Oleh: Taufik Rahayu Syam, S.H.I., M.S.I.*
*Ketua Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren
Pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 telah usai sudah. Kandidat-kandidat pemenang sudah bermunculan, tapi ada juga yang masih was-was karena kompetitornya mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun tidak sedikit, para kompetitor yang kalah sudah legowo, ini berarti karpet merah buat kandidat yang menang, sehingga tidak usah capek-capek “bertarung” lagi di MK.
Konon kabarnya Presiden Prabowo Subianto akan segera melantik sekitar 270 kepala daerah hasil pilkada serentak tahun 2024 tanpa sengketa. Namun pelantikan tersebut, tidak termasuk pelantikan bagi kepala daerah Provinsi Aceh dan Daerah Istimewa Jogjakarta. Hal ini karena dua daerah tersebut memiliki undang-undang khusus yang mengatur pelantikan kepala daerahnya. Oleh karena itu, walaupun Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang ketentuan pelantikan gubernur dilakukan oleh Presiden di ibu kota Negara, namun dengan menggunakan asas lex specialis derogar legi generali nampaknya pelantikan gubernur di Aceh tetap mengacu kepada aturan khusus di Aceh.
Bagi Aceh sendiri, terdapat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Salah satu isi undang-undang tersebut diantaranya terkait pelantikan kepala daerah di Aceh. Misalnya saja, pasal 69 huruf C UUPA menyatakan bahwa ‘pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Gubernur/Wakil Gubernur dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia di hadapan Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh dalam rapat paripurna DPR Aceh’.
Pasal tersebut, setidaknya memuat 3 hal penting, pertama yang melantik adalah mendagri atas nama Presiden, kedua pelantikan dihadapan Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh dan ketiga, pelantikan dilaksnakan dalam rapat paripurna DPR Aceh. Ketentuan senada, berlaku juga bagi pelantikan Bupati/Wali Kota se Aceh sebagaimna kaetentuan Pasal 70 huruf C UUPA.
Salah satu hal yang ingin penulis sorot adalah terkait ketentuan bahwa pelantikan kepala daerah di Aceh harus di hadapan Ketua Mahkamah Syar’iyah. Prosesi ini nampaknya tidak ditemukan di daerah-daerah lain, faktanya pelantikan bagi kepala daerah di luar Aceh, tidak melibatkan lembaga yudikatif, hanya dilantik oleh Presiden bagi gubernur atau oleh Gubernur bagi Bupati/Wali Kota.
Provinsi Aceh memiliki keistimewaan sendiri yang tidak dimiliki oleh kebanyakan daerah lainnya. Tentu saja keistimewaan ini didapatkan Aceh lewat sederet perjuangan yang tak mudah. Keberadaan Mahkamah Syar’iyah sendiri merupakan salah satu simbol keistimewaan Aceh, hal ini karena Aceh menerapkan syari’at islam, dan peradilan syari’at islam di Aceh tidak lain dan tidak bukan dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah.
Mahkamah Syar’iyah sendiri sejatinya merupakan pelaksana kekusaaan kehakiman dalam lingkup peradilan agama. Namun di Aceh, nomenklatur yang digunakan adalah Mahkamah Syar’iyah sebagaimana ketentuan Pasal 128 UUPA. Hal ini karena Mahkamah Syar’iyah memiliki kewenangan lebih dari Peradilan Agama, yakni menangani perkara-perkara Jinayat (Pidana Islam).
Oleh karena itu, kenapa pelantikan gubernur atau bupati/wali kota di wilayah Aceh harus dihadapan Ketua Mahkamah Syar’iyah ? tidak lain karena ingin menegaskan bahwa Aceh merupakan wilayah yang menjalankan syari’at islam dan pelantikan kepala daerah dihadapan Ketua Mahkamah Syar’iyah memperkuat symbol dan implementasi hukum syari’ah di Aceh.
Dalam fikih siyasah ataupun dalam tradisi islam, pengangkatan pemimpin sering dilakukan dengan istilah bai’at. Dan dalam prosesi bai’at itu sendiri, biasanya dilakukan dihadapan pemuka agama, dalam konteks pemerintahan modern saat ini, pelantikan pejabat public biasanya dilakukan oleh lembaga Negara yang memiliki kewenangan hukum. Adapun Mahkamah Syar’iyah merupakan bagian dari system peradilan yang memiliki legitimasi hukum dalam pelaksanaan syari’at islan di Aceh. Oleh karena itu, Ketua Mahkamah Syar’iyah dianggap sebagai figure yang memiliki otoritas hukum islam dan administrative, berbeda dengan ulama yang lebih berperan dalam pembinaan keagamaan.
Tinggal beberapa hari lagi kepala daerah di Aceh akan dilantik. Para tokoh Aceh telah mengingatkan kepada pemerintah pusat supaya pelantikan kepala daerah di Aceh memperhatikan UUPA, hal ini berarti pelantikan Gubernur Aceh nanti dan juga para Bupati/Wali Kota se Aceh harus dalam rapat parpurna DPRA dan DPRK, dan tidak kalah pentingnya, pelantikan gubernur Aceh harus di hadapan Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh dan pelantikan Bupati/Wali Kota se Aceh harus dihadapan Ketua Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota. Semoga Aceh makin maju dan sejahtera dengan para kepala daerah yang baru. Semoga…