislasi,. Jakarta: Rajawali Press, 2011.
Yulistyowati, efi, Endah Pujiastuti, and Tri Mulyani. ‘PENERAPAN KONSEP TRIAS POLITICA DALAM SISTEM PEMERINTAHANREPUBLIK INDONESIA : STUDI KOMPARATIF ATAS UNDANG–UNDANG DASARTAHUN 1945SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN’. Jurnal Dinamika Sosial Budaya 18 (Desember 2016): 333–34.
Yusdani. FIKIH INDONESIA (Kajian Gender, Lingkungan Dan Budaya. Diandra, 2024.
———. FIKIH INDONESIA (Tema Kajian, Nalar & Kontruksi Pemikiran). Yogjakarta: Diandra, 2024.
[1] Penulis adalah wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren
[2] W.E. Nugroho, ‘Implementasi Trias Politica Dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia.’, Gema Keadilan, 1, 1 (2014): 66.
[3] Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005):152.
[4] Wikipedia, ‘Montesquieu’, n.d., https://id.wikipedia.org/wiki/Montesquieu.
[5] Sudarsono, Kamus Hukum, 4th ed. (Rineka Cipta, 2005).
[6] efi Yulistyowati, Endah Pujiastuti, and Tri Mulyani, ‘PENERAPAN KONSEP TRIAS POLITICA DALAM SISTEM PEMERINTAHANREPUBLIK INDONESIA : STUDI KOMPARATIF ATAS UNDANG–UNDANG DASARTAHUN 1945SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN’, Jurnal Dinamika Sosial Budaya 18 (Desember 2016): 333–34.
[7] Lihat Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Repiublik Indonesi Tahun 1945, n.d.
[8] Martin Basiang, Law Dictionary, 1st ed. (Jakarta: Red&White Publishing, 2009).
[9] Anis Ibrahim, ‘Legislasi Dalam Perspektif Demokrasi: Analisis Interaksi Politik Dan Hukum Dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah Di Jawa Timur, Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang’ (n.d.):114.
[10] detiknews, ‘DPR “Lambat” Revisi, Kapolri Minta Perppu Terorisme’, 2016, https://news.detik.com/berita/d-4019080/dpr-lambat-revisi-kapolri-minta-perppu-terorisme.
[11] ‘Capaian Kinerja Legislasi Prolegnas DPR Di 2020- 2023 Melempem’, Hukum Online.Com, Desember 2023, https://www.hukumonline.com/berita/a/capaian-kinerja-legislasi-prolegnas-dpr-di-2020–2023-melempem-lt658e63129f2b7/?page=2.
[12] Metrotvnews.com, ‘Kinerja Lambat DPR Sahkan RUU Pro Rakyat’, Metrotvnews.Com, 12 March 2023, https://www.metrotvnews.com/play/NrWCZJlm-kinerja-lambat-dpr-sahkan-ruu-pro-rakyat.
[13] Ahmad Yani, Pasang Surut Kinerja Legislasi, (Jakarta: Rajawali Press, n.d.):10.
[14] Yani:17.
[15] Abdul Bari Azed, ‘MENYOROTI KINERJA LEGISLASI DPR’, Legalitas VI (June 2017): 24–27.
[16] Bagir Manan, ‘Pembagunan Hukum Nasional Di Bidang Peraturan Perundang-Undang’, Varia Peradilan, Oktober 2018: 15-16.
[17] Manan:17-19.
[18] Bagir Manan, ‘Tantangan Pembangunan Hukum Di Indonesia’, Varia Peradilan, 2014:10-11.
[19] Manan: 11.
[20] Artidjo Alkostar and M. Sholeh Amin, Pembangunan Politik Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional (Jakarta: CV. Rajawali, 1986):XIII.
[21] Alkostar and Amin:XIII.
[22] Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, 4 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994): 8.
[23] Ensiklopedi Islam: 8.
[24] Ensiklopedi Islam: 8.
[25] Ensiklopedi Islam:9.
[26] Ensiklopedi Islam:10.
[27] Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma Dan Sistem Islam (Jakarta: Gema Insani, n.d.):196.
[28] M. Rizki Sahrul Ramadhan, Samsul Arifin, and Miftahul Huda, ‘METODOLOGI FIKIH KEINDONESIAAN (Studi Komparatif Perspektif Filsafat Hukum Islam)’, Ahkam, 2, 9 (n.d.): November 2021:432.
[29] Ramadhan, Arifin, and Huda:432.
