
ilustrasi: Hakimย
Beberapa hari terakhir, jagat mayaโdan jagat warung kopiโsedang hangat membahas soal gaji hakim. Bukan karena ada diskon atau cashback, tapi karena Presiden Prabowo, dalam acara pengukuhan 1.451 hakim baru di Mahkamah Agung pada Kamis, 12 Juni 2025, menyatakan akan menaikkan gaji hakim. Serius! Ini bukan prank apalagi janji manis menjelang Pemilu (kan sudah lewat).
Mendengar kabar itu, para hakim pun diam-diam tersenyum (termasuk saya, he..). Ya, diam-diam. Karena ekspresi terlalu bahagia bisa dikira tidak netral. Tapi di dalam hati mungkin mereka menyanyi: โNaik gaji… naik gaji… alhamdulillaaah…โ. Namun, tunggu dulu. Sebelum ada yang komentar, โAh, enak banget jadi hakim, gajinya naik!โ โ kita perlu merenung sebentar. Duduk dulu. Ambil kopi pait, Karena yang naik bukan hanya gaji, tapi juga ekspektasi masyarakat.
๐๐ฎ๐ธ๐ถ๐บ: ๐๐ป๐๐ฎ๐ฟ๐ฎ ๐๐ฎ๐ฏ๐ฎ๐๐ฎ๐ป ๐ฑ๐ฎ๐ป ๐๐ฒ๐ต๐ผ๐ฟ๐บ๐ฎ๐๐ฎ๐ป
Hakim itu seharusnya bukan cuma duduk tinggi di atas kursi sidang, tapi juga ditempatkan tinggi dalam derajat kehormatan. Karena mereka bukan sekadar pegawai berseragam hitam-putih, tapi penjaga terakhir keadilan. Kalau keadilan itu sebuah tembok, maka hakim adalah fondasinya. Kalau negara ini pertandingan sepak bola, maka hakim adalah wasitnya โ dan kita semua tahu, pertandingan tanpa wasit bakal berakhir ricuh, bahkan sebelum pluit ditiup.
Tapi… (selalu ada tapi-nya) kehormatan itu bukan seperti sertifikat yang bisa dicetak lalu dipajang. Ia harus dipantaskan. Hakim juga manusia โ betul, tapi manusia yang harus lebih duluan bangun moralnya dibanding bangun rumahnya. Kalau minta dihormati, ya harus kasih contoh. Integritas itu bukan pilihan, tapi default setting bagi seorang hakim.
๐ก๐ฒ๐ด๐ฎ๐ฟ๐ฎ ๐๐๐ธ๐๐บ, ๐๐๐ธ๐ฎ๐ป ๐ก๐ฒ๐ด๐ฎ๐ฟ๐ฎ “๐ฆ๐ถ๐ฎ๐ฝ๐ฎ ๐๐ฒ๐ฝ๐ฎ๐ ๐๐ถ๐ฎ ๐๐ฎ๐ฝ๐ฎ๐”
Kita ini negara hukum, bukan negara hobi. Segala gerak-gerik masyarakat idealnya diatur oleh hukum. Bukan selera, bukan emosi, apalagi “koneksi.” Etika dan moral tentu penting โ tapi hukum harus jadi pegangan utama. Seperti sabuk pengaman di mobil: kadang tidak nyaman, tapi menyelamatkan.
Bayangkan kalau tak ada lembaga yang jadi wasit. Yang kaya menang, yang miskin minggir. Yang punya kuasa bisa menyulap putih jadi abu-abu, yang tak punya apa-apa hanya bisa pasrah. Tapi kalau lembaga peradilan kuat, independen, dan penuh wibawa โ maka yang menang adalah yang benar, bukan yang bayar.
Maka, Percayalah!
Kuncinya satu: trust. Masyarakat harus percaya pada peradilan. Tapi kepercayaan itu tak bisa dibeli di marketplace. Ia dibangun dengan kerja nyata. Hakim harus profesional, ilmunya mumpuni, persidangannya tertib, putusannya bisa diterima tanpa pakai “kenalan dalam.” Tak kompromi, tak tebang pilih.
Kalau itu semua bisa diwujudkan, ya wajar dong kalau hakim mendapat reward. Bukan cuma karena kerjanya berat, tapi karena tanggung jawabnya luar biasa. Menimbang perkara bukan seperti menimbang buah di pasar. Yang ditimbang bukan cuma pasal dan fakta, tapi juga masa depan orang-orang.
๐ฆ๐ฎ๐ฎ๐๐ป๐๐ฎ ๐๐ฒ๐ฟ๐ฏ๐ฒ๐ป๐ฎ๐ต, ๐๐๐ธ๐ฎ๐ป ๐๐ฒ๐ฟ๐บ๐ฎ๐ป๐ท๐ฎ
Tentu tak cukup hanya menuntut hak. Lembaga peradilan juga harus terus berbenah. Integritas jangan hanya slogan, tapi harus hidup dalam keseharian. Kalau ada oknum yang menyimpang, jangan dilindungi โ itu bukan keluarga, itu bahaya. Tingkatkan keilmuan, pelayanan publik, dan pastikan pemimpin pengadilan dipilih bukan karena “siapa dia,” tapi “apa yang bisa dia bawa untuk kebaikan institusi.”
Karena pada akhirnya, kehormatan itu bukan dikasih, tapi diraih.
Jadi, ketika gaji hakim mau naik, jangan hanya lihat angka. Lihat juga perjuangan, tekanan, dan tanggung jawabnya. Tapi bagi para hakim: ingat juga, kehormatan itu bukan hanya soal gaji naik, tapi tentang menjaga marwah agar tak pernah turun.
Mari jadi hakim yang nggak cuma tinggi kursinya, tapi juga tinggi integritasnya. Oh ya, tulisan ini sejatinya merupakan nasihat untuk saya pribadi, karena saya juga seorang hakim.
Tabik,
Taufik El Syam
Ketua Mahkamah Syar’iyah Blangkejeren