[30] Mahfudz Djunaedi, ‘FIQIH INDONESIA : TINJUAN KRITIS EPISTEMOLOGI’, Syariati 1 (n.d.):369.
[31] Yudian Wahyudi, Ushul Fiqih Versus Heurmenetika; Membaca Islam Dari Kanada Dan Amerika (Yogjakarta: Nawesea Press, 2007):31-32.
[32] Mahsun, ‘SEJARAH SOSIAL PEMIKIRAN FIQIH INDONESIA (HASBI ASH-SHIDDIEQY) DAN FIQIH MAZHAB NASIONAL (HAZAIRIN)’, Al-Mabsut 14 (September 2020):178.
[33] Mahsun:178-179.
[34] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006):251-252.
[35] Mahsun:180-181.
[36] Mahsun:182-183.
[37] Ramadhan, Arifin, and Huda, ‘FIQIH INDONESIA : TINJUAN KRITIS EPISTEMOLOGI’:434.
[38] Djunaedi, ‘FIQIH INDONESIA : TINJUAN KRITIS EPISTEMOLOGI’:72.
[39] Mabruri Pudyas Salim, ‘Pengertian Metodologi Studi Islam, Simak Pendekatan Yang Umum Digunakan’, Liputan6.Com, Oktober 2023, https://www.liputan6.com/hot/read/5425780/pengertian-metodologi-studi-islam-simak-pendekatan-yang-umum-digunakan?page=4.
[40] Yusdani Merupakan Lektor Kepala Di Universitas Islam Indonesia. Pemikirannya Yang Terkonsentrasi Pada Isu-Isu Politik Kontemporer, Gender, HAM Dan Kaum Minoritas Melahirkan Karya-Karya Yang Kaya Dengan Metodologi Baik Berupa Buku Maupun Jurnal-Jurnal Ilmiah.’, n.d., Universita Islam Indonesia, https://doctorate.islamic.uii.ac.id/yusdani1/.
[41] Yusdani, FIKIH INDONESIA (Kajian Gender, Lingkungan Dan Budaya (Diandra, 2024):14-16.
[42] Yusdani:58.
[43] Yusdani:58.
[44] Yusdani:59.
[45] Yusdani:78.
[46] Yusdani:139.
[47] Yusdani:141.
[48] Yusdani, FIKIH INDONESIA (Tema Kajian, Nalar & Kontruksi Pemikiran) (Yogjakarta: Diandra, 2024):6-7.
[49] Yusdani:25.
[50] Yusdani:29-30.
[51] Djariyo and Bayu Iqbal Setiaji, ‘Pendekatan Multikultural Terhadap Pendidikan Cinta Tanah Air Pada Pembelajaran Siswa Sd Kelas Iv Di Kecamatan Purwanegara’, Universitas PGRI Semarang 4 (Desember 2014):6.
[52] Yusdani, FIKIH INDONESIA (Tema Kajian, Nalar & Kontruksi Pemikiran):158.
[53] Yusdani:163.
[54] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006):XXII.
[55] Manan:189.
[56] Manan:189-190.
[57] Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, 2011):VIII.
[58] Sopyan:VIII.
[59] Sopyan:VIII.
[60] Sopyan:VIII.
[61] Manan, Reformasi Hukum Islam Indonesia:244-245.
[62] Paulus Effendie Lotulung, Peranan Yusrisprudensi Sebagai Sumber Hukum (Jakarta: BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN KEHAKIMAN, 1997):6.
[63] Lotulung:7.
[64] Lotulung:11.
[65] Lotulung:16.
[66] Wigati Pujiningrum, ‘PEMBANGUNAN HUKUM PERDATA MELALUI YURISPRUDENSI’, n.d., http://www.pa-masohi.go.id/berita/foto-galeri/416-pembangunan-hukum-perdata-melalui-yurisprudensi.
[67] Pujiningrum.
[68] Manan, Reformasi Hukum Islam Indonesia:303.
[69] Purwosusilo and Sugiri Permana, HUKUM WARIS DI INDONESIA: Pergeseran Penerapan Hukum Waris Dalam Putusan Hakim (Surabaya: Pustaka Saga, n.d.):244.
[70] Purwosusilo and Permana:162.
[71] Purwosusilo and Permana:246.
[72] Purwosusilo and Permana:247.
[73] Purwosusilo and Permana:260.
[74] Purwosusilo and Permana,274.
[75] Manan, Reformasi Hukum Islam Indonesia:326.